"Turun lo!" Bentak Rendy ketika mereka sampai di depan sebuah minimarket.
Si gadis tampak celingukan, ia sama sekali tak mengenal daerah sini.
"Ini dimana?" Pertanyaan itu yang keluar dari bibir tipis milik si gadis, Rendy makin yakin urusannya bersama si gadis takkan selesai dengan cepat.
Rendy menghela napas, mencoba sabar. "Lo sebenernya dari planet mana? Mau di anterin ke mana? Ini udah mau magrib gue cape, mau istirahat."
"Gimana kalau gue ikut lo aja?" tanya si gadis.
"What?"
"Iya gue ikut ke rumah lo, boleh?"
"Are you crazy? Lo sebenernya dedemit dari mana sih?"
"Gue manusia, enak aja cewek cantik begini dibilang demit." Gadis itu membrengut kesal.
"Gue gak punya rumah, udah sana jauh-jauh dari gue hus ... hus," usir Rendy, andai ia lupa akan ucapan Raka tempo hari sudah pasti dengan senang hati ia akan membawa gadis ini ke apartemennya.
Namun, ucapan Raka selalu melekat dalam ingatan Rendy bahkan sampai di alam mimpinya, akhirnya mau tak mau Rendy memberi pengertian secara halus kepada si gadis. " Gue gak mungkin bawa lo ke apartemen gue, lo bukan sesuatu yang halal buat gue. Tuhan gue ngelarang seorang laki-laki tinggal bersama seorang wanita yang bukan mahramnya, jadi lo mau gue anterin kemana? Atau mau gue tinggal disini aja?"
Rendy tercengang mendengar ucapannya sendiri, padahal dirinya sangat kotor dan sekarang ia membawa-bawa tuhan apa itu pantas?
"Ya udah lo bisa tinggalin gue di sini." Gadis itu langsung turun dari mobil Rendy.
Sorot mata itu tak bisa Rendy abaikan, sorot mata ketakutan dan kebingungan. Namun, ia tak ingin ikut campur lebih dalam soal si perempuan itu. Masalahnya sudah menumpuk di tambah mobilnya yang harus masuk bengkel, belum lagi masalah orang-orang yang dulu ia sebut keluarga.
Rendy melesat begitu saja meninggalkan gadis yang di balut sweater rajut serta rok plisket itu, meski kata-katanya kasar ia tahu gadis itu gadis baik-baik. Rendy bisa membedakan mana gadis baik-baik dan mana gadis yang bisa ia manfaatkan hanya lewat sorot matanya, Rendy takkan bisa ditipu.
Sorot mata gadis itu mengingatkannya pada sosok Bellin, teduh tapi penuh keberanian. Rendy menghela napas, ia tiba-tiba merindukan wanita yang sudah mencuri sedikit hatinya sampai ia berpikir bisa melepaskan Delia sepenuhnya.
"Ini bukan tentang orang tuaku tetapi tentangku, Ren. Aku yang gak bisa sama kamu."
"Kita berbeda, aku nggak bisa mengambilmu dari tuhanmu dan kamu juga nggak akan bisa mengambilku dari tuhanku. Kita di pertemuan hanya untuk bersimpangan, Ren. Tujuan kita sama, akan tetapi jalan kita yang berbeda."
"Aku memang suka padamu, bahkan sejak awal aku sudah membuka hatiku untukmu karena ku kira kita sama. Maafkan aku, Ren. Kamu pria yang baik, suatu hari nanti Tuhanmu pasti akan mengirimkan seseorang untuk menjadi tulang rusukmu yang tepat."
Rendy langsung mengepalkan tangan lalu memukul kemudi sekuat tenaga, hatinya nyeri jika mengingat semua ucapan Bellin saat itu. Lalu pikirannya teralihkan pada gadis tadi, bagaimana jika gadis tadi benar-benar tidak tahu daerah sini?
Alih-alih melajukan mobilnya ke apartemen Rendy malah berbalik arah ke tempat minimarket tadi, dari kejauhan ia bisa melihat seorang gadis yang tengah berdiri memegangi perutnya.
Rendy juga bisa melihat tatapan penuh harap ketika gadis itu melihat mobil Rendy kembali, Rendy memberi kode untuk masuk.
"Thanks, gue tau lo gak akan tega ninggalin cewek cantik kaya gue di tempat yang gue gak kenal," ucap si gadis dengan senyum manis.
"Ini cewek pede bener, Astaghfirullah. Rumah lo dimana? Biar gue anterin pulang."
"Gue gak punya rumah, gue udah dibuang."
Deg!!
Seketika Rendy jadi teringat akan nasibnya sendiri, tapi jelas ia lebih beruntung karena saat itu Rendy memiliki Raka dan keluarganya yang selalu membantu dan menganggapnya keluarga.
"Terus ini gue harus anterin lo kemana?"
"Kemana aja, serah lo gue ikut."
❄️❄️❄️
"Masya Allah, By." Raka mengerang menahan kesal, pasalnya sejak tadi Adhisti selalu menghalangi jalannya. Padahal Raka sudah berwudhu dan hendak turun untuk melaksanakan salat Maghrib, entah istrinya kerasukan setan usil dari mana.
"By! Jangan usil, aku sudah punya wudhu." Adhisti bukannya takut ia justru semakin berani mendekat ke arah suaminya yang sudah tersudutkan di pintu kamar mandi.
Adhisti sangat senang melihat raut wajah Raka yang menahan kesal, tangan Adhisti terulur hendak memegang lengan Raka yang saat ini memakai koko lengan pendek.
"By, jangan ya, Sayang. Udah azan itu, kalo aku wudhu lagi nanti telat. Aku udah ditungguin abi di bawah, lebih baik kamu ambil wudhu juga. Aku tungguin, kita turun sama-sama, ok."
Wanita bergamis biru langit itu tak menghiraukan ucapan sang suami, ia justru sangat menikmati raut wajah Raka hingga ketukan di pintu menyelamatkan Raka.
Raka berlari membuka pintu kamar dan turun ke bawah, meninggalkan Adhisti yang tertawa lepas karena aksinya menjahili Raka telah berhasil.
Adhisti gegas mengambil wudhu dan turun ke bawah untuk ikut melaksanakan kewajibannya, sehabis salat Maghrib Adhisti tak ikut Raka. Ia justru ikut mengaji bersama Umi Dahlia dan adik iparnya.
"Besok ada kajian dari ustazah Annisa, kamu mau ikut, Nduk?" ajak Umi Dahlia.
"Apa boleh, Umi?"
"Tentu boleh, kamu pasti akan nyaman. Karena ustazah Annisa adik dari ustazah Khofifah, cara beliau menerangkan hampir sama dengan ustazah Khofifah," tutur sang mertua.
"Ikut aja, Mbak. Di jamin nyaman, soalnya Mbak Annisa itu kalo ngejelasin ala-ala anak muda. Aku aja nyaman banget," ujar Delia.
"Gimana? Mau ikut gak, Nduk?" Umi Dahlia langsung bertanya, ia tak ingin anak bungsunya kelepasan bicara sampai hal yang tak harusnya di bicarakan malah terucap.
"Boleh, Umi."
Malam harinya lepas salat Isya Raka melantunkan surat Yusuf sambil terus memegang perut rata Adhisti harus terhenti karena Adhisti memanggilnya. "Mas ...."
"Apa, By?"
"Aku pengen nasi kebuli," cicit Adhisti.
"Bukannya kamu gak suka, By?"
"Gak tau, pengen aja."
"Ya udah aku cariin, bentar ya." Raka hendak beranjak untuk berganti baju.
"Jangan! Mas disini aja, suruh sahabat Mas aja yang beli, ya." Raka makin heran, mendengar ucapan Adhisti.
"Rendy?" Adhisti langsung mengangguk.
"Kasian, By. Dia udah ngurusin kerjaan aku seharian di NarArt, dia juga pasti udah istirahat. Biar aku aja yang beli, ya," bujuk Raka.
"Gak mau. Aku maunya dia yang beli."
"By dia anakku loh, kenapa malah kamu pengennya Rendy yang beliin? Toh aku atau Rendy yang beli sama aja." Raka semakin heran, ia tak pernah punya pikiran buruk. Namun, permintaan Adhisti sungguh tak masuk akal. Hanya perihal siapa yang membelikan saja apa perlu dipermasalahkan.
❄️❄️❄️
KAMU SEDANG MEMBACA
Tisyabina Adhisti || Kim Jisoo - Kim Mingyu || TERBIT
Romansa"Apa aku bisa menjadi seperti Sayyidah Fatimah untuk seseorang?" "Kamu tidak perlu menjadi Sayyidah Fatimah hanya untuk mendapatkan seseorang, karena di jaman sekarang tidak ada orang yang seperti Sayidina Ali bin Abi Thalib. Cukup menjadi dirimu se...