07. Syleene Alleisha Drizara

115 42 57
                                    

WELCOME JANGAN LUPA VOTE 💥

____________________

🩶HAPPY READING🩶

Angin sepoi-sepoi yang bertiup dari timur ke barat itu membuat anak rambut Syleene terbawa arahnya kesana-kemari. Suasana yang sejuk sore itu terasa nyaman, menenangkan isi hati dan pikiran setelah peningnya belajar seharian.

Sore ini, Syleene baru saja pulang dari sekolah. Ia harus melakukan belajar tambahan untuk mengikuti perlombaan bulan depan. Mau tidak mau, Syleene harus mau, ia cukup tau diri sebagai siswi beasiswa jalur rapor.

Kaki kecilnya melangkah di gang menuju rumahnya. Ia sangat menikmati perjalanannya, sesekali pandangannya bergerak ke kanan dan kiri meski sekedar melihat pohon yang bergoyang, burung yang berkicau di sore hari dan kucing serta ayam yang masih berkeliaran.

Syleene adalah anak yang baik, hanya saja dia tidak bisa bergaul dengan mudah. Seperti sekarang, ia sudah beberapa minggu sekolah di SMA Garuda, tapi dia masih merasa canggung kepada teman sekelasnya.

Tapi, tidak mempunyai teman bukan sebuah masalah bagi Syleene, karena sewaktu SMP juga tidak ada seorang pun yang mau berteman dengannya, alasannya hanya karena dia dibesarkan oleh neneknya dan Syleene sering dimarahi Medina–mamanya.

"Nek, Syleene kangen," gumam Syleene tiba-tiba. Saat ini dia sudah berada di depan rumah sederhana yang terlihat sepi. Tangannya bergerak membuka pintu yang tidak dikunci sama-sekali. Syleene menghela nafas lelah, Medina pasti sudah pulang bekerja.

"Asalamualaikum," ucap Syleene seraya masuk ke dalam rumahnya.

"Kenapa jam segini baru pulang?" cecar Medina, ia melihat jam yang menunjukkan pukul 16.45 WIB, sampai ia lupa menjawab salam anaknya.

Syleene mengulurkan tangannya kepada Medina selayaknya seorang anak yang akan mencium punggung tangan orang tuanya. Tapi, medina malah menghempaskan tangan Syleene dengan kesal. "Saya tanya, kenapa baru pulang?"

Syleene meringis pelan, ia menarik uluran tangannya, menunduk takut, meskipun hal ini sudah sering terjadi. Bedanya, saat ini Syleene tidak tau harus mencari pembelaan kemana, satu-satunya orang yang menyayangi Syleene dengan tulus telah berpulang lebih dulu. "Tadi, Syleene habis latihan buat mengikuti perlombaan," jawab Syleene seadanya.

"Jangan berbohong! kata guru yang menghubungi saya, belajarnya sampai jam empat," ucap Medina seraya berkacak pinggang siap mengeluarkan emosinya yang selalu meledak-ledak.

Jemari lentik Syleene memegang pinggiran rok sekolahnya guna menghilangkan ketegangan, telapak tangannya berkeringat, hatinya sudah menangis. Tapi, air matanya ia tahan mati-matian agar Medina tidak semakin memakinya. "Tadi Syleene menunggu angkut," jawabnya.

Setelah mendengar jawaban itu, Medina melengos pergi keluar rumah meninggalkan Syleene. "Makan di luar saja, saya tidak masak," ucap Medina sebelum benar-benar pergi meninggalkan Syleene. Entah kemana tujuan Medina, Syleene tidak ingin bertanya karena dapat ia pastikan jawabannya hanyalah cacian dan makian.

Setelah Medina pergi, Syleene masuk ke dalam rumahnya yang sepi, ia segera membersihkan badannya. Kali ini, Syleene menangis melepaskan amarah, setiap suasana senyap seperti sekarang, Syleene selalu merindukan mendiang neneknya. Tapi, ia hanya bisa menangis sia-sia, karena seberapa banyak pun air mata yang ia keluarkan untuk menangisi sang nenek, neneknya tetaplah sudah pergi untuk selamanya.

___________________

Langit sore yang menampakkan senja, kini sudah mulai gelap. Mentari yang tadi menyinari bumi kini telah berganti dengan indahnya bulan.

Di bumi yang seluas ini, Syleene hanya berteman sepi. Dia melangkahkan kaki mungilnya di pinggir jalan, Syleene sedang mencari sesuatu untuk mengisi perutnya yang sedari tadi terus bersuara. Tapi, dari banyaknya makanan di pinggiran jalan malam itu, yang Syleene beli hanyalah dua buah roti dengan selai stroberi dan air mineral.

Saat ini, Syleene duduk di kursi yang berada di pinggir jalan. Ia menikmati makanannya sendiri di tengah perdamaian kota. Rambutnya yang di ikat satu itu membuat dinginnya angin malam bebas menyelimuti.

Pandangannya terangkat melihat motor yang berlalu-lalang malam itu. "Apa aku punya seorang papa," celetuk Syleene berbicara sendiri.

"Pa, jika masih ada di bumi ini, apa boleh Syleene meminta papa kembali bersama mama. Kata nenek, mama adalah wanita lemah lembut, tapi setelah papa pergi, mama menjadi seorang pemarah." Tatapannya kosong, kedua matanya sudah berkunang-kunang menahan tangis. Roti yang masih tersumpal di mulutnya itu ia telan dengan susah payah, rasanya  ingin kembali mengeluarkan semuanya.

Syleene mengangkat pandangannya agar air matanya tidak jatuh membasahi kedua pipi, ia melihat langit yang sudah gelap dengan pencahayaan bulan yang meremang, taburan bintang menghiasi sekitarnya sangat terlihat indah.

"Nek, jemput Syleene," gumam Syleene dengan penuh kesadaran seraya menatap langit malam yang gelap.

Brakk

Syleene tersentak kaget, seseorang jatuh di jalan berlubang yang berada di hadapan Syleene, baju yang Syleene kenakan malam itu sedikit terkena cipratan air, ia buru-buru berdiri dan menghampiri seseorang yang terjatuh.

Tin tin

"Yang bener dong kalo bawa motor," maki pengendara lain yang merasa kaget karena kejadian tiba-tiba itu.

Suasana yang semula terasa tenang, kini berganti ricuh di pinggir jalan membantu seseorang yang terjatuh, namun ada juga yang tidak mempedulikannya, mungkin mereka sedang buru-buru sehingga tidak bisa membantu.

"Makannya gak usah kebut-kebutan," hardik yang lain.

"Eh, cepat tolongin bukannya di marahin." Syleene membawa laki-laki yang tadi terjatuh untuk duduk di kursi pinggiran jalan. Sedangkan motornya di bantu oleh yang lain.

Dengan panik, Syleene memberikan air mineral yang belum sempat ia minum, namun sebelumnya ia membantu laki-laki itu untuk membuka helmnya.

"Kak?" Syleene sedikit kaget, laki-laki yang ia tolong adalah kakak kelasnya—Askara.

Askara dengan wajahnya yang kelewat santai itu mengangguk. "Hm ... khawatir ya?" goda Askara seraya menaikkan sebelah alis, setelah mengucapkan itu ia meminum air mineral pemberian Syleene.

"Thanks ya," lanjutnya setelah air itu masuk ke dalam perut Askara.

Syleene mengangguk dengan wajah yang masih kaget. "Kamu kenapa Kak?" tanya Syleene. Entahlah, itu memang pertanyaan yang ingin ia ketahui jawabannya atau sekedar basa-basi.

"Lo kan liat sendiri, gue jatuh karena gak liat di situ ada lubang," jawab Askara seraya menunjuk jalan berlubang yang berisi air.

Syleene menunduk kikuk, ia menggaruk pelipisnya yang tidak gatal sama-sekali. "Maksud aku, Kak Aska gapapa?"

Jika orang lain merasa panik setelah jatuh, tetapi kali ini Askara malah tersenyum. "Karna jatuhnya ditolong bidadari, jadi gue gapapa."

"Aku serius kak," kesal Syleene menatap wajah Askara yang malah cengengesan, tapi senyuman yang tercipta terasa menyakitkan.

"Santai, jatuh gitu doang mah udah biasa buat cowo," jelasnya.

"Tapi Kak ... wajah Kakak pucat, dahi Kakak juga berkeringat, padahal sekarang dingin, beneran gapapa kan?" ungkap Syleene yang menyadari hal itu.

Tapi, Syleene tidak menyadari kedua tangan Askara yang sudah gemetar sedari tadi, pikirannya juga kacau mengingat kejadian sekilas, bukan hanya dahi yang bercucuran keringat, tapi seluruh tubuhnya terasa panas, Askara merasa tertarik pada kejadian yang ingin ia lupakan.

^人^THANKS FOR READING^人^






08 Mei 2024

Moon Without Light [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang