16. Akar masalah?

65 19 7
                                    

vote dulu sebelum membacaヽ(●'ε`●)ノ

.

🩶HAPPY READING🩶
.

Malam adalah waktu untuk melepaskan diri dari rutinitas, kini saatnya merenung, dan menemukan ketenangan batin. Kegelapan yang menyelimuti bumi seakan memberikan ruang bagi imajinasi dan kreativitas untuk berkembang, membawa kita pada petualangan batin yang menyejukkan jiwa.

Petualangan batin yang membuat Syleene semakin tersiksa dan gila.

Waktu menunjukkan pukul 23.30 WIB,
udara malam yang terasa segar dan menyejukkan seolah bisa menghapus lelah dan membersihkan semua dosa dari hiruk pikuk siang hari.

Dengan langkah gontai, Syleene menyusuri jalan pulang di tengah malam yang sunyi. Hatinya terasa berat, pikiran melayang-layang memikirkan cacian apalagi yang akan diterima di rumahnya.

Setelah Syleene memasuki rumahnya, jemari lentik itu membuka pintu secara perlahan, ia mendengar isak tangis yang memecah keheningan malam itu, arahnya dari kamar Medina. Bisakah sosok manusia yang seperti tidak memiliki hati menangis?

Bukankah manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna? Meski begitu, mereka tetaplah memiliki banyak kekurangan.

Syleene mendekati kamar Medina untuk memastikan. "Ma-" ucap Syleene seraya membuka pintu perlahan. Bola matanya melebar ketika melihat Medina dengan kondisi yang bisa dibilang berantakan.

Tas yang sedari tadi menaut dengan jemari Syleene kini jatuh ke lantai, jemari Syleene kaku, kakinya terasa lemas, tetapi netranya menelusuri setiap sudut kamar itu, lemari kayu yang terbuka lebar menampakkan isinya yang tidak tertata, pakaiannya berhamburan di mana-mana, Medina sungguh terlihat seperti orang gila.

Luka apa yang dia terima?

Kedua mata Medina yang sudah memerah itu menyorot tajam pada Syleene, ekspresinya datar penuh intimidasi. "Kerja sebagai Pelacur, Syleene? Sudah tengah malam seperti ini baru pulang."

Syleene tersenyum sekilas, ia tidak menyangka bahwa Medina akan berbicara seperti itu dengan terang-terangan. Apakah Medina pikir Syleene adalah wanita murahan? "Namanya juga part time Ma," jawab Syleene yang masih bisa mengontrol emosinya.

Langkah-langkah kecil Syleene mengikis jarak antara keduanya. "Mama kenapa nangis?" tanyanya penasaran.

Medina menghapus buliran air matanya kasar, ia menatap Syleene tak suka. "Saya tidak menangis," kilahnya.

Syleene duduk berhadapan dengan Medina, rasa gugup menghantui keduanya, apakah ini adalah kali pertama mereka berhadapan? "Kalo Mama butuh pendengar, Syleene bisa ko."

"Jangan berlagak seperti orang dewasa, Syleene," sambar Medina.

Syleene sedikit tersentak, hatinya terbesit sakit. "Syleene ... hanya ingin lebih dekat sama Mama. Syleene udah gak punya siapa-siapa lagi sekarang, cuma Mama harapan Syleene bertahan."

Syleene menautkan jemarinya dengan Medina perlahan. "Ma, Syleene hanya ingin semakin dekat dengan sosok ibu. Mama bisa jadikan Syleene sebagai tempat cerita."

"Saya tidak kenapa-kenapa, jangan mendesak seperti itu," jawab Medina dengan nada tinggi.

Syleene hanya mengangguk.

Kebersamaannya diselimuti keheningan dan rasa canggung beberapa detik, keduanya berperang dengan isi kepala masing-masing yang penuh cabang. Beribu kata tertahan di lisan keduanya.

"Maaf, Syleene boleh bertanya?" tanya Syleene memecah keheningan.

Medina diam beberapa saat, kemudian mengangguk perlahan.

Moon Without Light [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang