Empat belas

800 127 10
                                    

Seperti ucapannya kemarin, hari ini ia akan pulang ke rumah memenuhi permintaan Alex. Jujur saja ia sangat malas datang ke rumah orang tuanya itu. Kalau bukan sang adik yang memohon padanya ia tak peduli pada orang yang ia sebut Papi itu.

Mobil Prilly memasuki rumah besar di depannya, memarkirkan mobilnya tepat di depan pintu utama rumah ini. Ia keluar dan memandang tajam rumah di depannya.

"Cih malas sekali."

Prilly menggunakan kacamata hitamnya dan segera menekan bel rumah tersebut. Hingga tak lama pintu di buka, "Non Lexa. Ya ampun non ayo masuk."

"Makasih bi."

Prilly masuk dan duduk di ruang tengah, "Bibi bikinin es coklat buat non dulu ya."

"Sekalian tolong panggilin Alex ya bi."

"Siap non."

Prilly menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Ia menyandarkan kepalanya pada belakang sofa, memejamkan matanya menikmati usapan angin dan juga pendingin ruangan.

"Kak."

Prilly membuka matanya dan menatap Alex, adik laki-laki nya itu langsung menerjangnya, memeluk erat tubuhnya.

"Hiks Alex kangen kak." Tangisnya, mendengar itu Prilly ikut menangis. Karena memang sebenarnya ia sangat merindukan adiknya ini, dari kecil mereka memang sangat dekat namun karena keegoisan Altaf membuat keduanya terpisah.

"Jangan pergi lagi kak, Alex capek kak." Alex mengadu padanya.

"Gue selalu ada buat lo Lex." Bisik Prilly.

"Jangan nangis ya." Prilly mengusap air mata Alex.

"Kakak juga."

Keduanya saling mengusap air mata. Matanya menjadi sembab namun tetap tak mengurangi pesona keduanya.

"Ini non es coklatnya."

"Makasih bi."

Prilly meneguknya hingga akhirnya ia menatap Alex, "Jadi ngapain lo minta gue kesini?"

"Papi sakit kak. Papi nyariin lo terus, dia ngaku bersalah sama lo kak."

"Itu hanya akal akalan aja biar gue pulang."

"Gue ga bohong kak, Papi beneran sakit. Sekarang ada di kamar, kita liat kak." Alex berdiri dan mengajak Prilly ke kamar utama yang berada di atas.

Kini keduanya tepat berada di depan kamar utama, kamar kedua orang tuanya. Alex mengajaknya masuk, di sana ia melihat seorang laki-laki paruh baya yang terbaring lemah dengan selang infus dan juga uap.

Prilly terdiam melihat kondisi sang Papi. Tak menyangka dengan kondisi Papi nya itu, dengan tangan gemetar ia mendekati Alex yang sudah berada di samping Altaf.

"Papi." Suaranya terdengar bergetar, rasa sesak menghantam dadanya.

"Papi sakit leukimia, udah stadium akhir tapi dia ga mau berobat. Dia cuma minta lo datang disaat hari terakhir dia."

Batu besar langsung menimpa hati, sesak membuat nafasnya tersendat, "Hiks Papi." Pecah sudah tangisnya. Ia menggapai tangan Altaf dan menggenggam erat.

"Papi hiks ini Prilly, Prilly pulang pi."

"Maafin Prilly Pi, hiks bangun Pi ini Prilly dateng."

Alex ikut menangis melihat sang kakak, ia tau kakaknya sangat menyayangi Papi mereka namun harus terhalang benci yang timbul akibat perbuatan Papinya sendiri.

Mata yang terpejam itu perlahan terbuka, matanya menangkap sosok yang ia rindukan. Dengan pelan ia mengangkat tangannya dan meletakan tangannya di kepala Prilly mengusap lembut rambut Prilly.

"Prilly." Lirihnya.

Prilly dan Alex menatap Altaf. "Papi hiks maafin Prilly." Tangis Prilly menggenggam tangan Altaf.

"Bukan salah kamu, ini salah Papi. Papi minta maaf sama kamu, karena papi kamu menderita."

"Aku udah maafin Papi."

"Kamu jangan pergi lagi ya, Papi mau sama kamu dan Alex terus." Lirih Altaf.

"Iya Papi, Prilly ga akan pergi lagi. Prilly bakal disini terus sama Papi."

Altaf tersenyum kecil, ia senang Prilly kembali ke rumah bersama mereka. Begitupun dengan Alex, ia sangat bahagia jika Prilly bersedia kembali tinggal bersama mereka.

***

Begitu tiba di kampus Prilly melangkah menuju kelasnya yang dua puluh menit lagi akan di mulai. Di kelas ia melihat Syifa yang sudah duduk manis sedang membaca buku.

"Syifa."

"Waalaikumsalam." Sindir Syifa. Lagi dan lagi Prilly tersenyum.

"Kenapa kok baru dateng?"

"Tadi ngurus Papi dulu."

Syifa memandang lekat Prilly, "Kamu udah balik ke rumah?"

"Iya."

"Alhamdulillah." Syukur Syifa.

"Terus gimana?" Tanya Syifa lagi.

"Papi Fa." Lirihnya.

"Papi kamu kenapa?"

"Papi sakit fa, Papi sakit leukimia."

"Innalilahi wa innailaihi rojiun, udah berobat?"

"Papi berobat tapi ga maksimal, dia nungguin gue selama ini."

"Gue jahat sama Papi Fa hiks." Tangisnya. Syifa yang mendengar itu langsung memeluk Prilly, mengusap lembut punggung Prilly memenangkan sahabatnya.

"Kamu ga jahat Pril, yang penting kan semuanya udah balik normal lagi."

"Sekarang yang harus kamu lakuin cuma fokus kesembuhan buat Papi kamu. Aku yakin kamu sanggup jalani semuanya."

"Hiks makasih fa, selalu jadi tempat keluh kesah gue. Gue ga tau kalo ga ada Lo."

"Itu gunanya sahabat, sekarang jangan nangis dikit lagi Miss Rere masuk."

Prilly menghapus air matanya, ia tersenyum ke arah Syifa dan tak lama benar saja Miss Rere datang dan memulai pelajaran.

Setelah dua jam kelas Miss Rere pun selesai. Keduanya keluar dan segera berjalan menuju kelas mister Abraham untuk kelas selanjutnya.

Di kelas mister Abraham Prilly lebih diam dan bahkan ia tak menjelaskan dengan baik materi yang diterangkan oleh dosennya itu.

"Baik sebelum selesai, saya mau di rumah kalian buat laporan analisis data, minggu depan kalian presentasi."

"Siap pak."

"Baik itu saja terimakasih, dan selamat siang."

Kelas kedua selesai, keduanya pun ke kantin untuk makan siang. Syifa memesankan mie ayam untuk keduanya. Prilly menunggu dalam diam, tak seperti biasanya bukan? Bahkan banyak yang menatap aneh Prilly, karena gadis itu biasanya berisik sekali.

"Ini makan."

"Makasih fa."

Keduanya pun menikmati makanan masing-masing. Dan setelahnya mereka berjalan menuju lobby, keduanya sudah boleh pulang karena hanya ada dua kelas hari ini.

"Gue duluan ya fa."

"Oh iya Pril, hati hati ya."

"Iya, Lo juga."

Prilly berlalu menuju mobilnya sedangkan Syifa menunggu Ali menjemputnya.

***
Gimana part ini?
Jangan lupa vote dan comment!
Semangat puasanya!

Masih pada seneng ga nih sama tanggal 14 kemarin?

Salam Dilan...

Sujud BersamakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang