Acasia: my story

30 17 10
                                    

Aku pernah dikira menghilang ketika berusia sepuluh tahun.
Yah, itu semua adalah salahku sebab keluar rumah tanpa izin hingga memori itu masih terlihat jelas dalam ingatan saking hebohnya kejadian waktu itu.

Ketika itu aku tinggal di desa bersama mom, ayah dan nenek. Ketika itu pagi-pagi sekali aku sudah menghilang dari tempat tidur, melewati mom yang berkutat dengan bumbu dapur, melewati dad yang memberi makan Jalu---nama burung beo peliharaan ayah sewaktu di desa, melewati nenek yang menyirami tanaman tanpa menyadari aku yang berjalan santai keluar rumah, membawa tas berisi sebotol air dan dua lembar roti tawar yang kuambil malam sebelumnya.

Nyatanya ini bukan pertama kalinya aku keluar begini. Biasanya tidak akan lama dan tidak akan ada kehebohan karenanya, tapi kali ini berbeda. Itu karena kemunculan makhluk kecil yang hanya bisa kudengar dari dongeng di buku bergambar yang sering kubaca bersama mom.

Kalian percaya adanya peri?

Katanya peri hutan sering muncul di waktu-waktu tertentu, mereka makhluk baik yang suka menolong jika kita sudah berteman dengan mereka. Peri di sini disebut huldflok, ini menurut cerita yang ku baca di umur sepuluh tahun.

Dan hari itu ketika aku berjalan-jalan di perkebunan penduduk desa, aku melihat peri. Setidaknya itulah yang kupikirkan ketika melihat cahaya kecil yang terbang dengan anggunnya di udara, dengan cuitan merdunya yang membuatku fix! Ada peri di sana.

Aku mengikuti cahaya itu walau terus menerus gagal untuk digapai. Setiap aku berhasil mendekatinya, cahaya itu lenyap dengan cepat, kemudian akan muncul kembali di tempat yang cukup jauh namun masih berada dalam jarak pandangku. Seperti itu terus sampai aku masuk kawasan hutan, seolah ia memandu ku untuk menuju ke suatu tempat.

Entah apa yang akan aku temui jika terus mengikutinya, karena sayangnya aku harus pulang sebab sudah terlalu masuk ke dalam hutan.

Dari dulu aku ingin bertemu mereka, ingin berteman. Bisa dibayangkan betapa menggemaskannya mempunyai teman peri, ah, benar-benar pemikiran anak-anak sepuluh tahun.

Berikutnya aku pulang dengan damai, setidak sampai perbatasan hutan dan desa sebab setelahnya baru saja keluar dari perbatasan desa, orang-orang nampak seperti mencari-cari sesuatu yang ternyata itu adalah aku. Raut cemas tercetak jelas di setiap muka yang menghampiriku, berseling dengan lega.

Kemudian keluar dari hutan langit sudah menjadi gelap---ketika di dalam hutan aku tidak terlalu memperhatikan langit karena tertutup pepohonan---padahal selama menjelajah sebelumnya aku merasa hanya berjalan-jalan sebentar, mungkin 2-3 jam saja. Tapi nyatanya langit sudah benar-benar gelap, sudah hampir malam. Aku hanya bisa berkedip polos, keheranan dengan kejadian singkat itu.

Di sini mereka cemas, padahal di sana aku begitu menikmati waktu berjalan-jalan. Itu benar-benar menyenangkan alasanku bisa bahagia, tapi bukan berarti tinggal di rumah tidak membuatku bahagia ya, hanya saja menikmati waktu sendiri dalam berjelajah memiliki rasa tersendiri yang benar-benar aku cintai.

"Sia, kemana saja kamu?" tanya Dad penuh penekanan, ada cemas juga di sana ketika aku menatap lamat raut wajah dia yang mensejajarkan diri denganku yang masih sepuluh tahun.

"Sia hanya jalan-jalan ke sekitar kebun, Dad," jawabku. Tapi keterusan sampai masuk hutan, serta ini yang dilanjutkan batinku usainya.

Ayah hanya bisa menghembuskan napas panjang setelahnya, beliau juga mengusap kepalaku dan kejadian itu selalu teringat jelas dalam pikiranku. Lebih tepatnya, setiap aku ingin melupakannya akan ada yang mengingatkan sekedar memperingati diri ini untuk selalu izin pada orang rumah jika ingin bepergian.

Bahkan ketika pergi ke sekolah dan seperti sekarang---aku akan pergi ke desa untuk mengunjungi nenek sendirian, pertanyaan terperinci siap menghujaniku.

Berapa lama perginya?

"Jadi, Sia akan pulang kapan?" tanya mom yang menyerahkan sepasang sepatuku.

Aku menerimanya. "Seperti yang Sia bilang sebelumnya Mom, paling lama dua minggu," jawabku.

Nanti mau mampir ke mana?

"Jangan berniat mampir kesana kemari tidak jelas, pokoknya jalan, sampai rumah nenek dan pulang. Tidak boleh ada agenda lain, oke?"

Aku tersenyum, kemudian mengangguk.

Mom menghembuskan napas di sana, sejenak aku bisa menebak apa isi pikiran mom. Ya, layaknya seorang ibu pada umumnya, mom juga berat membiarkan anak gadisnya pergi.
Sedangkan dad di samping mom hanya diam, memberikan waktu untuk mom mengeluarkan semua ledakan emosinya, tentang kekhawatiran seorang ibu pada anaknya.

"Baiklah, hati-hati Sia. Mom menyayangimu," ucapnya melepas, kali ini dibarengi dengan pelukan hangatnya.

"Nanti kalau sudah sampai jangan lupa hubungi mom dan dad," ucap dad pula di sela pelukanku dengan mom.

Aku mesem, menyadari dad tidak masuk dalam zona pelukan kami serta mengingat tujuanku bukanlah tempat yang bisa diakses oleh jaringan ponsel.

"Di sana tidak ada sinyal ponsel Dad dan Dad tahu itu, tapi Sia berjanji akan baik-baik saja." Kemudian Dad cemberut.

"Setidaknya ajak Dad dalam pelukan kalian, dua perempuan kesayangannya Dad." Dan kali ini tawa tidak dapat aku tahan karena tingkah dad. Berbeda denganku, mom hanya bisa menggelengkan kepalanya sembari memberi ruang untuk ia ikut dalam sesi pelukan ini.

Ah, aku berjanji akan segera pulang ketika sampai sana.

Kemudian sampailah pada bagian perjalanan. Oke, aku tidak akan melewatkan ini untuk diceritakan karena bagiku bagian inilah yang terpenting dan aku harap tidak ada yang merasa bosan dengan ini.

Begini akses menuju ke pedesaan. Jalannya semakin lama semakin jauh dari jalan raya kota yang mulus, utamanya ketika berbelok menuju jalanan beralas batu split. Di sini aku diturunkan oleh angkutan umum dengan durasi perjalanan yang cukup panjang.

Aku bersama beberapa orang yang satu arah denganku berjalan mengikuti sebuah jalan kecil. Sebenarnya akses jalan ini bisa dilewati sepeda, khusus sepeda motor dan kendaraan yang mengeluarkan polusi tidak diterima sebab begitulah peraturannya. Ini area bebas polusi, bahkan baru setengah jalan begini udaranya terasa begitu menyegarkan.

Namun sepertinya, udara yang tak berpolusi tanpa hambatan ini tidak dibarengi dengan perjalananku. Kami terhenti di hadapan sebuah tebing dengan jembatan penyeberangan yang merupakan jalan paling cepat ke desa rusak tak bisa dilewati.

Jadinya aku harus berjalan memutar, mencari jalan lain.

"Sepertinya tidak bisa melanjutkan perjalanan sekarang." Ucapan seseorang yang berada di antara ku ini entah kenapa tidak dapat aku setujui, walau dengan yang lain menyetujuinya.

Dengan begitu mereka memilih putar arah, kembali pada jalan sebelumnya. Sedangkan aku, dilema. Namun karena tidak ada cara lain lagi aku mengikuti mereka sebelum tersadar dengan seseorang yang mengambil jalan lain, salah satu dari mereka nampaknya mengambil jalan memutar dan aku tidak menyia-nyiakan yang satu ini. Ya, aku mengikutinya dari belakang.

Oke, semoga pilihanku ini tepat karena aku ingin segera sampai agar bisa memakan apel segar langsung dari pohonnya, melihat ladang yang menguning layu serta melihat binatang ternak yang digiring menuju lembah untuk diberi makan di padang rumput.

Bay LeafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang