46

422 31 12
                                    

"Ram, pada akhirnya kamu hanya bayangan yang sulit untuk aku genggam. Pada akhirnya, kamu hanya seseorang yang telah habis masanya. Pada akhirnya, aku dan kamu seperti senja. Kamu yang selalu menjadi candu ku kini harus tenggelam bersama kenangan indah di tempat favorit kita."

"Ram, lantas apakah aku harus membenci laut? Tempat itu telah membuat aku kehilangan kamu untuk selamanya. Tempat yang selalu membuat kita merasa tenang, pada akhirnya membawa trauma tersendiri untuk aku."

"Ram, bagaimana lagi caranya untuk aku bisa menerima semua takdir yang Tuhan buat untuk kita? Bagaimana lagi caranya agar aku ikhlas dengan semua hal menyakitkan ini? Bagaimana caranya aku bisa berdiri sendiri tanpa hadirnya kamu. Dan aku kira, cukup lima tahun kemarin aku kehilangan semua hal tentang kamu, tapi pada akhirnya kini kamu sudah benar-benar pergi untuk selamanya."

Gebi terus menggumam sembari melihat foto yang tertata rapi di sebuah album berwarna biru muda. Air matanya tak lagi bisa ia tahan. Dadanya sesak menahan suara tangis agar tak terdengar oleh orang lain.

Semua hal indah bersama Rama kembali terputar bagaikan DVD. Sekelebat kenangan bersama laki-laki itu kembali lagi bersama air mata yang mengalir deras di pipi Gebi.

Tak pernah ia sangka sebelumnya, jika pertemuannya kemarin akan menjadi pertemuan terakhir keduanya.

Semua ucapan Rama hari itu kembali teringat jelas dan semua akhirnya menjadi kenyataan pahit yang harus ia terima.

"Ikhlas itu bohong, Ram!" Gumam Gebi tertahan.

"Aku tidak pernah benar-benar ikhlas, Ram! Sedangkan ini terlalu menyakitkan bagi aku!" ujar Gebi dengan nada bergetar.

Tangisannya semakin menjadi, dadanya semakin sesak.

"Ram!" Teriak Gebi.

"Gue masih berharap jika ini hanya mimpi. Gue masih berharap jika lo akan kembali lagi. Gue berharap lo sedang menikmati senja dengan waktu yang cukup lama."

"Ram, kalau lo sudah bosan dan capek, pulang ya. Banyak orang yang nunggu lo pulang, banyak orang yang menanti kehadiran lo."

Akhirnya, Gebi sampai di halaman terakhir album foto itu. Disana foto keduanya yang tengah tersenyum lebar, saling merangkul. Foto yang di ambil saat Gebi wisuda dan Rama juga.

Tak lama suara ketukan pintu terdengar dari luar. Hari ini Gebi masih mendapatkan cuti dan ia memilih untuk kembali pulang kerumahnya.

"Dek," panggil seseorang yang tengah berjalan mendekat kearahnya.

Dengan cepat, Gebi menghapus sisa air mata di pipinya. Lalu ia tersenyum pada Reza.

Senyum kebohongan yang selalu Gebi berikan pada orang-orang di sekitarnya, sejak kepergian Rama.

Reza memeluk erat tubuh Gebi. Tubuh gadis kecil yang selalu ia jaga sejak dulu. Tubuhnya bergetar hebat, lagi-lagi Gebi tak bisa menyembunyikan rasa sakitnya.

"Bang," panggil Gebi lirih.

"Nggak apa, dek, nangis aja kalau itu bisa bikin kamu sedikit lega," bisik Reza di telinga adik tercintanya.

Reza adalah saksi dari setiap perjalanan kisah Rama dan Gebi. Kedua remaja yang sejak saat itu saling menyimpan rasa yang terjebak di zona pertemanan.

"Rama pasti kembali kan, bang?" tanya Gebi dengan nada berharap jika Reza akan mengatakan 'Iya'.

Namun lagi-lagi Reza menggeleng, ia tak ingin membuat adiknya kembali berharap dengan keadaan yang memang sulit untuk di terima.

Reza menggeleng, "dek, Abang tahu kalau ini sangat menyakitkan. Tapi kamu nggak boleh kaya gini terus. Kalau Rama ngeliat kamu kaya gini juga dia pasti sedih. Ikhlas dek, relakan semuanya. Tuhan jauh lebih sayang sama Rama. Coba bayangkan saja, jika Rama kembali namun dia dalam keadaan yang tidak baik-baik saja, dia akan merasakan sakit untuk kedua kalinya."

Friendzone (Open PO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang