Chapter 22

2.8K 210 29
                                    

Play Song: Choi Nakta - If You (Ost 18 Again)

Happy reading~

***

Begadang itu sudah jadi rutinitas Davindra, ia sudah terbiasa tertidur saat waktu sudah hampir memasuki subuh karena keasyikan menyelesaikan pekerjaannya yang kadang masih menumpuk. Tapi untuk malam ini, ia masih belum bisa menutup mata bahkan saat jam sudah mengarah pada pukul empat pagi. Ada ... sesuatu yang membuat matanya tetap segar meskipun sudah banyak buku yang ia baca. Sesuatu yang ..., membuat jantungnya terus berdegup kencang.

Ia tersenyum, amat lebar, lalu berguling-guling dengan kaki yang menendang-nendang selimut serta guling sampai jatuh ke bawah. Jantungnya masih terus berdebar kencang, dan inginnya sekarang adalah melompat-lompat di atas tempat tidur sambil berteriak-teriak jika tidak ingat dengan Mamanya yang mungkin akan meruqyah-nya dengan segelas air dan surat ayat kursi seperti pagi itu.

Ia membalikkan badan, telentang dengan mata menatap langit-langit kamar. Soal tadi malam ... ia masih mengingatnya, begitu jelas, sampai-sampai lengkungan bibirnya semakin melebar dan pikirannya buyar kemana-mana.

Tadi malam, kepala Davindra terasa pening, fokusnya terus tertuju pada bibir Nara yang sedikit terbuka memperlihatkannya dua gigi kelincinya, hal yang membuat darah Davindra berdesir saat terus menatapnya. Bibir itu ... ia benar-benar menyukainya sejak pertama kali merasakannya. Dan sekarang, keinginan untuk melakukan silaturahmi bibir itu kembali ia rasa, membuat kepalanya secara perlahan bergerak maju, dengan posisi sedikit dimiringkan agar bisa menggapainya dengan pas.

Melihatnya, Nara hanya diam, tidak menolak saat tangan kokoh Davindra sudah merengkuh pinggangnya erat. Hingga tahu-tahu, bibir mereka sudah bertemu, dengan Davindra yang langsung menggerakkannya dengan lembut, pelan, tapi pasti. Gerakan yang ... membuat tubuhnya semakin dialiri desiran aneh, juga membuat jantungnya terus bertalu-talu di dalam sana.

Sementara Davindra memejamkan mata, menikmati ciuman yang membuat kepalanya pening, yang membuat nafsunya kian membuncah saat bibir mungil ini secara perlahan bergerak membalas ciumannya. Dan atas gerakan bibir Nara itu, ia hampir gila, karena itu rasanya benar-benar memabukkan, benar-benar membuatnya kesulitan untuk mengontrol nafsunya, membuatnya ingin melakukan hal yang lebih dari ini. Tapi ia tidak bisa, karena ini belum saatnya, karena ia juga tidak mau merusak gadis kesayangannya.

Jadi, yang bisa Davindra lakukan agar nafsu itu tidak semakin membuncah adalah menarik kepalanya, menjauh, menyudahi permainan bibir ini sebelum semakin memanas. Dan ia tersenyum, menatap lembut manik cokelat tua milik Nara yang juga tengah menatapnya, dengan satu tangannya yang mengelus lembut pipi gadisnya yang memerah.

"Aku suka," katanya, lirih. Dengan ibu jari yang mengusap lembut bibir Nara, "suka ini, suka sama pemilik bibir ini. Dan aku harap, bibir ini ... bisa jadi milikku selamanya. Bisa jadi bibir yang pertama juga yang terakhir untuk aku rasain."

Dan Nara tersenyum, dengan rona merah yang semakin menjalar di pipinya, dengan kepalanya yang mengangguk secara perlahan.

Lalu saat ia mengantarkan Nara pulang, gadis itu tidak langsung masuk, melainkan tetap di sana, berdiri di sisi Davindra dengan bibir yang melengkung menciptakan senyuman indah.

"Kenapa masih di sini? Masuk, gih. Dingin."

"Nanti." Senyuman Nara semakin melebar, kedua tangannya saling menaut di belakang tubuh. "Buka helmnya."

"Ngapain?"

"Buka aja, Pacar~"

Meski kebingungan, Davindra menurutinya, membuka helmnya, lalu kepalanya berputar menghadap Nara. "Udah."

Cute SecretaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang