10

1.2K 67 2
                                    

Air mata sudah menggenang di pelupuk mata Gebi. Rasa tidak ikhlas untuk berpisah dengan sahabat yang sudah menemani setiap langkah Gebi. Menemani setiap suka dan duka gadis itu.

Perjalanannya pagi ini terasa berbeda. Berbeda dengan biasanya. Biasanya gadis itu akan bahagia. Bahagia karna bisa berjumpa dengan pemuda itu. Tapi kali ini sangat berbeda. Dadanya sesak, matanya memanas.

Perpisahan kali ini benar-benar amat menyiksa Gebi. Namun dirinya tak ingin egois, perpisahan ini hanya sementara dan semuanya akan baik-baik saja.

Pada ketinggian tiga puluh enam ribu kaki di atas permukaan laut. Tubuhnya ada pada pesawat Garuda Indonesia dengan rute perjalanan Yogyakarta- Jakarta. Tapi berbeda dengan hati dan pikirannya. Hatinya berusaha mengikhlaskan, namun pikirannya selalu menerawang jauh ke hal-hal buruk yang akan datang.

Begitu sampai di bandara tadi, Rama tak banyak bicara, entah apa yang ada di pikiran lelaki itu. Padahal hari ini, hari pertemuan yang mungkin untuk terakhir kalinya. Setelah ini, mereka akan disibukan oleh persiapan untuk masuk perguruan tinggi. Begitupula dengan Rama. Dia akan berjuang untuk meraih impiannya menjadi abdi negara.

Keadaan hati Gebi benar-benar berkecamuk. Entah apa yang harus dirinya lakukan, selain mengikhlaskan. Air matanya lagi-lagi menetes tanpa di minta.

"Permisi Mbak, ada yang bisa saya bantu?" Gebi tersadar dari lamunannya ketika mendengar suara seorang pramugari yang bernama Azki.

"Eh, anu, engga, Mbak. Maaf tadi saya hanya melamun." Dengan cepat, Gebi menghapus air matanya.

"Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu. Jika Mbak butuh bantuan hubungi kami, atau panggil saya atau Mbak Ike, ya." Gebi mengangguk.

Tak lama, guncangan Gebi rasakan kala pesawat akan mendarat di bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Gebi berjalan dengan loyo. Mencari pintu keluar bandara.

Dengan perasaan yang masih campur aduk Gebi berusaha terlihat baik-baik saja. Dirinya tak ingin memperlihatkan kesedihannya di depan orang tuanya ataupun abang tercintanya. Karna pagi ini Gebi akan di jemput oleh Ayah tercintanya.

Hingga tepukan Gebi rasakan. Kini mata Gebi menyipit, mencoba mengingat siapa lelaki yang ada di depannya.

"Dek, Gebi kan. Adik perempuannya Reza?" Gebi mengangguk.

"Saya Naufal, teman SMA abang kamu." Gebi ingat sekarang, dia sahabat dekatnya Reza. Dan dia juga sekarang sudah menjadi taruna Akmil.

"Oalah, kak Naufal toh. Iya saya ingat, kaka yang suka ngusilin aku dulu kan kalau main kerumah." Naufal tertawa, ternyata adik sahabatnya itu sekarang sudah tumbuh menjadi gadis cantik. "Btw dapet IB kak?"

"Heheh, iya dek." Gebi manggut-manggut merasa canggung. "Btw kamu sendirian toh?" Gebi mengangguk.

"Bagaimana kalau saya antar pulang, masa cewek cantik kaya kamu di biarin jalan sendiri toh, nanti ada yang nyulik bisa berabe kan." Canda Naufal.

"Ah kaka ini bisa ae. Emang dasar ya semua taruna sama aja, kalau ada cewek cantik aja langsung di pepet." Ledek Gebi sedangkan Naufal hanya tertawa.

"Hahah, engga kok, dek. Gak semua kaya gitu, contohnya saya." Lagi-lagi Gebi hanya manggut-manggut. "Gimana dek, apakah bersedia?" Gebi menimbang lagi.

"Gimana ya kak, tadi si ayah bilang kalau abang yang bakal jemput aku disini."

"Yasudah saya tunggu sampai abangmu sampai, saya juga sudah lama tak jumpa dengan abangmu. Kita tunggu diluar saja ya dek atau kita makan dulu di luar sambil nunggu abangmu?." Gebi mengangguk "Baiklah,kak."

"Mari lewat sini, dek." Gebi mengikuti Naufal dari belakang.

Sekarang Gebi tengah menjadi pusat perhatian. Bagaimana tidak? Gebi yang notabenya masih anak SMA tengah berjalan dengan seorang Taruna akmil tingkat tiga. Juga karena kak Naufal memakai baju pesiarnya.

Friendzone (Open PO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang