Acasia: Bay Leaf

19 13 9
                                    

Bay Leaf.

Bukan salah satu rempah masakan yang aku maksud, tapi ialah sebuah rumah penginapan yang aku singgahi sebab terjebak hujan saat ini.

Awal mulanya begini, awan mendung singgah hari ini dan akan segera menumpahkan zatnya. Saat itu aku masih dalam perjalanan dengan siang kini mendung menghilangkan eksistensi matahari yang menghangatkan.

Tak jauh di depanku, ada gapura sebuah gerbang desa dan ketika aku memasukinya, rintikan hujan mulai terasa. Aku meringis. Musim gugur, hujan, dan basah kuyup jelas bukan perpaduan yang baik. Dengan begitu lekas aku mencari tempat berteduh dan di sinilah aku sekarang.

Berteduh di sebuah rumah penginapan bernama Bay Leaf.

Hujannya cukup lebat, bahkan sangat lebat. Udara dingin merayap menembus jaket tebal musim gugur, syal rajut yang melilit leher ku eratkan berusaha meminimalisir rasa dinginnya.

Ah, aku menyukai perjalanan di musim gugur tapi tidak dengan terjebak hujannya.

Hujan nampaknya akan awet, sehingga aku jadi khawatir tidak akan bisa melanjutkan perjalanan lagi hari ini, apalagi sudah hampir dua jam namun hujan masih mengucur deras sama derasnya dengan hujan di awal tadi. Benar-benar sangat deras, uh berapa kali aku mengulang kata yang sama? Maaf ya, habisnya aku benar-benar menganggap hujan ini tidak sebagai background blur semata. Aku benar-benar risih karenanya. Andai aku bisa mengendalikan hujan.

Helaan napas adalah salah satu diantara beberapa respon tubuh kepada kejenuhan, selain keluh kesah yang aku tuangkan di sini. Kemudian respon lainnya, aku mendongak lesu kepada langit untuk memperhatikan intensitas awan. Jam dua siang, namun terasa seperti jam enam sore. Awan hujan di atas sana sangat tebal, membuatku hanya bisa menghembuskan napas lelah.
Oke, hujan akan awet dan itu adalah mimpi buruk.

Oh, lagi-lagi aku gatal ingin menyinggung hujannya. Tapi aku teringat mom dan ayah di kota---walau mereka tahu di sini aku akan bersenang-senang, walau tidak untuk sekarang, entah mengapa aku merindukan mereka. Seperti, aku ingin melihat mereka segera. Uh, bahkan aku belum sampai ke desa tujuan, belum bertemu nenek, belum bertemu para domba dan belum sempat menikmati apel segar.

Sepertinya benar kata orang-orang, hujan menjemput rindu dan aku hanya bisa mengejek diri sendiri dengan pikiran sok melankolis ini.

Oh, apa selanjutnya aku harus mengeluh merindukan desa yang akan ku tuju? Sepertinya jangan ya, kita tahu semua orang pasti merasa bosan mendengar banyak keluhan dalam satu waktu.

"Halo–"

Seseorang mengetuk bahuku, agak terperanjat jadinya aku karenanya dengan refleks berbalik dan memundurkan diri selangkah.

Dengan begitu, aku bisa melihat siapa yang menyapaku, dia seorang wanita paruh baya, wajahnya ayu dengan senyum rasa bersalah yang mungkin sebab telah membuatku terkejut.

"Maaf mengejutkanmu, aku pemilik penginapan ini," ucapnya.

Kan, dan reaksiku ialah mengangguk.

"Saya juga minta maaf berteduh di sini tanpa permisi." Mau bagaimanapun, meski ini adalah sebuah penginapan tidak sepantasnya untuk berteduh sembarangan bukan? Sama seperti reaksiku, wanita itu juga mengangguk maklum.

"Mau masuk? Sepertinya kamu tidak punya pilihan lain selain menginap malam ini," ucapnya.

Ruang utama dengan perapian menjadi atensi utamaku ketika memasuki rumah ini, lantainya kayu yang kokoh, dindingnya berwarna alami dan tata letak perabotan simetris dan rapi. Kemudian aku duduk di sofanya, sendirian. Wanita tadi entah berlalu ke mana, ia memintaku duduk di sini dengan atensi ku fokus pada suara kayu yang dimakan api, objek utama penghangat dari ruangan ini. Oktober, musim gugur membawa hawa dingin yang lumayan dapat membuat tulang menggigil dingin. Apalagi tadi aku berada di luar berjam-jam, benar-benar terasa sangat dingin.

Aku mendekati perapian, menikmati hangatnya sejenak dan terlarut dalam melamun. Lamunanku buyar ketika dari salah satu pintu yang terbuka bunyi sesuatu yang jatuh terdengar, sepertinya buku. Aku menoleh, mendapati seorang gadis bersurai abu terdiam di sana, seolah syok mendapati aku yang ada di sini. Entah kenapa kesannya seperti melihat hantu saja.

Aku menaikkan alis bingung. "Ada apa?" tanyaku heran.

Jujur, sikapnya aneh. Ia refleks celingak-celinguk usai tanyaku terlontar tadi, wajahnya pias, benar-benar seperti baru melihat hantu.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" Kali ini dia bertanya.

"Aku menginap," jawabku.

Sejenak dia terdiam di sana.

"Kat, ada ap—siapa kau?"

Huh, kenapa reaksi mereka aneh sekali setiap bertemu aku. Sebenarnya aku yang aneh atau mereka?

Baru saja aku ingin melontarkan jawaban, riuh lain dari pintu itu terdengar lebih banyak. Dengan begitu pula ada lebih banyak orang, dan aku penasaran dengan reaksi mereka. Akan seaneh apa. Walau akhirnya kami mencoba mengakrabkan diri,  saling berkenalan satu sama lain. Ada lima orang di sana selain aku.

"Kenapa tidak mencari tempat lain untuk menginap?" tanya Rion. Pertanyaan satu ini—setelah aku melihat reaksi dan berkenalan dengan mereka semua—terdengar begitu ketus nadanya.

"Kalian tidak menerima orang baru?" tanyaku blak-blakan.

Di sini, aku menunggu sanggahan atau jawaban pembenaran yang akan keluar dari mulut mereka. Katja atau yang mereka panggil Kat, si orang yang pertama aku temui di tempat ini terdiam di sana seolah tertahan, lebih tepatnya gadis di samping Kat—Tamara—menahannya.

Situasi yang aneh, seolah mereka menyembunyikan sesuatu.

Kelima orang ini---Kat, Tamara, Rion, Lian dan Era---yang terakhir, si Era ini jujur orang yang hawa keberadaannya benar-benar tipis, tipe yang transparan sampai-sampai aku baru menyadarinya keberadaannya ketika Tamara memperkenalkannya padaku.

Tamara, ia menghembuskan napasnya dengan jelas. "Maaf jika membuatmu tak nyaman, Sia," ucapnya.

"Ada banyak hal yang gak bisa kami jelaskan di sini, jadi kuharap apapun yang terjadi nanti jangan panik," lanjutnya.

"Baiklah?" jawabku ragu.

Bay Leaf, sebenarnya penginapan macam apa tempat ini?

Mungkin jika hujan tidak berlangsung aku akan mencari penginapan lain yang lebih baik. Tapi setelah ku pikir-pikir mungkin ini hanya culture budaya yang tidak pernah aku temui, mengingat mereka tahunya aku dari kota, modern dan jauh dari kata tradisional.

Tapi tunggu, apa iya?

Hujan masih terdengar jelas, intensitasnya masih sama masih tidak berniat menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Selain itu, jarum jam masih bergerak sebagai mana ritmenya, memberi tahuku waktu masih berjalan normal dan terus berlalu.

Selanjutnya, perbincangan ku dengan mereka berakhir begitu saja. Hanya Tamara yang mengantarku, dengan penutup ucapan selamat malam darinya. Sesimpel itu, iya, begitulah.

Oke, aku jadi penasaran apa yang akan terjadi nanti, dan aku penasaran apa hal baru yang akan aku temui di Bay Leaf ini nanti.

Bay LeafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang