Langkah

4 4 1
                                    

Kembali lagi mereka seperti yang dilakukan hari kemarin.

Pura-pura tidak melihat, berusaha abai dan jalan seperti selanjutnya. Tapi kali ini dengan jarak di antara mereka. Sia ada di jarak yang jauh dari Era, mungkin sekitar sepuluh meter. Tidak jauh tapi juga tidak dekat, masih berada di jarak aman dan masih dalam jarak pantau.

Pun dengan warga desa Murrain, mereka tak luput dari bagian ini. Ada di belakang Era, menatap mereka tajam.

Sia terhenti ketika ada beberapa orang menghadang di belokan. Era dari kejauhan ikut terhenti, melihat dari sana. Ingat pada rencana yang sudah mereka susun sebelumnya.

Dari sisi Sia, cewek itu sejenak menetralisir jantungnya yang berdetak tak beraturan tiba-tiba. Ia terhenti sebelum nekat mencoba melewati warga desa yang ada di depannya, selangkah demi selangkah hingga--Grep!

Salah satu warga desa menangkap sebelah tangan Sia. Era dari kejauhan kaget, tidak menyangka makhluk itu bisa bertindak sejauh itu, ia diam menunggu dan memperhatikan sejauh mana mereka akan bertindak. Di sisi Sia, ia segera menarik tangannya dan kemudian lari menuju arah lain dari menuju gereja.

"Sial!" Cewek itu mengumpat sembari berlari, namun kemudian ia tersenyum. "Setidaknya ini masih sesuai dengan apa yang kami perkirakan," lanjut Sia. Ia memperlambat langkah, menatap ke belakangnya dan tidak menemukan siapapun di sana. Ia sendirian, menunggu sinyal dari Era.

Sia menunggu, cukup lama. Sedikit ia melakukan ancang ancang untuk langkah panjang dan fokus menunggu. Hingga sekitaran lima belas menit berlalu, tanda dari Era muncul yaitu sebuah batu kecil menggelinding ke tempat Sia. Berasal dari jalan lurus yang menurun, di mana Era akan berada dan tempat yang harus Sia datangi sesuai dengan yang mereka rencanakan.

"Era, bagaimana?" tanya Sia. Ia berhasil menemui Era di belakang gereja, dengan keadaan mereka hanya berdua.

"Mereka berhasil ku alihkan, sekarang tinggal menunggu mereka benar-benar menganggap kita tidak ada di sekitar sini," jawab Era.

Sedikit lega Era dan Sia kini, sebab semuanya sesuai dengan apa yang mereka rencanakan. Sesuai dengan apa yang mereka berdua duga, warga desa sama saja seperti manusia pada umumnya. Mata dan telinga mereka berfungsi seperti manusia normal, jadi tinggal bersembunyi dan alihkan perhatian mereka hingga berhasil lepas dari pandangan mereka.

Keduanya bernapas lega, kemudian menuju sebuah pintu yang terbuat dari kayu dengan banyak celah. Dari celah itu, keduanya bisa melihat ke dalam, itu adalah jalan lain yang bisa mereka ambil untuk bisa memasuki gereja.

"Kau yakin bukan, ritual yang akan kita lakukan nanti bukanlah jebakan?" tanya Sia.

Era mengangguk kecil sebagai jawaban. Ia mencoba mendorong pintu itu namun tidak semudah itu untuk membukanya.

"Ah, apa pintunya juga terkunci?" tanya Sia. Melihat Era yang kesulitan untuk membuka, membuat ia menatap ke sekeliling namun tidak ada apa-apa, kecuali kepekaannya yang tiba-tiba meningkat. Sesuatu seperti tengah memperhatikan keduanya namun tidak ada siapapun yang Sia lihat.

Kriet, dan suara pintu yang khas membuat Sia berhenti melihat ke mana-mana. Usai Era mempersilahkan cewek itu masuk pintu kembali mereka tutup, bunyinya yang memekakkan telinga begitu jelas jika dari dalam ruangan kecil itu. Ruangan kecil yang mirip gudang, mereka masuk lebih dalam hingga menemukan celah yang mana membawa mereka ke dalam aula.

"Kira-kira, di mana batu itu akan di simpan?" tanya Sia. Terus menerus bertanya, Era tetap meresponnya dengan diam. Ia tidak berniat menjawab dengan basa-basi serta tak ada niat memecah keheningan seperti yang Sia terus lakukan.

Mereka berkeliling, mencari tempat yang berkemungkinan ada benda itu di sana hingga suara ketukan atau lebih tepatnya suara dobrakan terdengar dari pintu utama. Bersamaan dengan itu pula Sia menemukan sebuah kotak beludru di dalam lemari di pojokan.

"Era, kurasa aku menemukannya," ucap Sia usai ia sudah membukanya. Sebuah batu berwarna hitam dengan ukiran yang membentuk indah. Jika dilihat dari kejauhan batu itu terlihat polos tak istimewa sedikitpun, dilihat dekat pun jika tidak benar-benar diamati maka hanya akan terlihat seperti batu dengan goresan tak menentu.

"Biar aku lihat," ucap Era. Sia memberikan kotak itu padanya yang langsung Era amati dengan pasti. Dia pernah melihat ilustrasi kasarnya di buku yang ada di ruang bawah tanah, jadi ia mengangguk pasti, menyetujui jika batu itulah yang mereka cari. Bahkan tanpa sadar mereka lupa pada   suara dobrakan yang tadi kini berhasil merusak pintu utamanya.

"Oh astaga, aku melupakan itu." Sia meringis, menarik Era untuk merunduk bersembunyi di antara bangku-bangku.

"Sekarang, kita harus apa?" tanya Sia. Era menatap datar Sia membuat cewek itu menyadari pertanyaan konyolnya barusan.

"Maaf, aku menanyakan hal bodoh saat panik," ucap Sia setengah berbisik sembari mengintip sedikit demi sedikit ke depan pintu yang kini sudah berhasil dibuka oleh mereka. Ada sekitar sepuluh orang di sana dengan raut wajah mereka yang sangat serius. Sia jadi takut, utamanya berpikiran tentang apa yang akan mereka lakukan pada mereka berdua kalau sampai tertangkap.

"Sudah sejauh ini, yakin ingin menyia-nyiakannya?" tanya Era melihat wajah takut Sia. Ketakutan hanya akan membawa pengaruh buruk untuk sekarang, itu yang Era pikirkan. Jadi dia tidak akan membiarkan Sia ketakutan, itu hanya akan menambah bebannya.

Perlahan mereka melangkah pelan dengan masih menunduk, menjauh dari pandangan mereka.

"Aku tidak mau mati dengan cari ini, jadi ayo kita harus keluar!" ucap Sia di sela langkahnya. Sepuluh orang itu kini berpencar, membuat mereka sadar tak sadar bukanya menemukan jalan keluar malah terpojok.

Sia menggeleng, meyakinkan diri jika ia bisa keluar dari tempat itu dan lepas dari kutukan tumbal.

"Harus keluar bahkan jika itu mustahil." Lanjutnya, membuat Era mengerutkan alis. Entah ekspresi apa yang Era tampilkan mengingat datarnya wajah cowok, sebenarnya Sia tidak peduli selama itu tidak mengganggunya.

"Sejak awal kau memang keras kepala, aku tidak menyangka kau akan sekeras kepala ini," Era terkekeh. Posisinya, kini mereka semakin terpojok namun secara bersamaan lenggang. Ada satu celah jika mereka bisa bijak maka mereka bisa keluar, keduanya menyadarinya.

Mereka berjalan lurus, pelan namun berusaha secepat mungkin menuju pintu.
Kotak beludru tadi disembunyikan di antara Sia dan Era, berjaga-jaga jika mereka berdua kembali terpojok hingga--tap!
Langkah keduanya bersamaan keluar dari pintu, sejenak lega namun mereka tahu ini baru dimulai kembali.

Segera mereka menjauh dari tempat itu, melangkah pelan dan waspada memastikan tidak ada yang mengikuti.

Sedikit jauh, Sia menghembuskan napas lelah dan lega. "Semuanya tergantung pada apa yang kita pilih. Jadi ...!"

Bay LeafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang