Chapter 18

2.5K 267 19
                                    

Malam ini, Nara mendapati dirinya masih terjaga di tengah malam. Matanya masih melotot tanpa ada rasa kantuk yang menyerang, tanpa ada rasa lelah yang datang. Bahkan dengan menonton Drakor atau membaca novel pun, rasa kantuk tetap tidak datang. Dengan mendengarkan suara lembut Jungkook saat bernyanyi pun tetap tidak bisa tertidur. Nara berguling, mengubah posisi menjadi terlentang. Matanya berkedip, menatap langit-langit kamar yang berwarna putih. Pikirannya sedang melanglang buana, memikirkan deretan kejadian mengejutkan yang terjadi hari ini.

Terutama memikirkan ... kalimat Davindra di telepon beberapa jam lalu.

"Alien, jadi pacar saya ... mau?"

Nara terkejut-kejut mendengarnya, bahkan saking terkejutnya ia sampai hampir terjungkal ke belakang. Ini ... telinganya sedang tidak salah dengar, kan? Atau mungkin sekarang ia sedang halu? Sedang bermimpi? Rasanya sangat tidak mungkin seorang Davindra secara tiba-tiba mengucapkan kalimat sesakral itu. Kalimat yang jika diucapkan, akan langsung bikin anak orang goyang dombret.

"Alien, pacaran ..., mau?"

Lagi, pertanyaan itu kembali membuat Nara senam jantung. Apa tadi katanya? Pacaran?

"Diam artinya mau. Oke, mulai sekarang, kita pacaran."

"Eh? Bapak mabok, ya? Pak-"

Tut. Tut. Tut.

Sambungan berakhir, diputus sepihak oleh Davindra. Sepertinya laki-laki itu tidak peduli pada Nara yang kini sudah jantungan, sudah terduduk lemas di lantai seperti tidak ada nyawa.

Melirik sekilas ke arah ponselnya yang masih ada di genggaman, mata Nara berkedip. Itu tadi ... ia tidak salah dengar, kan? Telinganya sedang tidak bermasalah, kan? Atau mungkin ... ia sekarang sedang berada di alam mimpi? Sedang memimpikan hal yang tidak mungkin akan terjadi. Hal yang ... sangat tidak mungkin seorang Davindra yang terkenal dengan kegengsiannya secara tiba-tiba mengajaknya menjalin hubungan, secara tiba-tiba mengucapkan kalimat sesakral itu. Iya, tidak mungkin, ini pasti hanya mimpi.

Mengetahuinya, Nara tertawa. Ah, ini hanya mimpi. Mungkin ini akibat karena ia terlalu mengharapkan Davindra. Terlalu sering berhalu bisa bersanding dengan Davindra. Tapi sebentar, jika ini mimpi, apakah ciuman mereka tadi sore juga hanya mimpi? Atau hanya halusinasinya saja? Maka, untuk membuktikan, Nara mencubit dirinya sendiri, mencubit tangannya kuat-kuat. Dan yang ia dapatkan rasa sakit yang luar biasa. Tangannya terasa panas dan nyut-nyutan. Ia meringis, menyadari bahwa ini nyata dan bukan mimpi. Nyata bahwa kalimat yang diucapkan Davindra di telepon tadi benar-benar ditujukan untuknya.

Bangun dari duduk, Nara berjalan dengan gontai, dengan pandangan kosong dan kaki yang benar-benar lemas. Ia menjatuhkan diri di kasur, menatap kosong ke arah langit-langit kamarnya.

"Diam itu artinya mau. Oke, mulai sekarang, kita pacaran."

Kalimat itu, secara otomatis kembali berputar di kepalanya. Kalimat yang sebenarnya sederhana namun bisa membuat jantungnya seperti berhenti berdetak, membuat tubuhnya lemas seperti belum makan tiga hari. Tubuh Nara berguling, berubah menjadi tengkurap. Disembunyikannya kepalanya di bantal, berusaha mengenyahkan kalimat Davindra di telepon beberapa menit lalu. Berusaha memejamkan matanya untuk bisa tertidur. Untuk bisa melupakan semua kejadian yang terjadi hari ini setidaknya sampai matahari kembali terbit.

Sayangnya tidak bisa, matanya terasa terlalu segar untuk dipejamkan. Maka, ia kembali mengubah posisi, bangkit dan duduk lalu merangkak agar tangannya bisa menyentuh nakas, bisa mengambil laptop yang berada di sana. Sepertinya, Drakor bisa menjadi solusinya. Dengan cara melihat wajah tampan Oppa-oppa Korea mungkin bisa membantunya untuk cepat-cepat tertidur. Untuk cepat-cepat masuk ke alam mimpi lalu bertemu dengan Lee Dong Wook, aktor Korea favoritnya.

Dan, drama sudah terputar di layar. Menampilkan episode yang terakhir ia tonton. Awalnya menampilkan adegan yang biasa, si pemeran utama pria yang meringkuk di sofa dengan kepala yang ditutupi kain, tengah ketakutan karena menjadi monster. Lalu si pemeran utama wanita yang menenangkannya. Awalnya Nara kira mereka hanya akan berpelukan, tapi yang terjadi justru lebih dari pelukan. Adegan kissing mulai terpampang jelas di depannya, membuatnya, secara tiba-tiba, teringat akan ciumannya tadi sore dengan Davindra, di depan danau, di bawah langit senja. Tersadar, Nara segera menekan tombol pause, menutup laptopnya dan kembali meletakkannya di atas nakas.

Nara kembali berbaring, tubuhnya bergerak ke sana ke mari. Miring kanan, miring kiri, tengkurap, terlentang, berputar-putar, berguling-guling, hingga berakhir dengan kedua kaki yang sekarang sudah diletakkan di atas kepala ranjang. Kedua tangannya ia lipat, diletakkan di bawah kepalanya, dijadikan sebagai bantal. Matanya menerawang, memikirkan apa yang akan terjadi di esok hari. Apa yang akan terjadi saat statusnya sudah berubah menjadi pacar Davindra.

Dan, setelah berjam-jam kesulitan untuk memejamkan mata, untuk tertidur. Ia akhirnya bisa tertidur saat waktu sudah memasuki subuh, sudah dekat dengan adzan subuh. Waktu tidur yang hanya sebentar, hanya beberapa jam, karena pada pukul enam pagi, ponselnya membangunkannya. Bukan alarm, melainkan suara pop up notifikasi WhatsApp yang terdengar berkali-kali, tanda bahwa pesannya bukan hanya dikirimkan sekali. Terganggu dengan suara itu, Nara kembali membuka matanya, dengan kesulitan tentunya karena matanya masih benar-benar mengantuk. Masih benar-benar terasa lengket untuk dibuka, seperti ada lem yang menyelimuti matanya.

Dengan susah payah, ia mencari ponsel, hingga berhasil menemukan benda pipih itu. Dilihatnya layarnya, digerakkan nya jarinya untuk menggulir layar, membuka aplikasi WhatsApp dan menemukan sebuah nama yang berada di bagian paling atas beranda WhatsApp-nya.

Membuka pesan itu, Nara melihat ada banyak pesan yang dikirim Davindra, ada sepuluh pesan yang belum dibaca, tapi anehnya semua pesannya telah dihapus. Hingga, sedetik kemudian, pesan baru datang. Hanya tiga kata, sederhana, tapi bisa membuat kantuknya mendadak hilang dan jantungnya bertalu-talu kencang.

Pagi, pacarnya Davindra ....

***

Nara yakin, pasti sekarang kantung matanya sangat tebal, sangat hitam. Mungkin panda saja sampai kalah dengan dirinya yang sekarang memiliki kantung mata sebesar ini. Waktu tidurnya semalam hanya sebentar, hanya tiga jam, yang terasa seperti cuma tiga puluh menit karena saking sebentarnya. Bahkan pagi ini, matanya terasa masih berat, terasa masih begitu lengket untuk dibuka lebar-lebar. Meskipun tadi sudah berkali-kali mencuci wajah agar matanya kembali segar, agar rasa kantuknya hilang, tapi sayangnya, tetap saja, tidak bisa, rasa kantuknya tetap ada, terasa abadi.

Nara menguap, matanya berair karena benar-benar masih mengantuk. Langkahnya begitu lemas, lesu, terlihat sangat tidak bertenaga. Sambil berusaha tetap membuka matanya lebar-lebar, Nara terus melangkah ke luar dari area kost-an. Mungkin, jika sudah berada di luar sana, matanya akan menjadi segar karena melihat banyak pemandangan, begitu pikirnya.

Tapi ternyata salah, hembusan angin sepoi-sepoi yang menyapa, membuat matanya terasa semakin mengantuk, matanya seperti sedang ditiup-tiup untuk kembali tertidur. Dengan kedua tangannya, Nara mengucek-ngucek matanya, susah payah untuk melawan rasa kantuk yang amat berat ini.

Dan, begitu ia membuka gerbang kost, ia langsung dikejutkan dengan kehadiran makhluk tinggi titisan tiang listrik, yang secara tiba-tiba berdiri di belakangnya begitu ia berbalik setelah kembali menutup gerbang. Nara mengusap dadanya, astagaaa, ini orang, kenapa selalu mengejutkan kayak hantu, sih?

"Pagi ..., Pacar," Davindra menyapa, terdengar canggung dari suaranya, dari senyumnya, dan dari cara ia berdiri di hadapan Nara.

Kepada Davindra, Nara tersenyum. "Pagi juga, Pak Dav-"

"Sayang."

"Hah?" Nara mengerjap. "Sayang?"

Davindra maju selangkah, mendekati Nara. Menunjukkan senyum manisnya, mengalunkan suara lembutnya. "Panggil aku ..., Sayang."

***

To be continue

Cute SecretaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang