Teror

8 4 0
                                    

Apa saja yang harus mereka berdua persiapkan untuk seluruh ritual?
Hanya ada tiga, yaitu sebuah batu yang ada di dalam gereja, Sia dan Era.

"Kita harus berfikir pintar, memasuki gereja yang sudah lama terbengkalai itu adalah mimpi buruk." Era menjelaskan, tentang ada satu benda yang harus mereka ambil. Gereja di desa Murrain yang pernah Sia datangi dahulu, tempat yang terkunci itu.

"Kau pernah ke tempat itu, bukan? Dan merasakan hal yang janggal?" Era kemudian bertanya.

Sia merenung kembali mengingat kilas balik yang pernah ia alami. Sia ingat dirinya merasa diikuti entah apa, seolah ada yang memperhatikan segala gerak-geriknya.

"Iya, aku merasa seperti diikuti," ucap Sia sembari mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Sebenarnya sistem di tempat ini simpel saja, jika atmosfer atau suasana tempatnya terasa janggal maka berarti ada yang penting di sana," ucap Era.

Dinding asap hitam, ruang bawah tanah, rumah Bay Leaf dan beberapa orang yang berlalu lalang. Semua itu kadang terasa aneh atmosfer nya.

Tapi, menurut Sia---entah menurut yang lain---taman seberang rumah Bay Leaf tepatnya di bangunan menaranya. Di sana tempat yang paling nyaman, seolah terasa ada yang melindunginya.

Kemudian hanya ada suara langkah kaki kedua manusia itu yang melangkahi jalanan kecil desa Murrain.

"Bagaimana dengan menara di taman seberang rumah Bay Leaf?" tanya Sia.

"Entahlah, tapi aku merasa di sana adalah tempat yang paling aman," jawab Era.

"Apa kau yang memasukkan buku berjudul Hulduflook ke dalam tasku, Era?" tanya Sia lagi. Buku itu masih ada padanya, tapi ia masih belum tahu siapa yang memasukkannya.

Jujur saja, Sia menduga yang memasukkannya ada Era. Tapi, Sia ingin mengetahuinya langsung dari cowok itu. Dia atau bukan.

"Iya, maaf memasuki ruangan mu dan mengacak barang mu tanpa izin," ucap Era.

Waktu terasa lambat dan panjang. Awalnya, Sia pikir memang dasarnya sebab sore ini udara lebih panas daripada biasanya. Pasalnya sudah terasa lebih dari satu jam keduanya berjalan padahal rumah Bay Leaf menuju gereja tidaklah begitu jauh. Lagipula Desa Murrain bukanlah desa besar, terutama yang tertutup dinding asap hitam.

Lantas Sia menatap ke belakang, membuatkannya melihat beberapa orang berlalu lalang, para warga desa namun dengan pandangan yang menatap fokus pada Sia dan Era tanpa berkedip.

"Abaikan mereka, jangan dipedulikan," ucap Era yang membuat Sia kembali melihat ke depan, berusaha abai sesuai titah Era walau jantung cewek itu mulai mendobrak rusuk. Sia takut, sebab tidak seperti sebelumnya kini warga desa itu seperti benar-benar akan melakukan sesuatu pada Era dan dia jika mereka berdua melakukan sesuatu yang kelewatan.

Sia menunduk, mulai merinding dengan tetap mengimbangi langkah milik Era. "Era, aku merasa mereka tidak seperti yang biasanya," lirih Sia berbisik.

"Cukup abaikan, Sia. Sejauh yang aku lewati selama ada di sini mereka tidak akan bertindak jauh, mereka hanya akan memperhatikan," ucap Era.

Ketika Sia tiba-tiba menggenggam tangan Era, saat itu Era bisa merasakan jika cewek itu bergetar takut. Membuat Era penasaran, hingga dia memutar kepala melihat ke belakang di mana beberapa orang mengikuti mereka terang-terangan dan menatap mereka dengan terang-terangan, tanpa berkedip sedikitpun.

"A-apa yang terjadi pada mereka?" gumam Era tanpa dapat Sia dengar.

Jujur, bagi Era ini juga pertama kali baginya. Warga desa ini hanyalah jiwa tanpa raga tapi kenapa mereka bisa menjadi seperti itu menjadi tanya baru untuk Era, apalagi Sia.

"Kurasa kita harus memikirkan ulang, lagipula kita belum punya kuncinya," ucap Era. Dia menarik Sia mengambil jalan lain, mereka masih mengikuti hingga Era dan Sia sampai di taman rumah Bay Leaf, mereka naik ke atas menara dengan sisa adrenalin yang masih di atas rata-rata.

"Lihat, bahkan kau pun juga takut," ucap Sia pada Era.

"Aku tidak takut, aku hanya kaget," sangkal Era.

Entah mereka sadar atau tidak, keduanya tengah terengah-engah sebab adrenalin tadi. Entah sadar atau tidak, mereka menghindari para warga desa tadi dengan sedikit berlari dan lagi jalan mereka tadi terasa begitu panjang.

"Kenapa mereka bisa seperti itu?" tanya heran Sia. Ia menatap ke sekeliling desa, di mana para warga desa tidak berkumpul seperti tadi, para warga desa itu kini melakukan kegiatan masing-masing seperti membawa jerami atau mencuci bagi para wanita-wanita tua yang Sia lihat.

"Mereka mulai tidak waras," jawab Era asal.

Ia mendengus kemudian berniat turun melihat suasana sudah kembali kondusif.

"Tunggu! Jangan turun dulu," ucap Sia menahan.

"Kita harus menyusun ulang semuanya, bukan? Dan tempat ini paling aman," lanjut Sia.

Ucapan Sia ada benarnya. Era menurut kemudian.

"Sepertinya dia, makhluk itu sudah tahu tentang apa yang ingin kita lakukan. Karena tidak mungkin terima di bunuh dia pasti berusaha untuk menggagalkan kita," ucap Sia, mengutarakan isi hatinya.

Era mengangguk, kurang-lebih ia menyetujui kemungkinan yang cewek itu ungkapkan.

"Kita harus melakukan sesuatu," ucap Sia, ia menatap Era dalam, menunggu respon cowok itu, berharap cowok itu memiliki ide untuk bisa keluar tanpa gangguan dari makhluk itu.

Era menghela napas. "Kalau seperti ini,  sudah dipastikan kita harus melawan dan bertahan dulu, sebelum semua syarat terpenuhi," ucapnya.

Melawan, menyembunyikan, serta kemungkinan makhluk itu akan melakukan yang terlewat fatal pada keduanya bisa saja terjadi. Era jadi cemas, apa hanya berdua untuk melakukan ritual cukup? Jangan-jangan harus menambah tumbal lagi--Tidak. Era menggeleng, mau bagaimanapun kali ini harus berhasil.

"Kita harus berhasil, kita harus bekerja sama Era, jangan sampai perjuanganmu sia-sia sampai di sini," ucap Sia. Ia mendongak menatap langit. Cerah, pantas saja panas meskipun di musim gugur.

"Besok kita kembali coba ke sana, untuk kuncinya mungkin kita bisa mencoba untuk membobolnya, kuharap bisa," ucap Era. Ia kemudian turun, disusul Sia sesudahnya.

Tepat di depan rumah penginapan Bay Leaf, keduanya terhenti di terasnya. Kaca jendela pecah, dan lantai terasnya kotor, begitu berantakan.

'TIDAK ADA YANG BISA KELUAR DARI TEMPAT INI!'

Tulisan itu berhasil membuat keduanya kembali terdiam. Mereka mendapat teror dari warga desa yang dikendalikan makhluk itu. Sia maupun Era tidak bisa bereaksi lebih dari terdiam dan kembali syok.

'JANGAN BERPIKIR BISA KELUAR'

Sia tersenyum masam. Apa sungguh ia akan mendapat jalan buntu? Tidak, ia menggeleng, tidak boleh. Mau bagaimanapun mereka harus kembali bersiap, Karen ini baru permulaan.

Selanjutnya pasti tidak hanya teror seperti ini. Pasti lebih besar dan lebih mengancam lagi.

Ini baru dimulai.

Bay LeafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang