Acasia: Survival

1 3 1
                                    

Tamara atau Era. Siapa pun itu jelas, dialah yang membunuh Rion adalah dia yang masuk ruang bawah tanah selain aku waktu itu.

Jujur saja ini begitu menakutkan. Aku terus menerus menjaga jarak dengan Tamara dan Era sejak kemarin. Pembunuhnya jelas ada di antara mereka, tapi jika aku begini yang ada akan ada korban lagi. Salah satu dari mereka misalnya.

Aku ingin mengungkap siapa yang membunuh tapi aku takut. Ingin rasanya mengintrogasi mereka dan menemukan siapa tersangkanya, tapi terlewat takut. Aku takut malah aku yang mati sewaktu kegiatan interogasi itu.

"Sia, kau ada waktu? Era katanya ingin bicara sesuatu dengan kita." Membuka pintu tanpa mengetuk, Tamara berhasil membuatku hampir jantungan.

Bagaimana tidak, aku tengah memikirkan tentang pembunuhan itu, tapi tiba-tiba Tamara datang tanpa permisi. Bahkan jika dia mengetuk pun, kalau di keadaan seperti ini aku pasti akan langsung terkaget.

Aku hanya mengangguk sebagai respon kemudian menyusul Tamara yang menuruni tangga. Nampaknya ia pun tahu sehingga menjaga jarak dariku.

"Jadi, apa?" tanyaku.

"Aku hanya ingin tahu, siapa pembunuhnya," jawab Era. Ia menopang dagu dan aku yang berdiri di ambang pintu.

Entah sejak kapan ruang dapur rumah penginapan Bay Leaf ini jadi tempat diskusi kami. Yah, tapi di sini memang lebih baik dibandingkan tempat lain di Bay Leaf ini.

"Well, jadi 15 menit sebelum Rion ditemukan ke mana kalian?"

"Aku hanya tinggal di kamarku," jawabku. Toh aku hanya keluar ketika ke ruang bawah tanah, di mana saat itu tidak ada yang melihat. Jadi aku terlihat seolah tidak ke mana-mana, hanya diam di kamar.

"Benarkah? Tapi kenapa tanda milikmu berkurang?"

Aku refleks menutupi leherku sendiri. Uh, awalnya aku ingin menutupi ini semua tapi kalau begini kurasa tak ada yang perlu disembunyikan. Jelas-jelas tak ada gerak-gerik ku yang mencurigakan. Tapi kenapa mata Era begitu jeli?

Aku mendesah tertahan. "Ya, aku melanggarnya. Kalian pasti mengerti, kan?" tanyaku.

"Kapan?" tanya Tamara.

"Aku tidak tahu berapa lama aku tak sadarkan diri setelah melanggar, yang jelas aku tidak mungkin melakukannya," ungkap ku.

Aku punya alibi yang kuat, sekarang antara Era atau Tamara pasti bisa menduga-duga siapa yang melakukannya. Karena jelas merekalah yang melakukannya.

"Kamu sungguh ingin keluar dari tempat ini ya?" tanya Era. Aku menaikkan alis heran, pertanyaan itu lagi, seolah keluar dari tempat ini begitu mustahil. Seolah mereka meragukan tentang keseriusan ku untuk keluar dari sini.

"Sebenarnya aku takut, tapi aku yakin jika aku punya usaha dan tekad aku pasti bisa keluar dari sini, tentunya aku sangat ingin keluar dari tempat ini" jawabku mantap.

"Kalau aku, hanya tinggal di kamarku direntang waktu itu," ucap Tamara. Alibinya tidak kuat, terlalu lemah bahkan membuatku sangat mudah untuk disangkal karena tidak ada bukti.

"Sepertinya, pembicaraan ini percuma. Kita tidak bisa saling menuduh dan untuk alibinya rasanya percuma karena kita semua hanya berada dalam kamar, termasuk aku," ucap Era.

"Kau yang ingin memastikan tapi ternyata kamu juga yang menganggap ini percuma. Era, jangan-jangan justru kau lah pelakunya?" Aku menerka.

Era menggeleng kemudian mengangguk. "Benar juga, masuk akal jika akulah yang membunuh mereka selama ini," ucapnya. Aku terperangah, bisa-bisanya cowok ini begitu santai.

"Tapi sudah kukatakan jika bukan aku, sekian," ucapnya lagi. Ia kemudian pergi dari sini. Aku dan Tamara hanya diam, sesekali aku melirik Tamara mencoba membaca raut wajah perempuan itu berharap menemukan kebenaran. Tapi sayangnya aku tidak sehebat itu, terkadang aku membedakan tangis dan tawa saja susah luar biasa.

"Aku takut." Tamara bergumam namun masih bisa kudengar jelas.

"Eh?"

"Aku ingin kabur," gumamnya lagi. Eh, apa Tamara tidak sadar aku dengar ya?

"Aku ingin semua ini berakhir.

Aku ingin–" Ah ini sudah kelewatan, Tamara perlu disadarkan. Aku tidak bisa mendengar suara itu, suara seseorang yang putus asa lebih dari apapun.

"KALAU KITA TERUS BERTAHAN HIDUP, BISA SAJA SUATU KEAJAIBAN TERJADI!" Aku tidak mengerti, refleks saja suaraku meninggi dengan tatapan tajam  ku layangkan pada Tamara.

Tamara membeku, aku mencengkram bahunya. Entah dapat keberanian dari mana padahal bisa saja bukan Tamara adalah pembunuhnya.

Perlahan aku sedikit menjauh, menjaga jarak dari Tamara yang kini sudah tersadar dari lamunannya. "Aku pernah membaca kata itu di sebuah novel yang kubaca, yah walau aku tahu apa yang ada di dalam novel hanya cerita fiksi. Tapi satu hal yang aku tahu, seorang penulis hanya ingin memberi nilai pada ceritanya."

"Sebuah keajaiban, memang terkesan terlalu pasrah pada takdir yang bernilai positif. Tapi tidak masalah bukan meyakini jika keajaiban itu ada?" tanyaku, cringe. Aneh sekali, di saat-saat seperti ini, di saat-saat hidup dan mati ini malah mengharapkan sebuah keajaiban.

"Benar juga," ucap Tamara. Aku tidak menyangka Tamara menyetujuinya ...

"Orang-orang yang selamat dari kecelakaan maut, seperti pesawat jatuh, tsunami bahkan tenggelam itu salah satu keajaiban bukan?"

Ungkapan Tamara aku balas dengan anggukan setuju. Ah, apa ini artinya aku berhasil mengajak Tamara untuk keluar bersama? Jika keluar bersama kemungkinan keluarnya lebih tinggi bukan?

Oh ya, ada satu lagi yang aku ingat jelas di novel yang aku baca itu.  "Hidup yang kuhabiskan dengan sia-sia hari ini, adalah hari esok yang sangat diharapkan oleh orang yang telah mati."

Aku menatap Tamara dengan perasaan tersirat. Aku harap jika dia mau bekerjasama denganku.

"Itu artinya, setiap waktu yang kita lalui ini begitu berharga bukan?" tanyanya. Aku mengangguk.

"Gimana? Mau nyoba keluar dari tempat ini bareng aku?" tanyaku.

Sayangnya respon Tamara lambat. Ia terdiam di sana, masih ragu-ragu sepertinya. Sedikit mengesalkan, padahal tinggal katakan, ya! saja sudah cukup. Tapi mau bagaimana lagi, setidaknya Tamara agak terbuka hatinya walau masih sedikit. Sepertinya.

"Aku akan menunggu jawabanmu, Tamara," ucapku. Aku melambai sedikit ketika berbalik, tanpa menunggu responnya aku segera pergi dari sana. Aku ingin kembali ke kamar dan menulis ulang beberapa hal, siapa tahu aku mendapatkan jalan cepat keluar dari tempat ini.

Terutama aku ingin konsentrasi, memikirkan tentang ruang bawah tanah rumah ini yang begitu misterius. Tentang lilin yang menyala dan ... siapa yang ke sana selain aku.

Hidupku rumit sekali.

Ah, andai saja ini semua hanya fiksi. Aku ingin mengubah takdirku. Aku ingin damai tanpa khawatir akan kapan saja aku bisa terbunuh di sini.
Pun sebab segala yang bernyawa akan merasakan mati, dan aku ingin mati dengan cara yang layak.







Note:
Mau nanya pada reader. Apa pendapat kalian dengan author yang suka bunuh, menyiksa karakter dalam ceritanya?

Novel yang dimaksud: Survived Romance karya Lee Yeon on Webtoon.

Bay LeafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang