37

142 13 0
                                    

"Kehamilan Bu Adhisti ini sangat beresiko. bukan maksud saya menakut-nakuti, akan tetapi ini harus saya sampaikan agar kehamilan ini bisa kita pantau sama-sama ya, Pak, Bu."

"Ini saya resepkan vitamin dan suplemen untuk menguatkan janin, sejauh ini kondisi janinnya bagus hanya kita perlu beri tambahan obat agar lebih kuat,"

"Saya juga tambahkan obat untuk mencegah resiko cacat janin atau bahasa medis kita menyebutnya spina bifida pada bayi ketika lahir nanti."

"Selain itu kita harus periksa secara rutin dan lebih sering ya, Bu. Nanti di usia kehamilan sudah memasuki usia 18 minggu kita akan melakukan pemeriksaan biometri janin secara berkala sampai calon dede bayinya 24 minggu. Saya tunggu cek up rutin perbulan ya, dan kalau ada kendala langsung hubungi ke nomor pribadi saya."

"Semua yang saya jelaskan hanya bersifat kemungkinan dan kita berusaha untuk pencegahan jadi untuk Bu Adhisti tetap harus semangat ya."

Semua kata-kata dokter cantik berbalut hijab hijau itu menjadi semangat baru untuk Adhisti, ia semakin yakin jika bayinya akan terlahir normal.

Hari-hari Raka selalu di warnai dengan pertengkaran-pertengkaran kecil bersama Delia, entah bawaan sang bayi atau memang itu hobby baru Raka.

Seperti pagi ini Raka lebih memilih ikut berkebun bersama Umi, adik serta istrinya dari pada pergi ke NarArt, pria itu datang ke halaman belakang dengan mengenakan celana rumahan berwarna gelap serta kaos putih tak lupa sebuah topi.

"Mas gak ada kerjaan banget ikut kita begini." Orang yang pertama protes tentulah Delia.

"Suka-sukalah,"

"Tuh kan, Umi, Mas Rakanya nyebelin banget."

"Maaass, Deeekk. Jangan mulai masih pagi loh ini, kalian tuh kenapa tiap ketemu ribut terus?" Umi Dahlia mulai memperingati.

"Mas Raka duluan tuh, Mi."

"Deh, kenapa aku yang salah? Kamu liat kan By dia duluan yang mulai tadi." Raka meminta dukungan dari Adhisti.

"Curang bisanya minta bantuan Mbak Adhisti, udah Mbak jangan belain Mas Raka."

"Dia istriku, jelas dia akan membelaku."

"Sudah, sudah ... Dek, kamu ikut Umi kita tanam bunga di sebelah sana, biarin Masmu bantuin Mbakmu nyiram bunga Kenikir." Umi Dahlia mulai pusing mendengar perdebatan antara anak sulung dan anak bungsunya.

Ditinggal berdua dengan sang istri Raka mulai mendekat menyandarkan kepalanya pada bahu Adhisti yang membelakanginya, wanita itu tengah menyiram bunga-bunga Kenikir yang tumbuh dengan suburnya.

"Lemesku datang lagi, By," keluh Raka mencari perhatian Adhisti. Terkadang memang sulit membedakan siapa yang sebenarnya hamil, Adhisti atau Raka?

"Kalo lemes istirahat, Mas. Bukannya malah ikut ke taman belakang." Adhisti mengusap halus kepala suaminya.

"Bt, By, kenapa kamu lebih memilih menanam kenikir? Kenapa bukan Mawar? Lily? Melati? Horstensia? Anggrek?" Raka mengangkat kepalanya dan bertanya dengan wajah yang tersorot matahari, sehingga menambah beribu-ribu kali lipat ketampanannya.

"Entahlah, aku tiba-tiba menyukainya."

"Apa kamu tau, By, setiap bunga memiliki filosofinya masing-masing?"

Adhisti menggeleng. "Lalu apa filosofi Kenikir, Mas?"

"Kenikir sama dengan bunga matahari, mereka masih satu keluarga. Kenikir sendiri melambangkan kesetiaan, keceriaan, semangat baru dan juga energi positif. Bahkan mereka memiliki keunikan tersendiri sama seperti bunga matahari, bunga kenikir senantiasa mengikuti dan menghadap ke arah matahari." Raka tersenyum sangat manis hingga membuat Adhisti salah tingkah sendiri.

Tisyabina Adhisti || Kim Jisoo - Kim Mingyu || TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang