Pagi harinya Adhisti menghadiri kajian ustazah Annisa bersama dengan mertua serta adik iparnya, keramahan sang ustazah terhadap Umi Dahlia dan keakrabannya dengan Delia membuat pikiran Adhisti sedikit terganggu.
Namun, segera Adhisti tepis. Selama kajian berlangsung Adhisti terus mendengarkan dengan senyum terus menghiasi bibir mungilnya, benar yang dibilang Delia cara penyampaian yang digunakan ustazah Annisa mudah dipahami olehnya yang masih sangat awam dan tak mengerti apa-apa.
"Sudah cantik, solehah pula. Ini sih definisi cantik luar dalam ya, Bu," celetuk seorang ibu jamaah yang terdengar di telinga Adhisti, dan Adhisti membenarkan ucapan ibu tersebut.
"Iya, Jeng. Andai aku punya anak laki-laki, sudah aku jodohkan dengan ustazah," saut yang lain.
"Dengar-dengar sih dulu ustazah pernah dijodohkan, cuma laki-lakinya nolak. Padahal kedua keluarga sudah sangat dekat, Bu."
"Masa, Jeng? Wah sayang banget ya, pasti nyesel laki-laki itu."
"Iya, padahal mereka serasi loh. Yang perempuan solehah yang laki-lakinya kelihatan soleh, pernah sekali saya liat laki-lakinya."
Adhisti hanya bisa tersenyum mendengar setiap ucapan ibu-ibu jamaah, apa benar ada laki-laki yang bisa menolak ustazah Annisa?
Kajian selesai tepat sebelum azan Dzuhur berkumandang, teriknya matahari tak membuat para ibu-ibu jamaah mengurungkan niat untuk pulang atau sekedar berteduh dulu di bawah pohon tabebuya yang ada disekitar masjid.
Tabebuya, mengingatkannya pada rumah orang tuanya. Sudah lama Adhisti tak pulang, terkadang rindu menggerogoti relung hatinya terhadap kamar dan pohon kesayangannya.
Adhisti masih duduk di selasar masjid menunggu sang adik ipar yang tengah ke toilet, Dari kejauhan wanita itu bisa melihat mobil milik suaminya terpakir di pelataran masjid, tak jauh dari sana Raka tengah mengobrol dengan seseorang yang seumuran dengan Abi Faruq.
"Mbak kok belum pulang?" ustazah Annisa keluar bersama Umi Dahlia.
"Iya, Nduk. Kok masih duduk disini?" tanya Umi Dahlia.
"Lagi nungguin Delia, Umi, ustazah."
"Panggil Annisa saja, Mbak."
"Kalau begitu, Nisa juga panggil Adhisti saja. Sepertinya umur kita tak terlalu jauh."
"Nggih, Adhisti. Saya duluan ya, mari Adhisti, Umi, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, silahkan, ustazah. Umi menunggu Delia dulu."
"Waalaikumsalam," tutur Adhisti.
Selepas ustazah Annisa pamit, Delia pun keluar dan meminta maaf karena dirinya Adhisti dan sang umi harus menunggu.
Baru Adhisti hendak melangkah, ia mendengar suara ibu-ibu jamaah di belakangnya yang tengah bergibah soal ustazah Annisa. Seperti tak ada habisnya pembahasan mereka tentang ustazah muda itu, hingga sebuah ucapan melintas di telinga Adhisti dan masuk sampai ke hati serta pikirannya.
"Masya Allah, apa saya tidak salah lihat?" pekik seorang ibu.
"Kenapa, Jeng?" tanya yang lainnya.
"Itu bukannya laki-laki yang dulu dijodohkan dengan ustazah? Kok bisa ada di sini? Apa jangan-jangan mereka sekarang sudah menikah?"
"Yang mana, Jeng?"
"Itu yang pake kemeja navy," terang si ibu.
Iris mata Adhisti langsung terbelalak, bukannya pria berkemeja navy itu adalah suaminya. Jadi laki-laki yang menolak ustazah muda itu suaminya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Tisyabina Adhisti || Kim Jisoo - Kim Mingyu || TERBIT
Roman d'amour"Apa aku bisa menjadi seperti Sayyidah Fatimah untuk seseorang?" "Kamu tidak perlu menjadi Sayyidah Fatimah hanya untuk mendapatkan seseorang, karena di jaman sekarang tidak ada orang yang seperti Sayidina Ali bin Abi Thalib. Cukup menjadi dirimu se...