46. Kenangan Indah Atau Pahit??

436 21 0
                                    

“Terlalu lelah sampai-sampai ingin tidur pun rasanya begitu berat.”

- Alena Zealinne Artharendra

•••

Alena menekan icon hijau di sebelah kanan layar handphonenya berniat untuk mengangkat panggilan dari Aqila. Wanita paruh baya itu barusan menghubunginya.Entah untuk apa. Namun Alena sama sekali tak keberatan menerima panggilan dari Wanita yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri itu.

“Halo, Bun,” sapa Alena. Senyum manis ia tampilkan walaupun Aqila tak dapat melihatnya secara langsung.

“Bunda rindu tau, Sayang. Kenapa udah jarang kerumah Bunda lagi, Hm?” tanya Aqila dari seberang sana.

Senyuman di bibir Alena perlahan mulai luntur. Bagaimana caranya menjelaskan pada Aqila bahwa dirinya sudah tak punya hubungan apa-apa lagi dengan Alzean. Bagaimana Cara Alena menjelaskan jika dirinya sudah tak punya alasan lagi untuk datang kerumah itu?

Alena menggigit bibir bawahnya. “Alena akhir-akhir ini sibuk, Bun,” jawabnya berbohong.

“Sampe gak bisa luangin Waktu buat ketemu Bunda?”

“Bukan gitu, Bun ....”

“Yaudah Gakpapa. Tapi Bunda gak mau tau! Pokoknya besok malem kamu harus Dateng ke Acara ulang tahun pernikahan Bunda sama Ayah. Gak ada penolakan atau Bunda marah sama Alena!”

“Tapi, Bun---”

“Please, sayang.”

Alena menghembuskan nafasnya. “Okay. Asal Bunda bahagia apapun bakal Alena lakuin.”

“Thank you, sayang. Maaf, ya kalo Bunda udah paksa kamu. Mungkin kamu sibuk. Tapi Bunda bener-bener kangen sama kamu.”

“No problem, Bunda.”

“Yaudah. Bunda tutup dulu teleponnya, ya. Ada beberapa persiapan yang harus Bunda lakuin sendiri. Pokoknya kamu harus Dateng! Awas aja sampe ingker janji. Nanti Bunda jewer telinganya.”

“Iya, Bunda ....”

Aqila terkekeh kecil. “Tidur yang nyenyak. Bunda gak mau besok Anak Gadis Bunda punya mata panda. Pokoknya Alena-nya Bunda harus cantik. Harus jadi yang paling bersinar.”

Alena memejamkan matanya. Rasanya benar-benar sakit saat Aqila mengatakan hal demikian. Wanita itu mempunyai harapan besar untuknya. Aqila begitu menyayanginya dan Alena menyia-nyiakan kasih sayang itu.

“Bunda juga tidur yang nyenyak ...,” lirihnya.

Alena menyimpan handphonenya diatas meja setelah Aqila memutuskan panggilannya. Gadis itu menatap kosong kedepan. Beberapa kali petir menyambar seakan mengisyaratkan hujan akan segera turun. Namun, isyarat itu hanya dianggap angin lewat oleh Alena. Gadis itu sama sekali tak ingin beranjak dari tempat duduknya sama sekali.

Alena membuka album foto milik keluarganya. Album yang hanya ia simpan seorang diri itu menjadi saksi bisu kebahagiaannya dahulu. Semua orang mungkin sudah membuang album foto ini. Namun tidak dengan Alena yang selalu menyimpannya dengan rapi didalam lemari.

Pada lembaran pertama ada fotonya dan seluruh anggota keluarganya. Serta Alena yang tampak begitu bahagia didalam sana. Dulu Alena hanya menganggap foto itu sebagai hal kecil yang tak perlu di kenang. Namun sekarang rasanya foto itu malah menjadi yang terindah dalam hidupnya. Tak pernah seharipun Alena melewatkan harinya tanpa mengingat kenangan manis ini.

Alena menahan sesak saat melihat foto terakhirnya bersama Alena di taman. Foto itu diambil sebelum kematian Aluna. Saat itu langit sudah mendung seakan tau Aluna akan segera pergi darinya. Dan tanda alam memang tak pernah salah. Aluna benar-benar pergi bersamaan dengan hujan yang turun bersamaan dengan pemakamannya.

Alena Zealinne Artharendra Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang