Pulang

9 4 4
                                    

"Acasia, kita berhasil."

Era segera berlari mendekati Sia yang tumbang di tengah kobaran api. Tidak peduli panasnya, Era langsung saja mengangkat Sia yang tak sadarkan diri, membawanya keluar dari rumah Bay Leaf.

Tanda di leher Sia juga menghilang, Era menghembuskan napas lega. Batu yang dibawa mereka lenyap bersama dengan Zois dan Rios yang lenyap. Era sudah melupakan batu itu semenjak ritual karena batu itu Sia yang memegangnya. Batu yang membantu mereka menyegel Rios dengan bantuan Zois, batu yang menyegel dua iblis itu sehingga sekarang keduanya lenyap. Hanya tersisa Era dan Sia, dengan Sia yang tak sadarkan diri.

Sembari menunggu pagi, Era mencoba membersihkan luka yang terlihat di tubuh Sia sedikit demi sedikit. Ritual malam tadi benar-benar kelewat brutal, itu untuk Sia yang harus berhadapan langsung dengan iblis Rios itu.

Rasanya tugas Era benar-benar sepele. Hanya memanggil dan mendorong dari jauh tanpa melakukan hal lain yang lebih berani.

Ia melakukan ritual ini dengan harapan bisa keluar dengan selamat tanpa kurang apapun darinya dan malah mengorbankan Sia yang tak tahu apa-apa, hanya seseorang yang ambisius tapi kelewat polos.

Ketika Sia membuka matanya saat itulah cewek pirang itu berteriak histeris, berusaha bangun untuk menjauhi Era namun raga yang terluka membuatnya kembali jatuh menghantam lantai dengan keras. Sia menunjukkan sebuah reaksi trauma yang berat membuat Era sempat membeku.

Lihat apa yang kau perbuat Era, semuanya jadi runyam, kau kembali menghancurkan sesuatu lagi, ucap batinnya.

Iblis membuat iblis lainnya.
Begitu pula dengan makhluk yang menghuni Bay Leaf, iblis yang memerangkap banyak orang untuk dijadikannya tumbal.
Rios, ia telah membuat apa yang diinginkannya.

Meskipun Era tidak bisa menjadi iblis secara utuh. Namun dia tidak akan bisa kembali hidup normal.

Rasa bersalah. Beban yang ia pikul untuk dosa yang telah ia lakukan, semua itu bukanlah satu hal yang bisa dianggap sepele.

"Ah, kenapa kehidupan tidak pernah indah sedikit saja untukku," ucap Era lirih.

Begini, apapun yang kau lakukan semuanya tak pernah mendapatkan hasil yang sesuai. Ini salah siapa?

Lalu, ketika kau telah memiliki sesuatu yang ingin kau jaga, tapi ketika rasamu berada di puncaknya ia malah direbut paksa dari sisimu.

Kau yang selalu berusaha, berakhir dipatahkan. Apapun yang kau lakukan selalu salah. Tidak hanya sekali semuanya terjadi, tapi berkali-kali, terus menerus terulang hingga kau muak untuk kembali mempertahankan rasa ambisius mu.

Kau seperti antagonis yang tak pernah sedikitpun merasa bahagia. Selalu dianggap yang jahat tanpa pernah tahu alasanmu melakukan semuanya. Terus menerus terpojok, menjadi seperti sampah, selalu dianggap sampah, begitu terhina.

Era mendecak, ia mendongak pada langit dengan pandangan menyakitkan. Sudah berapa lama ia tidak melihat langit biru, tanpa kelam? Era sudah lupa, tapi melihatnya tidak membuat Era lega sedikitpun.

Ia yang menatap langit kini mengalihkan atensi pada sosok bersurai perak yang kini duduk dengan pandangan kosong. Acasia Burnett, gadis tak bersalah yang harus mengalami trauma berat usai semua kejadian itu. Era mendekati kemudian menyodorkan punggungnya.

"Naiklah, aku akan mengantarmu pulang," ucapnya.

Sia diam, bibirnya membuka menutup seolah berucap. Tapi tak ada suara apapun di sana namun Era tahu, dari gerak bibirnya Sia mengucapkan "pulang."

Bagiamana ya, Era bukanlah antagonis. Itulah yang Era pikirkan tentang dirinya. Situasi membuat semuanya begini dengan Era membenci semua itu, dalam lubuk hatinya ia tidak pernah ingin bersikap seperti itu semua, keadaan yang menyesakkan dan menyakitkan membuatnya begini.

Sia melingkarkan lengannya di leher Era kemudian cowok itu mengangkatnya pula melangkah pelan, berjalan dengan santai sembari melihat pemandangan sekitar. Yah walaupun pemandangan sekitar hanya diisi oleh semak dan pepohonan selama mereka masih berada di alur itu.

Penat, Era menurunkan Sia. Sia masih tenang, jika dilihat sekilas dia terlihat baik-baik saja, sehat luar dalam. Namun, jika lihat matanya, kosong, geraknya linglung dan sulit dia merespon ucapan. Sesekali bahkan Sia berteriak kencang, menelungkup kan diri, menutup mata dan telinganya rapat dan bergumam aneh. Untuk yang ini Era tidak bisa apa-apa, ia tidak tahu apa-apa tentang apa itu "mengorbankan kewarasan" jika ritualnya ada yang cacat. Apakah ini yang dimaksud?

Era tidak mengatakan apapun tentang hal ini pada Sia, karena sempat takut dia tidak bersedia melakukan ritual bersamanya. Ah, Era merasa begitu jahat dirinya itu pada seseorang yang tak tahu apa-apa.

Tapi ini juga kesalahan Sia. Karena Era sudah pernah berucap jika, "tidak ada siapapun yang bisa dipercaya di dunia ini." Era mengucapkannya kembali, di hadapan Sia menatap dalam manik mata kosong cewek itu.

Perlahan Sia kembali menitikkan air matanya, cairan itu meluap bersamaan dengan gelombang histeris kembali terjadi padanya. Ia menangis dan terduduk serta menutup telinganya, seolah ia melindungi diri dari apapun yang membuat cewek itu takut sekarang.

"Men-jauh dari, ku!" serunya. Suaranya agar tertahan, ditambah sesenggukan yang juga menyertai.

Salah siapa? Siapa yang akan disalahkan pada keadaan ini?

Apa sekarang Era harus menenangkannya?

Era mendekati Sia kemudian ikut duduk di hadapannya untuk meminta Sia menatap balik dirinya. "Tidak ada hal yang perlu ditakutkan lagi, Sia," ucapnya memenangkan.

Sia menggeleng, menutup matanya rapat-rapat. Seolah ia tidak ingin menatap apapun yang ada di hadapannya, sesuatu yang membuatnya begitu takut. Mimpi buruk yang paling buruk, sampai-sampai ia tidak bisa membedakan mana yang nyata mana yang halusinasi.

Tubuh Sia yang rapuh usai melawan Rios jelas tidak akan sembuh dengan cepat. Ketika Rios dengan brutal memberikan pukulan dan perlawanan pada tubuh Sia yang diisi Zois jelas akan membutuhkan waktu lama agar segala macam lukanya dapat sembuh. Inilah alasan mengapa Era tidak membiarkannya berjalan sendiri, cewek itu akan melukai dirinya sendiri dengan jatuh ataupun gerakan yang terlewat tiba-tiba.

Perlu waktu lama hingga Sia kembali tenang. Era kembali membawa Sia ke perjalanannya, santai saja pembawaannya hingga sudah hampir melewati jalanan luar setapak di sana lagi-lagi Era berhenti karena Sia yang merengek-rengek minta diturunkan dan kembali menangis.

Menangis ketakutan, merenung kosong. Hanya dua hal itu yang terus bersiklus dalam diri Sia. Era hanya bisa sabar, kali ini ia ingin bersikap baik, ia masih ingin menjadi baik walaupun selama ini ia selalu terlihat jahat. Ia ingin menebus kesalahannya dengan menjaga Sia agar cewek itu selalu dalam keadaan aman, yang pertama ia harus memulangkan Sia ke tempat di mana ia selama ini tinggal. Bersama kedua orang tuanya dan setelah itu Era akan memikirkan kembali apa yang harus ia lakukan walaupun sendirian.

Bay LeafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang