Detik demi detik terasa berlalu begitu lama bagi wanita berbalut daster rumahan yang tengah gelisah menanti kepulangan suaminya, Adhisti yakin Raka sudah pulang saat dirinya masih terlelap terbukti semua alat tes kehamilan yang ia simpan di atas wastafel sudah tidak ada lagi.
Mendengar deru mesin mobil sang suami tak membuat Adhisti tenang justru malah semakin membuatnya takut, ia terus beristighfar dalam hati dan meyakinkan diri bahwa Raka tak mungkin meminta Adhisti melakukan hal yang dilarang dalam agama meski untuk kebaikan dirinya.
Bagaimana pun nantinya ia akan memperjuangkan anaknya, semoga ia masih punya keberanian untuk mengajak suaminya bicara baik-baik.
"Assalamualaikum," Adhisti mendongak ketika Raka mengucap salam.
"Waalaikumsalam, Mas." lirih Adhisti, ia cium punggung tangan suaminya dan di gantikan dengan sebuah kecupan di kening yang ia dapat dari Raka.
"Sudah salat, By?" Raka berbasa-basi, ia jelas tahu jika Adhisti sudah melaksanakan kewajibannya karena saat ia melirik sisi kamar sarung miliknya sudah tertindih oleh mukena milik Adhisti yang tersusun rapi di tempatnya.
"Su-sudah, Mas."
Raka yang mendengar nada bicara Adhisti, langsung bisa menebak saat ini istrinya tengah menahan rasa takutnya.
Raka membuka satu kancing kemeja paling atas berharap mendapat kelegaan, lalu mengajak Adhisti duduk di sofa sedangkan Raka berjongkok di hadapannya.
Ia genggam tangan wanitanya sambil mengusap lembut ujung kepalanya, mencoba memberikan kenyamanan dan ketenangan agar Adhisti mau mengeluarkan keluh kesahnya tanpa ada rasa takut.
"Udah makan?" Adhisti menggeleng.
"Mau makan dulu atau mau langsung cerita, hm?" tanya Raka.
Adhisti masih bergeming. "Kalo gak mau cerita, kita makan aja, ya."
Raka hendak beranjak, akan tetapi lengannya langsung ditarik oleh Adhisti.
"Kenapa, hm?"
"A-aku mau minta maaf, Mas."
Raka mengernyit, "meminta maaf untuk apa? Kamu bikin salah, By?"
Adhisti langsung mengangguk-anggukan kepalanya dengan cepat hingga air matanya ikut terjatuh.
"Apa itu, By?"
"Mas sudah melihatnya di wastafel kan?" tanya Adhisti.
"A-aku minta maaf, aku sudah membuat sebuah kesalahan yang mungkin bisa membuat Mas marah. Aku hamil, Mas," Adhisti langsung menatap mata Raka dengan air mata yang terus mengalir deras.
"Maafkan aku, Mas boleh marah. Mas boleh mendiamkanku, tapi tolong jangan apa-apakan anakku, Mas." Adhisti menggenggam erat tangan Raka.
"Aku sudah berusaha menuruti semua keinginan, Mas. Aku sendiri tidak tau kenapa aku bisa hamil, Mas."
Hati Raka tiba-tiba bagai di hujam beribu tombak mendengar ucapan sang istri, sebegitu tertekan dan ketakutannya Adhisti sampai ia meminta maaf bahkan menyebut jika kehamilannya adalah sebuah kesalahan.
Ia rengkuh tubuh mungil itu ke dalam dekapannya, menghujani beribu ciuman di pucuk kepala yang berbalut pasmina broken white.
"Maafkan aku, By. Maafkan aku."
"Ini semua salahku, aku yang terlalu egois dan kejam padamu. Aku tidak pernah menyalahkan kehamilanmu, Sayang. Sungguh, aku tidak akan marah, apalagi sampai menyuruhmu menggugurkannya."
"Aku mencintai kalian, akan tetapi aku hanya terlalu takut menghadapi apa yang akan terjadi kedepannya. Aku takut jika kamu akan kenapa-kenapa hanya karena mengandung dan melahirkan anakku, By."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tisyabina Adhisti || Kim Jisoo - Kim Mingyu || TERBIT
Romansa"Apa aku bisa menjadi seperti Sayyidah Fatimah untuk seseorang?" "Kamu tidak perlu menjadi Sayyidah Fatimah hanya untuk mendapatkan seseorang, karena di jaman sekarang tidak ada orang yang seperti Sayidina Ali bin Abi Thalib. Cukup menjadi dirimu se...