"By ...." Raka memanggil Adhisti dengan lembut, akan tetapi Adhisti masih larut dalam lamunannya.
"By," panggilnya lagi.
Namun, Adhisti tetap mengabaikannya hingga Raka memberanikan diri mengecup pipi sang istri hingga si pemiliknya terperanjat.
"Mas!" pekik Adhisti dengan tangan memegangi pipinya, mata bulatnya mengedarkan pandangan ke sekeliling takut-takut aksi suaminya diketahui orang tua bahkan pekerja di rumah ini.
"Maaf, By, kamunya nyuekin aku terus. Di panggilin dari tadi gak nyaut, mikirin apa sih?"
"Nggak mikirin apa-apa, Mas," elak Adhisti.
"Mulai, bohongnya ketauan banget."
"Kamu gak nyaman belajar sama ustazah Annisa? biar nanti aku bilang ke Umi, lagian menurutku kamu belajar sama aku juga udah cukup," lanjut Raka. Sebelum berangkat Umi Dahlia sempat menceritakan semua pada anak sulungnya perihal ucapan ibu-ibu jamaah, dari situ Raka paham akan satu hal dan ia tahu harus berbuat apa.
'Cukup apa? yang ada ilmunya gak nyampe ke otakku gara-gara penuh sama pesonamu, Mas' gerutu Adhisti dalam hati. Ingin rasanya Adhisti mengeluarkan kata-kata itu, akan tetapi yang keluar dari mulutnya berbeda dengan isi hatinya.
Adhisti langsung menolak dengan dalil ia nyaman mengikuti kajian-kajian ustazah Annisa, ia tak ingin suasana hatinya malah merenggangkan hubungan antara Abi Faruq dan sahabatnya.
"Hm ... gini ya, Nak, rasanya dicemburuin sama ibu kamu," ucap Raka dengan menusuk-nusuk perut Adhisti.
"Apaan sih, Mas? Siapa yang cemburu? Aku gak cemburu kok, Mas geer banget."
"Udah cemburu, gak mau ngaku lagi. Lebih milih nyiksa diri sendiri sama anakku dengan semua opini-opini dari luar, ketimbang minta penjelasan sama orangnya langsung. Umi sampe khawatirin kamu tuh," cibir Raka.
"Penjelasan apa sih, Mas? Umi kenapa harus khawatirin aku?"
"Tentang aku sama Annisa. Ya jelas khawatir, wong menantu kesayangannya ngambek minta pulang."
"Dengar baik-baik karena aku hanya akan menceritakannya sekali saja. Kamu cukup percaya pada ucapanku, jangan pernah dengarkan omongan orang luar. Aku menolak Annisa saat itu karena permintaan Annisa sendiri yang ingin fokus pada pendidikannya. Kenapa aku lebih memilihmu daripada wanita-wanita sebelummu? Ya karena memang kamu takdirku, bukan mereka. Yang harus kamu yakini sekarang adalah, aku hanya mencintaimu, amat sangat mencintaimu." Raka tangkup kedua pipi istrinya, tatapan Raka tak pernah lepas dari dua iris mata dengan bulu yang lentik.
"Oh jadi kalo Annisa mau, Mas juga gak akan nolak, gitu?" Tatapan mata Adhisti berubah seperti sedang menelisik sesuatu.
"Bukan gitu, By. Kenapa kamu malah menangkap ucapanku yang itu? Susah-susah aku nyari kata-kata romantis yang kamu tangkap malah bagian itunya." Raka bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan istrinya yang tertawa melihat Raka yang merajuk.
"Mas, tunggu dulu, Mas ... kok aku ditinggal," teriak Adhisti.
"Au ah kamu nyebelin." Raka terus berjalan menutupi wajahnya yang sudah memerah karena menahan kesal bercampur malu.
❄️❄️❄️
Kehamilan Adhisti sudah melewati trimester pertama, kedua calon orang tua itu selalu rutin mengecek kondisi Adhisti. Bukan hanya Adhisti, akan tetapi Raka juga sudah optimis Adhisti pasti akan baik-baik saja.
Calon ibu muda itu sama sekali tak merasakan apapun kecuali porsi makan yang semakin meningkat, siang ini Adhisti baru keluar dari rumah sakit setelah tiga hari di rawat karena harus transfusi darah.
Ia menolak saat Raka mengajaknya langsung pulang. "Boleh jalan-jalan sebentar, Mas? Aku pengen nyari angin dulu."
Raka mengangguk, ia mengajak Adhisti ke taman di daerah Jakarta Selatan. Dan ternyata komunitas thalassemia yang Raka ikut sedang mengadakan kegiatan di taman itu, beberapa orang yang mengenal Raka langsung mengajaknya bergabung.
"Mas," Adhisti langsung menarik lengan suaminya, ia tak nyaman berada di sekitar orang yang tidak ia kenal.
"Kamu pasti nyaman disini, By, percaya sama aku." Raka menyakinkan Adhisti, ia tautkan jemarinya dengan jemari milik sang istri dan melanjutkan langkah.
Di sekitar sana Adhisti bisa melihat beberapa kegiatan yang sedang berlangsung, dari mulai donor darah, penggalangan dana dan juga seminar dengan bertujuan menanggulangi thalassemia.
Hati Adhisti terenyuh. Ternyata di dunia ini dia tidak sendiri, dia memiliki banyak teman yang merasakan apa yang ia rasakan. Ia bisa melihat seorang gadis kecil berhijab yang masih sangat belia sedang bermain balon air bersama seorang wanita paruh baya.
"Namanya Sharla Al Mecca, dia sudah menjadi anggota komunitas ini sejak umurnya 3 tahun," bisik Raka di telinga Adhisti. Pria tampan itu menuntun sang istri untuk duduk di bangku yang bisa melihat keseluruhan kegiatan komunitas siang ini.
Adhisti mengalihkan pandangannya dari anak kecil yang mungkin usianya baru menginjak 5 tahun itu ke wajah rupawan sang suami, banyak pertanyaan yang ingin Adhisti tanyakan.
"Apa yang ingin kamu ketahui, By? tanyakanlah," ucap Raka dengan sebuah senyum yang terus menghiasi bibirnya.
"Apa anak kita juga akan merasakan rasa sakit yang aku rasakan, Mas? aku tak ingin menurunkan penyakitku ini padanya. Jangan sampai anakku juga merasakannya, tolong selamatkan anakku, Mas. Cukup aku saja yang merasakan kesakitan ini." Air matanya keluar begitu saja tak bisa ditahan oleh pemilik wajah cantik yang sudah terlihat segar itu.
"Hey, aku mengajakmu ke sini bukan untuk menambah beban pikiranmu, By. Insya Allah anak kita akan baik-baik saja, aku, abi, ayah dan dokter Nanda akan melakukan semua yang terbaik untukmu dan anak kita." Raka mengusap air mata sang istri.
Sungguh hati Adhisti sakit saat melihat Mecca kecil harus bertarung melawan penyakit itu, ia saja terkadang risih dengan jarum dan obat-obatan apalagi balita mungil itu pasti akan rewel jika jarum menempel di tangannya.
"Kamu pasti berpikir Mecca akan mengamuk saat waktunya transfusi darah? Tidak, By, sama sekali tidak. Dia justru tegar dan kuat. Hanya saja-" Raka belum melanjutkan ucapannya saat ada panitia yang memberinya snack box, Raka mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
"Hanya saja apa, Mas?"
"Hanya saja biaya yang menjadi kendala, By. Keluarganya yang tidak mengerti apa-apa hampiri saja telat membawa Mecca berobat, Alhamdulillahnya mereka bertemu dengan salah satu admin dari komunitas ini dan di bantu untuk segala urusannya. Apalagi sekarang biayanya juga sudah dibantu pemerintah melalu jaminan kesehatan."
"Aku ingin kamu bisa mengambil sesuatu dari sini, By." Raka mengusap sayang pipi istrinya.
Adhisti langsung mengangguk, ia mengerti maksud suaminya. "Ya, aku bisa mengambil sesuatu itu, Mas."
"Apa itu, By?"
"Aku harus selalu bersyukur dan semangat, karena aku tak sendirian. Dan aku sangat bersyukur memiliki ayah, bunda, umi, abi, dan kamu tentunya."
"Pinter," ucap Raka, ia usap pucuk kerudung istrinya.
"Mas, aku boleh meminta uang? Aku lupa membawa tasku."
Raka mengernyit, baru pertama kali ini setelah menikah Adhisti meminta uang padanya. Meski Raka selalu memberinya nafkah Adhisti tak pernah menggunakan kartu yang Raka berikan, ia selalu bilang jika menginginkan sesuatu pasti akan langsung meminta.
Raka mengeluarkan dompetnya, dan memberikannya kepada sang istri. "Pakailah, semua pin kartu itu sudah ku ubah dengan tanggal lahirmu, By."
Mata Raka mengantar kepergian Adhisti, senyum terbit di bibir pria pemilik alis tebal itu hingga matanya sedikit tertutup bagaikan bulan sabit saat ia mengetahui tempat yang dituju istrinya.
❄️❄️❄️
KAMU SEDANG MEMBACA
Tisyabina Adhisti || Kim Jisoo - Kim Mingyu || TERBIT
Romance"Apa aku bisa menjadi seperti Sayyidah Fatimah untuk seseorang?" "Kamu tidak perlu menjadi Sayyidah Fatimah hanya untuk mendapatkan seseorang, karena di jaman sekarang tidak ada orang yang seperti Sayidina Ali bin Abi Thalib. Cukup menjadi dirimu se...