VOTE DULU SEBELUM MEMBACA
keep relaxing ヽ(●'ε`●)ノ🩶HAPPY READING🩶
.Angin sepoi-sepoi berhembus menerpa wajah dengan tenang, memberikan kesejukkan dan kenyamanan yang terasa damai. Pemandangan kota dengan gedung-gedung pencakar langit, lalu lintas kendaraan yang terlihat kecil dan pepohonan, semuanya terasa memanjakan netra.
Suasananya tenang, damai, jauh dari kebisingan kelas dan aktivitas sekolah. Di sini, Syleene melepas penat meski sejenak. Rooftop sekolah.
Langkah kecilnya berjalan dengan santai menuju pinggiran rooftop, jemari lentiknya itu memegang sebuah buku, penuh materi, tentang semua hal yang harus ia pelajari demi medali. Demi menaikkan nama sekolahnya.
"Persis kata Kak Aska, SMA Garuda memang sedikit keras bagi siswi beasiswa, apalagi jalur rapor. Tidak ada istirahat walau sejenak." Pandangannya terangkat melihat birunya langit. "Tuhan, kalo cape, apa tidak boleh mengeluh? Tidak boleh istirahat sejenak? Bolehkah aku tidak belajar, satu hari aja," gumam Syleene seraya menunduk memperhatikan lalu lintas kota.
Kemudian, Syleene membuka buku yang ia pegang, tatapannya fokus pada buku itu. Materi bercampur angka. "Materinya udah gak masuk di otak. Bukankah otak juga memerlukan istirahat?" Senyum miris tersungging di bibirnya.
Syleene memejamkan netra seolah bisa meredamkan amarah, bersamaan dengan itu, setitik air mata membasahi kedua pipinya. "Aku hanya manusia penuh dosa, yang di paksa sempurna."
"Mama, jika boleh meminta, aku ingin tahu di mana Papa." Syleene mengangkat buku itu ke atas, dengan gerakan tangan yang kuat dan terarah, bukunya di lepaskan dari genggaman. Syleene tersenyum melihat buku yang terlepas dari jemari lentiknya, ia membiarkan buku bergerak bebas di udara pagi.
Gaya dorong dari lemparan memberikan kecepatan awal pada buku. Buku bergerak maju dengan kecepatan tersebut, sementara gravitasi terus menariknya ke bawah. "Lintasan buku membentuk kurva parabola," gumam Syleene, kemudian dia menggeleng pelan. "Tidak, ini seperti hukum Newton 2."
Senyumnya sedikit merekah, seolah-olah dia baru saja membuang beban. "Pergi saja, aku sudah muak," racau Syleene.
Selama buku melayang di udara, Syleene memperhatikannya dengan seksama, angin dan udara di sekitarnya memberikan gaya hambat yang memengaruhi pergerakan buku, membuat Syleene berdecak sebal. "Gaya hambat itu, memperlambat laju buku secara bertahap, terlihat menyebalkan."
Buku itu terombang-ambing dan berputar-putar karena adanya gaya-gaya yang bekerja, melewati gedung sekolah dengan ketinggian 4 lantai.
"Sudah tenang bukan?" Akhirnya, setelah mencapai titik tertinggi lintasan, buku jatuh ke bawah akibat dominasi gaya gravitasi. Kecepatan buku semakin meningkat saat mendekati permukaan, hingga akhirnya buku mendarat, di taman belakang sekolah SMA Garuda.
"Kini, giliran aku." Langkah kakinya mengikis jarak dengan pinggiran rooftop tanpa pagar, Syleene tersenyum melihat buku yang terlihat kecil dari atas, dan mungkin sudah tidak berbentuk.
Syleene memejamkan matanya, membayangkan semua sakit yang ia terima. Tekanan dari Medina, sosok dirinya yang tidak mengenal Ayah, ancaman yang kejelasannya abu-abu, belum lagi tentang sekolah. Dia merasa punya tanggung jawab atas tingkat popularitas sekolahnya. Apalagi, sebelumnya SMA Garuda memang masuk ke dalam 3 besar sekolah terbaik. "Aku harus bersaing dengan membawa nama sekolah, bagaimana jika gagal?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Moon Without Light [TERBIT]
Teen FictionKematian dan kisah cinta yang tersimpan selama 16 tahun menjadi latar belakang cerita ini. Melanjutkan hidup dalam semangat ucapan mayat adalah caranya untuk tetap bertahan. Pertemuan pertamanya di tempat yang nyeleneh membuat Askara Rakesh Abivad...