Chapter 25

2.4K 176 14
                                    

Vote dan komennya dulu yuk, aku tungguin yaaa.

Chapter ini konflik dimulai. Siap mental ya, siapin tissue sekotak juga buat chapter selanjutnya. Wkwkwk, candaaa~

Selamat membacaaaa~

***

Rasa itu masih ada, sakitnya masih terasa jelas, sesak itu masih menghimpit dadanya. Davindra merasakan seperti ada tangan-tangan tak kasat mata yang meremas hatinya, jantungnya, juga paru-parunya, membuatnya kesulitan bernapas, membuatnya merasa seperti tercekik kuat-kuat. Saraf-saraf di tubuhnya seperti mati saat itu juga, membuatnya kesulitan untuk bergerak, juga kesulitan untuk menopang bobot tubuhnya sendiri untuk tetap berdiri tegak. Lagi ia mendongak, menatap langit malam yang indah, yang cerah dengan bintang-bintang sebagai penghiasnya. Dan seharusnya, malam ini menjadi malam yang romantis, yang disaksikan oleh bulan dan bintang indah itu. Seharusnya malam ini Nara-nya bersamanya, meniup lilin kue ulang tahun bersama-sama, makan malam bersama, dan membuka kado bersama-sama. Itu yang ia inginkan.

Sekali lagi, ia meluruskan pandangan, dan pemandangan menyakitkan itu masih ada di depan sana, masih harus ia saksikan sekali lagi. Nara-nya masih belum beranjak, masih bersama Rangga, mengobrol bersama di dekat mobil laki-laki itu, dengan Rangga yang menyender di pintu mobilnya, dan Nara yang berdiri di depannya. Ia juga melihat, melihat Nara tersenyum, melihat gadis itu menunjukkan senyum manisnya, senyum yang mampu membuat siapa saja terpesona, terpikat dengan pesonanya. Dan senyum itu, Davindra ingat ia pernah bilang kepada Nara, bahwa senyum itu hanya miliknya, hanya boleh ditunjukkan padanya.

"Aku suka ini." Ia menunjuk bibir Nara, dan menunjukkan senyum kepadanya. "Suka senyum kamu. Senyum manis itu. Dan aku mau, senyum itu jadi milikku, cuma boleh ditunjukkin sama aku."

Dan pada saat itu Nara-nya mengangguk, mengiyakan.

Tetapi malam ini, ia mengingkarinya, tidak menepati janjinya. Malam ini, senyum itu sudah dibagi, kepada laki-laki lain, senyum yang sama dengan senyum yang Davindra sukai. Nara-nya membagi senyum itu, membiarkan kepalanya dikecup Rangga, juga membagi seluruh perhatiannya kepada laki-laki itu, tanpa memikirkan perasaan Davindra, tanpa memikirkan bagaimana sakit dan kecewanya melihat gadis itu bersama laki-laki lain.

Rasanya ia benar-benar kecewa, kecewa karena Nara menghianatinya, karena Nara mematahkan hatinya. Ia segera membalikkan badan, menjatuhkan ketiga hadiah yang tadinya ingin ia beri untuk Nara, lalu segera masuk ke dalam mobil. Dan tepat saat itu juga, Nara menoleh ke arahnya, melihat mobilnya, dan ia dapat melihat gadis itu segera berlari menghampiri mobilnya, dengan melambaikan tangan, dengan senyum manis yang terukir di bibirnya. Dan melihat itu, membuat sakit yang ia rasakan jadi berkali-kali lipat, dan rasa sesak itu semakin membuatnya kesulitan bernapas. Hingga pada akhirnya, ia melajukan mobil, meninggalkan Nara dengan senyum manisnya, juga meninggalkan tiga bungkus kado yang belum sempat bertemu pemiliknya.

•••💘•••

"Heh, Malih! Ini kenapa lo main kabur gitu aja? Ini makanan sama kuenya mau dikemanain? Mubazir tau. Mahal ini. Mentang-mentang banyak duit," Di ujung sana Satria mengomel, yang tentunya diabaikan Davindra. "Vin! Davindra! Ini makanan—"

"Makan aja sama lo kalo mau."

"Wuidih! Serius Om?" Dan di ujung sana Satria berbinar-binar, menatap piring-piring makanan di hadapannya. "Beneran buat gue? Terus nanti lo sama Nara?"

"Batal."

"Hah?"

"Batal," Davindra mengulangi, suaranya pelan, sangat pelan, yang jika Satria tidak memasang baik-baik telinganya, ia tidak dapat mendengarnya. "Acaranya batal."

"Loh? Kenapa?"

"Gue ...." Jeda sebentar, Davindra menarik napas, menghembuskannya panjang. " ... nggak tau hubungan ini bakal lanjut apa enggak."

"Eh? Kok gitu? Kalian berantem? Ada masalah apa, Vin? Selesain baik-baik lah, jangan main putus gitu aja. Hubungan belum ada sebulan masa mau putus? Sayang Vin, jangan. Entar lo nyesel."

"Enggak akan." Davindra menggeleng, dan ia lupa jika Satria tidak dapat melihat gelengannya. "Gue nggak akan nyesel. Gue cuma nggak mau ngejalanin hubungan yang perasaannya cuma dirasakan satu pihak."

"Vin .... Entar lo nyesel, mewek-mewek, ngegigitin tembok, guling-guling di aspal, masuk RSJ. Pikirin baik-baik lah," kata Satria.

"Ini udah dipikirin, Sat." Davindra tersenyum tipis, sangat tipis dengan pandangan yang kosong. "Gue tutup. Mau tidur." Lalu ia memutuskan sambungan, tidak peduli jika di seberang sana Satria mengomel.

Segera ia rebahkan badan, menghembuskan napas panjang, menatap lurus pada langit-langit kamarnya. Meskipun pemandangan menyakitkan tadi sudah beberapa jam yang lalu, juga ia mencoba melupakannya, mengenyahkannya dari kepalanya, ia tetap tidak bisa. Tidak bisa menghilangkan sakit itu. Sakit tak berdarah itu, yang rasanya, berkali-kali lipat lebih sakit daripada tergores pisau. Sakit yang ... tidak ada obatnya. Yang bahkan, bisa membutuhkan waktu lama untuk menyembuhkannya.

Senyuman itu, kecupan singkat yang disematkan di kepala gadis itu, masih ia ingat dengan jelas di kepalanya. Dan mengingatnya membuatnya semakin sakit, membuatnya berkali-kali menghela napas panjang demi mengontrol emosi.

Ternyata seperti ini rasanya patah hati, setelah awalnya dibuat melayang dengan jatuh hati. Rasanya ... seperti dijatuhkan dari langit. Sakit. Sangat sakit. Dan patah hati yang ia alami sekarang ini, membuatnya serta merta mengingat kembali perlakuannya dulu terhadap Nara. Bagaimana kejamnya ia dulu kepada gadis itu. Bagaimana dengan teganya ia menginjak-injak cokelat pemberian Nara, di depan gadis itu, di depan siswa siswi lain yang bergerombol di koridor demi melihat apa yang sedang terjadi, dan dengan teganya juga ia pergi begitu saja, dengan perasaan penuh kebencian. Dan ia yakin, gadis itu pasti sangat sakit hati. Yang mungkin, rasa sakitnya melebihi rasa sakit yang ia rasakan. Dan mengingat itu membuatnya tertawa pelan. Ah, ini pasti karma. Iya karma. Karma karena dulu ia telah menyakiti gadis itu.

Demi melupakan sejenak rasa sakit itu, Davindra beranjak dari tempat tidur, keluar dari kamar dan hendak menuju kamar sebelah, ke ruang olahraga. Ia ingin melampiaskannya, melampiaskan seluruh emosinya, dan dengan berolahraga bisa membuatnya sedikit tenang, bisa membuatnya melupakan sejenak rasa sakit itu.

Dengan emosi yang menggebu-gebu, ia memukul samsak, menendangnya kuat-kuat, membayangkan benda dengan bentuk yang mirip guling itu adalah Rangga, laki-laki berengsek perusak hubungan orang. Ia terus memukulnya, sampai keringat membasahi seluruh tubuhnya, sampai rasa lelah datang padanya. Hingga akhirnya ia berhenti, setelah puas menyiksa samsak. Didudukkannya dirinya di lantai, dengan kedua kaki yang diluruskan. Ia menegak air minum, kemudian menengadahkan kepala dengan mata yang terpejam.

Cukup lama ia memejamkan mata, menunggu sampai lelahnya hilang untuk kemudian pergi ke kamar, ia ingin tidur, ingin mengistirahatkan tubuh dan pikiran, juga ingin melupakan semuanya setidaknya sampai ia kembali terbangun dari tidurnya. Dan saat ia merebahkan diri, menyelimuti diri dan hendak memejamkan mata, ponselnya bergetar, cukup lama, tapi ia abaikan hingga deringnya berhenti. Tapi baru beberapa detik, ponselnya kembali berdering, membuatnya merasa terganggu hingga akhirnya ia mengambilnya, melihat ID pemanggil kemudian menggeser tombol merah, me-rejectnya.

Dan saat ia hendak meletakkan ponsel, benda pipih itu kembali berdering, ada panggilan masuk dari orang yang sama: dari Nara. Tapi Davindra tidak mau mengangkatnya, ia memilih untuk mematikan ponsel, mengabaikan panggilan dari Nara.

***

Kurang greget ya nggak siiiih

Next chapter bakal lebih greget lagi deh. Minimal sampe ikut kesel sama mewek-mewek lah, HAHAHA.

Cute SecretaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang