Ritual

3 3 1
                                    

Helaan napas lega dan tanya tentang kenapa Tamara dan yang lainnya ada di tempat itu menyerbu kepala usai keduanya berhasil melarikan diri.

Kenapa mereka masih ada di tempat ini? Kenapa raganya tak menghilang? Kenapa Ela Brooklyn, seseorang yang sudah lama dinyatakan meninggal malah ada di sini, bicara dengan mereka?

Pertanyaan itu terus menerus mengulang dengan jawaban kabur yang bisa mereka simpulkan ialah karena makhluk itu, iblis yang menjadikan mereka tumbal. Untuk menggagalkan kesempatan mereka keluar dari sana.

"Bulan memang belum lenyap, tapi jika kita tidak melakukannya secepatnya bisa saja mereka akan kembali bertindak," ucap Sia. Era mengangguk, tatapannya tajam meneliti bulan yang bertengger di tempatnya di malam ini. Masih sabit, tapi seharusnya sabitnya harus lebih tipis dari itu agar makhluk itu dalam keadaan paling lemahnya.

Tapi menunggu dua sampai tiga hari lagi, Era dan Sia tak yakin akan seperti apalagi makhluk itu mengganggunya.

"Ayo kita lakukan sekarang," ajak Era. Sia mengangguk dengan tiba-tiba pula dadanya merasakan gemuruh tak nyaman, semacam cemas yang muncul sebab firasat tak baik.

"Kalau keadaannya seperti sekarang, semakin cepat maka akan semakin baik," ucap Era. Ia melirik ke bawah, penduduk desa itu kini mendekati rumah Bay Leaf sedangkan Era dan Sia di seberangnya, di menara taman desa Murrain.

"Era, yang kita perlukan sudah di sini semuanya bukan? Jadi aku kita mulai saja," ujar Sia memastikan. Ia ikut menatap ke arah mana tatapan Era tertuju, beberapa penduduk dari desa Murrain ini masuk ke dalam rumah itu termasuk di sana Ela Brooklyn.

Sejujurnya, Era merasa nyeri pada ulu hatinya melihat Ela ada di sana. Andai dia benar-benar Ela ingin sekali Era mengajaknya pulang bersama. Tapi Era tahu dia bukanlah Ela nya, kedalaman matanya berbeda dari milik Ela. Awalnya Era tidak ingin mempercayai jika Ela yang sekarang ia lihat bukanlah Ela nya, tapi tidak bisa. Apalagi dengan adanya Sia sekarang, aura gadis itu menariknya terus untuk kembali pada kenyataannya.

"Baiklah, duduk pada posisimu dan aku akan memulai ritual pemanggilannya," ucap Era.

Sia menurut namun sebelum itu mendongak menatap Era yang berdiri di hadapannya. Tatapannya penuh dengan harapan agar Era bisa melakukannya dan usainya mereka akan berhasil keluar dan bebas.

Walaupun dalam lubuk hati Sia mulai pasrah pada rasa gelisah yang menghujam. Walaupun dalam lubuk hati Era ia tidak yakin semuanya akan baik-baik saja. Sebuah konsekuensi, Era ingat bagian itu tapi ia tidak bisa bilang pada Sia.

"Acasia," panggil Era.

Sia sedikit memiringkan kepalanya merespon. "Hm?" deham nya bersama respon kecil lainnya.

Era menggeleng, kata-kata yang ingin ia rangkai untuk dikatakan pada Sia menguap dengan mudah sebab nyalinya yang tidak mampu berucap.

Setelahnya, Era mulai mengucapkan mantra yang sudah ia hapalkan untuk ritual pemanggilan sang iblis, Zois, untuk melakukan sisanya setelah ini.

Ucapan yang asing, mendengarnya membuat Sia yang menunduk dalam merinding. Jujur saja, menyadari jika dia yang menjadi wadah untuk pemanggilan sedikit membuatnya gila. Tapi Sia tidak bisa apa-apa, yang tahu cara pemanggilannya adalah Era. Mereka berbagi tugas masing-masing dengan resiko masing-masing. Sepertinya.

Beberapa baik mantra diucapkan sudah, tubuh Sia semakin lama semakin memanas rasanya. Ada sesuatu pula yang rasanya memasuki lewat belakang kepalanya terasa berat dan panas kemudian perlahan semuanya berubah gelap.

Sedangkan yang dirasa Era adalah atmosfer yang makin dan makin memberat tiap kata yang ia ucapkan semakin lama mantra itu semakin sulit untuk Era ucapkan hingga Sia tiba-tiba bangun dari duduk dan menunduknya, dengan pupil birunya berubah hitam, hitam sepenuhnya.

Era menahan napasnya, ritual pertama berhasil. Tinggal beberapa tahap lagi hingga dirinya bisa keluar.

"Apa yang membuatmu memanggilku?" tanya itu datang dari Zois, iblis yang kini membelenggu Sia, memanfaatkan raganya untuk bisa berada di sana.

"Bantu kami keluar dari tempat ini, tolong kami melenyapkan makhluk yang memerangkap kami, iblis itu, Rios," ucap Era. Kemudian Era hanya bisa berharap iblis ini mau menolong mereka.

Sia, lebih tepatnya Zois yang ada dalam raga Sia menatap ke seberang jalan, di mana rumah penginapan Bay Leaf ada.

"Dia ada di dalam sana," ucapnya. Perlahan ia turun dari sana, Era mengekor hingga perlahan asap muncul dari dalam rumah itu. Era mengerutkan dahi bingung, jika mereka semua tadi masuk ke dalam sana itu berarti mereka berniat membakar semuanya. Apa fungsinya? Membuat Era kembali takut kehilangan Ela yang sedang ada di dalam sana? Sayangnya Era tidak akan mudah tertipu begitu, Ela sudah tiada, sudah lama sekali.

"Kau tahu bukan konsekuensinya jika manusia ini aku tinggalkan raganya setelah aku melakukan semua ini?" tanyanya.

"Ya."

"Baiklah," ucapnya lagi. Zois dalam tubuh Sia lantas memasuki rumah Bay Leaf yang kini terbakar. Asapnya lebih banyak jadinya, apalagi ketika Zois membuka pintu utamanya.

Tapi aku berharap Sia bisa selamat, ucap batin Era sebelum kemudian kembali mengucapkan mantra yang sama terus berulang-ulang. Hanya ini yang bisa ia lakukan agar Zois tidak terlempar keluar dari raga Sia dan semuanya akan baik-baik saja setelahnya.

Masuk perlahan, Era menutup hidungnya dengan kain basah, sungguh rasanya Era jadi takut dengan raga Sia yang akan menghirup asap ini terus menerus dalam keadaan tak sadar.

Era melihat Sia dari jarak yang cukup aman, perlawanan antara Sia dan Ela dapat Era lihat jelas di antara api yang berkobar. Era tersenyum masam, walau ia sudah menduga jika Ela dirasuki oleh iblis itu, tapi melihatnya langsung begitu sakit membuat Era sadar tak sadar buyar dari mantra-mantra yang ia ucapkan. Membuat tubuh Sia terlempar cukup jauh.

Era berusaha kembali fokus, dengan tajam ia mendukung Zois untuk mengalahkan Rios, meskipun sejauh ini Ela yang dikendalikan Rios dan Sia yang dikendalikan Zois masih imbang belum terlihat tanda-tanda akan usai.

Erangan dan teriakkan yang berasal dari dua cewek yang bertarung saling menjatuhkan itu hanya bisa Era abaikan.

Tapi jujur saja, melihat Sia dan Ela yang sudah bersimbah darah sebab raga mereka yang aslinya hanya manusia biasa membuat Era berharap semuanya segera berakhir. Dengan keberhasilan itu berpihak pada dia dan Sia yang berjuang di sana menahan semuanya.

Hingga akhirnya Ela jatuh dalam api yang berkobar, saat itu Sia melangkah mendekatinya menyentuh kepalanya dan nampak seperti menyerap sesuatu dari sana. Ela, lebih tepatnya Rios berteriak, tatapannya membenci sedangkan Zois hanya datar.

Kemudian, Era merasakan lehernya ringan dan usainya Era tahu mereka berhasil. Kutukannya, tanda yang memerangkap mereka sudah hilang.

Ritualnya berhasil. Mereka berhasil.

"Acasia, kita berhasil ...."

Bay LeafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang