Acasia: Kunci

6 6 16
                                    

Katanya, orang yang paling baik adalah orang yang berkemungkinan paling awal diambil dari sisi kita. Layaknya bunga, yang paling cantik akan dipetik. Sedangkan yang busuk akan dibiarkan melayu, dibiarkan menikmati waktu, diabaikan dengan perlahan-lahan untuk bertransformasi menjadi bunga yang tak pantas.

Apakah ini berlaku untuk kami di sini. Siapa yang akan makhluk itu ambil apa tergantung dari betapa indahnya hati mereka yang terjebak. Kalau iya, berarti yang bertahan sampai akhir adalah orang yang paling buruk, begitu kan?

Sepeninggalan Lian, aku dan Tamara kembali berbincang. Hanya pembicaraan tak penting, berusaha abai pada mimpi buruk yang ada di hadapan kami, hanya berusaha berpaling dari kenyataan yang pahit. Kemudian, si Rion dengan interaksinya bersama Lian di bawah sana, tepat di halaman Bay Leaf menjadi atensi ku.

"Omong-omong kalian pernah melanggar?" tanyaku.  Seketika aku kepikiran dengan jumlah nyawa mereka.

"Pernah. Aku, Era dan Lian. Sejauh ini Rion belum pernah," jawab Tamara. Aku mengangguk, masih memperhatikan interaksi Rion dan Lian di bawah sana. Sekilas, andai warna rambut dan gaya pakaian mereka sama, kemungkinan tidak akan bisa aku membedakan mereka. Apa aku sudah pernah bilang jika mereka kembar?

"Bagaimana kalian bisa tahu peraturan dan larangan yang ada di sini."

"Sejauh ini hanya sedikit yang kami dapat dari apa yang kami lakukan. Seperti keluar dari asap hitam itu, kau pasti mendengar suara itu bukan sebelum tak sadarkan diri."

"Ya ..." Seketika aku teringat dengan satu poin yang pernah mereka ucapkan.

Cara mendapatkan tanda kembali, satu-satunya cara yang kami ketahui hanyalah membunuh salah satu dari kita untuk merampas nyawanya. Itu adalah penjelasan Era kemarin.

"Membunuh untuk merampas sisa nyawanya, bagaimana kalian bisa tahu itu?" tanyaku.

"Ah, itu ketidaksengajaan," cicit Tamara. Ia seolah tidak merasa nyaman membicarakannya.

"Eh ...."

"Era, dia tidak sengaja membunuh rekannya sendiri," lanjut Tamara. Rekan ya,  entah rekan seperti apa tapi aku tahu pasti dia itu pasti sangat berharga.

"Begitu ya ...," lirihku mengerti.

"Iya, jadi jika bertemu Era jangan pernah menyinggungnya tentang hal itu ya."

"Oke."

Selanjutnya sepeninggalan Tamara, aku melamun lagi. Ah, melamun di tempat seperti ini sebenarnya sangat tidak dianjurkan, bisa saja ada yang mendorongmu ke bawah menara, dengan ketinggian ini kemungkinan patah tulang adalah paling mungkin terjadi dan bisa saja geger otak dan mati jika lehermu patah. Ih, bisa-bisanya aku memikirkan hal sampai sejauh itu.

Matahari sudah menurun tapi tidak denganku. Aku masih betah di sini, aku tidak berniat turun dari menara ini sejauh ini, di sini menenangkan walau yang bisa kulihat hanya ladang dan rumah desa, serta  perangkap asap hitam itu tentu saja. Setidaknya asap itu membuatku sadar jika aku masih terkurung di sini, dengan begitu aku masih bisa lekas memikirkan cara untuk keluar.

Kurasa sudah waktunya mencoba mencari cara keluar, pertama-tama apa ya? Tempat yang menyimpan semua misteri dari Bay Leaf Dan makhluk itu berkemungkinan ada di mana.

Aku terdiam memikirkannya, kembali melamun dengan kali ini lamunanku yang---mungkin---akan berguna.

Dari menara ini aku menatap semua tempat, meneliti setiap bangunan yang ada di tempat ini dan aku melihat sebuah bangunan yang nampak berbeda dari bangunan lain yang ada di sini. Letaknya agak menjorok lebih dalam dari jalan, dan vibesnya yang terlihat berbeda, ah itu gereja. Mungkin aku bisa menemukan sesuatu di sana.

Lantas aku bergegas menuruni tangga menara, aku harap aku masih sempat ke sana sebelum hari semakin gelap.

Terkunci. Sayang sekali nyatanya pintunya terkunci rapat. Ah wajar saja, jika kemungkinan tempat ini menyimpan rahasia maka jelas tidak akan mudah untuk mendapatkannya.

Aku menghembuskan napas kecewa, kemudian berniat kembali. Sayang sekali tapi apa daya, pertama aku harus mencari cara untuk masuk, tapi nanti, mengingat hari ini sudah mulai gelap.

Sampai di rumah penginapan Bay Leaf sore ini aku memilih untuk duduk di terasnya, duduk di undakan tangga. Percayalah, cukup melelahkan. Gereja itu letaknya cukup jauh dan lagi aku berjalan sendiri. Tahu betapa merindingnya aku tiap bertemu warga desa ini? Jujur aku sangat takut, walau mereka tidak mempedulikan ku selama aku tidak menyinggung mereka. Selama perjalanan aku selalu menatap kemana pun, dan sejauh-jauhnya dari mata mereka. Mereka manusia yang berbeda, sangat terasa jika mereka bukan benar-benar manusia, hawa hidup mereka tidak ada, aku benar-benar ketakutan tiap bersinggungan dengan mereka. Ih, syukurlah desa Murrain sama saja seperti desa pada umumnya, jumlah penduduknya minim, itu sangat melegakan.

"Kau dari mana?" tanya ini terlontar oleh Era ketika aku melewati pintu kamarnya yang terbuka. Ia ada di dalam sana, entah melakukan apa, aku tidak peduli. Yang jelas aku terhenti karena tanyanya.

"Tadi katanya kau ada di menara tapi ternyata tidak ada saat aku ke sana," lanjutnya.

"Memangnya ada apa?" Bersamaan tanyaku ini, Era sudah ada di tengah pintunya ia menyilang tangannya di depan dada sebelum kemudian menjawab tanyaku.

"Tidak ada, hanya saja aku ingin bertanya apa kau sudah menyerah? Sepertinya kau sudah tak berniat mengajak yang lain lagi."

Oh, hanya itu? Aku mengkibas-kibaskan tanganku di depan dada. "Percuma mengajak yang lain, aku akan melakukannya sendiri," jawabku.

Percuma, jawaban yang lain pasti akan tetap sama bukan? Mau seberapa batunya diriku mengajak. Aku tidak mau nantinya justru aku yang hancur karena kekeras kepalan yang lain. Seperti, ketika satu batu dilempar keras ke batu lain dengan brutal. Bisa saja baru yang dilemparkan yang hancur bukan? Aku tidak akan memaksa jika memang tidak mau.

"Baguslah kau mau melakukannya sendiri, karena ga ada yang bisa dipercaya selain diri sendiri." Serta ini jawaban Era kemudian.

Aku menatapnya heran, jika aku bertanya maksudnya pasti---ah sudahlah, itu bukan hal penting lagi pula aku cukup menyetujui ucapannya itu.

"Aku sempat melihat tanda milik yang lain karena mereka cukup membuka lehernya, boleh aku melihat tanda milikmu?" tanyaku. Aku penasaran berapa jumlah tanda miliknya, apalagi kata Tamara, dia ini pernah merampas nyawa milik yang lain, bukan?

Era mengangguk, ia menurunkan kerah turtleneck-nya hingga aku bisa melihatnya. Jumlahnya ada empat, sama seperti awal.

Aku mengangguk memahami. "Baiklah, terima kasih," ucapku. Ini yang terkahir karena kemudian aku berlalu. Aku berniat kembali ke kamarku untuk memikirkan cara untuk keluar dari tempat ini.

Kunci gerejanya kira-kira ada di mana? Aku harus segera mengetahuinya. Waktuku semakin menipis, melihat dari sisi manapun aku memiliki kemungkinan paling tinggi untuk menjadi tumbal selanjutnya di purnama nanti. Aku harus bisa keluar sebelum hal itu terjadi.

Bay LeafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang