Chapter 19

2.8K 260 36
                                    

Pagi ini, Davindra mendapati dirinya yang nyaris seperti orang gila. Yang jika dilihat oleh Satria, pasti akan langsung diruqyah oleh laki-laki itu. Ada ... sesuatu yang tidak bisa ditahan atau disembunyikan olehnya. Sesuatu yang ... membuat bibirnya terus melengkung lebar, bahkan nyaris sobek jika lengkungan itu ditarik sedikit lebih lebar lagi. Rasanya bahagia, rasanya jantungnya berdebar-debar. Ketika ia mengingat, apa yang ia katakan tadi malam. Ketika mengingat, statusnya dan Nara yang kini sudah berubah.

Mereka sudah ... berpacaran.

Menyadarinya, membuat Davindra secara refleks, melakukan aksi jungkir balik di atas kasurnya. Membuatnya, menendang-nendang selimut, bantal, dan guling hingga berserakan jatuh ke lantai. Rasa ini ... sungguh benar-benar membuatnya gila. Rasa yang ... baru pertama kali ia rasakan seumur hidupnya.

Berguling ke kiri, Davindra menurunkan kakinya, turun dari atas tempat tidur lalu berjalan dengan senyum kelewat lebar yang masih ada di bibirnya. Dan, saat ia keluar dari kamar, ada Nayaka yang terlihat sedang memakai sepatu di depan pintu kamarnya. Melihatnya, membuat Davindra menghampiri adiknya, berjongkok di hadapan adiknya dan membantu cowok itu mengikat tali sepatunya.

"Kakak bantuin, ya," katanya sambil mengikat tali sepatu sebelah kanan milik Nayaka.

Nayaka berkedip, menatap Kakaknya yang tengah mengikat tali sepatunya dengan terheran-heran. Anjay. Ini si medit titisan kakek lampir sedang ketempelan jin atau apa? Tumben-tumbenan bersikap baik sampai mau membantu adik durjananya memakai sepatu.

"Lo ... siapa?" Nayaka bertanya, dengan tatapan horor, dengan tubuh yang, beringsut ke belakang.

Davindra mengerutkan alis. "Kakak elo, Sapri! Durhaka lo sama Kakak sendiri pura-pura nggak kenal."

"Kakak gue nggak kayak gini. Si medit titisan dajjal itu mana pernah mau bersikap baik sama adeknya. Boro-boro baik sampe mau bantuin ngiket tali sepatu, ngeliat gue nyungsep ke got waktu kecil aja dia malah ngakak kenceng." Nayaka bangkit, menyipitkan mata sambil menunjuk Davindra. "Saha eta?!"

Ck, si Curut ini. Masih pagi tapi sudah mau ngajak baku hantam saja. Udah dibantuin bukannya bilang terima kasih malah ngajak gelud. Emang adik kampret titisan monyet.

"Mau Kakak pukul mulutnya pake sendal?" Satu sandal Davindra sudah mengacung, bersiap menampol bibir Nayaka hingga maju beberapa senti.

Melihatnya Nayaka nyengir, tangan kanannya mengibas. "Bercanda~ Serius amat, Kak." Lalu, dirangkulnya pundak Kakaknya yang lebih tinggi beberapa senti darinya. "Yuk, turun. Dah laper nih gue."

Keduanya berjalan bersama, dengan tangan yang saling merangkul pundak satu sama lain. Dengan senyum kelewat lebar yang masih ada di bibir Davindra. Yang, membuat semua orang yang sudah duduk di meja makan, menatap keduanya dengan terheran-heran. Terutama, kepada Davindra yang kini terus tersenyum lebar tidak seperti biasanya.

"Anak bujangnya Papa, kenapa ini? Senyum-senyum terus dari tadi. Lagi bahagia, ya?" Fadli bertanya, bibirnya ikut melengkung melihat sang anak tersenyum lebar.

Dan Davindra, tidak merespon. Pikirannya sedang berkelana, sedang berada pada Nara, pada gadisnya, yang sudah sangat ia rindukan, yang sangat ingin ia temui secepatnya. Dan itu, membuatnya tidak mendengar pertanyaan sang Papa, serta tidak menyadari tatapan terheran-heran Mamanya dan kedua adiknya.

Membayangi wajah Nara, wajah imut yang dibingkai dengan rambut sebahu itu membuat Davindra secara tidak sadar cekikikan sendiri. Membuat, anggota keluarganya langsung geger melihatnya.

"Davindra!" Dira memanggil, terlihat panik, bahkan kini sudah menyentuh bahu sang anak. "Ya Allah, sadar Nak! Istighfar, Vin!"

Tapi, Davindra tidak merespon apa-apa. Pandangannya lurus ke depan, bibirnya semakin melengkung lebar, dan tawa kecil terus meluncur dari bibirnya.

Cute SecretaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang