Acasia: Pembunuh

9 5 1
                                    

Kehidupanku berubah 180 derajat, dari yang ringan, santai dan damai berubah menjadi berat, penuh tekanan dan tidak tenang.

Aku yang dulunya berpikir, aku masih muda masih banyak jalan yang harus ku lalui sebelum masa tua kini menjadi kapan saja kematian bisa menyapaku.

Atas semua yang terjadi padaku akhir-akhir ini, ini sangat sulit untuk dimengerti.
Seolah aku ada di antara hidup dan mati. Selangkah saja salah langkah maka jurang yang dalam adalah tempatku selanjutnya.

Semua ini dimulai ketika aku yang pergi untuk mengunjungi nenek, di tengah perjalanan ternyata jembatan---akses---yang biasanya di lalui rusak dan aku memilih menggunakan jalan memutar daripada pulang dulu sembari menunggu jembatan itu diperbaiki. Kemudian di tengahnya aku terjebak hujan hingga aku singgah di Bay Leaf serta selanjutnya aku ditandai, dan sekarang aku melihat kematian di hadapanku. Pertama Katja dan sekarang Lian.

Selanjutnya siapa? Kenapa semuanya tidak berjalan sesuai dengan apa yang mereka---Tamara dan yang lainnya di sini---katakan. Bukannya hanya akan ada yang mati ketika bulan purnama datang? Tapi apa yang saat ini aku lihat?

Tubuhku gemetaran, aku lemas luar biasa dan rasanya dunia terasa berputar-putar, aku pusing seketika. Bagaimana mungkin Lian meninggal sekarang? Kenapa? Bagaimana bisa?

"Kenapa teri--Lian!" Tamara berseru ketika melihat Lian di sana. Ia baru turun dari lantai dua, nampaknya usai mendengar teriakkan ku sebelumnya.

"Rion! Era!" Kali ini Tamara memanggil yang lainnya. Pertama Tamara mendekati tubuh Lian, hanya sekedar memastikan tanpa menyentuh hingga kemudian mendekatiku yang masih lemas, terduduk di depan pintu dengan begitu syok.

Tamara menyentuh bahuku, kemudian menanyakan keadaanku dengan lirih sekali yang ku jawab dengan gelengan pertanda tidak.

________

"Apa yang akan kita lakukan pada Lian?" tanya Era.

Kami berkumpul di ruang dapur dengan Lian masih dibiarkan di sana. Tidak ada satupun dari kami berani memindahkan Lian apalagi Rion dengan lantang mengatakan tentang ketidak terimanya ia pada siapapun yang telah membunuh saudaranya.

"Memakamkan ia dengan layak, tentu saja, bukan?" ucapku menjawab tanya Era.

Rion, Tamara, dan Era menatapku. Tatapannya berbeda-beda, yang jelas aku tidak bisa mendeskripsikannya, terlalu rumit untuk dijelaskan.

"Aku setuju dengan Sia," ungkap Tamara.

"Tunggu dulu, kita belum tahu siapa yang membunuh Lian, jelas-jelas ada yang membunuhnya, Lian pasti tidak akan tenang," ucap Era.

Ah, kenapa cowok itu malah mengucapkan sesuatu yang bisa memperkeruh keadaan. Sekarang pasti semuanya akan saling tuduh menuduh.

"Benar kata Era. Pembunuhnya pasti ada diantara kita, tapi pertama kita harus mengantar Lian, kita tidak mungkin membiarkannya tetap berada di sana bukan?" Aku mengangguk menyetujui ucapan Tamara. Sehingga itulah yang kami lakukan malam-malam, menguburkan Lian dengan layak.

Selama kegiatan ini aku kerap menatap Rion yang tidak bersuara. Ia terus menerus bungkam, aku hanya bisa menatap iba padanya. Jelas, pasti dia sangat sedih sebab kehilangan saudara kembarnya. Tapi semua sudah terjadi, aku harus berusaha kuat dengan membentengi diri entah dari perasaan atau lainnya yang mana menurut prediksi ku selanjutnya pasti akan lebih sulit lagi.

"Kau pasti pelakunya, kan?" Rion bertanya padaku, lebih tepatnya menudingku. Ini adalah ucapan pertamanya setelah apa yang terjadi pada Lian, saat ini kami sudah kembali ke rumah Bay Leaf.

Sedikit aku merasa dadaku nyeri, bisa-bisanya aku dituduh telah membunuh Lian.

Aku menggeleng. "Aku berani bersumpah, bukan aku pelakunya," ucapku.

"Mana mungkin kau mengakui kalau kau pelakunya," Tamara menimpali. Aku tidak menyangka ternyata Tamara pun ikut menganggap aku yang membunuh Lian.

Aku menatap mereka dengan pandangan kecewa.

"Sungguh, bukan aku pelakunya." Percayalah bukan aku.

Jelas mereka tidak akan mempercayainya. Tatapan mereka mereka benar-benar menudingku, Rion, Tamara bahkan Era yang diam saja.

Dadaku rasanya sesak. Awalnya aku ingin membuka hati pada mereka semua, menganggap mereka teman tapi malah seperti ini.

Rion mendekatiku kemudian dari balik tangannya ia berniat menyerang. Sebuah pisau di sana melayang di atas tangannya, aku lekas menghindar hingga yang berhasil ia tusuk hanya udara kosong.

"Rion!"

"Apa yang kau lakukan!"

Teriakan Tamara dan Era terasa bagai angin lalu. Begitu samar.

Kematian Lian menjadi awal dari perpecahan, aku menggigit bibir bawahku, menahan diri untuk tidak terlarut dalam emosi dan menahan takut pada apa yang tengah Rion rencanakan padaku.

"Mungkin saja Lian sudah tidak kuat lagi makanya bunuh diri." Ini bukan aku yang bicara, tapi Era. Wajah tenangnya sedang berfikir menduga.

"Lian tidak mungkin seperti itu, dia tidak akan bertindak begitu. Aku sangat mengenalnya," sangkal Rion. Tamara menahan tangan Rion hati-hati, takut jika Rion kembali berniat menggunakan benda tajam itu untuk selanjutnya.

Rion melengos. "Jangan meremehkan ikatan batin saudara kembar," lanjutnya, menyatakan tentang betapa dekatnya ia dengan yang bersangkutan.

"Apa jangan-jangan, justru kau yang membunuh saudaramu itu, Rion," ucapku. Aku melihat Tamara berhasil menjauhkan pisau tadi dari genggaman Rion.

"Hentikan tuduhan tak berdasar mu itu!" Kali ini bukan pisau, tapi Rion mendorongku hingga menghantup dinding. Bunyinya keras sekali dan rasanya sakit, tapi aku tidak peduli, aku harus membuat Rion sadar dia sudah menuduh tanpa bukti.

"Harusnya itu adalah kata-kataku! Kau sembarangan menuduhku membunuh Lian." Aku berteriak di hadapannya yang berniat memukulku dengan emosinya. Ia sempat terdiam merespon ucapan ku sebelum kemudian ia menarik kerah kaos ku membuatku tercekik.

"Nyatanya kau lah yang paling mungkin melakukannya. Selama ini, sebelum kau ada di sini tidak ada hal seperti ini terjadi, jadi jelas kau yang paling mungkin membunuhnya."

Aku menahan napas ku membuatku meringis tertahan, menahan diri untuk tidak membalasnya. "Bisa-bisanya kau--"

"Hei, sudah! Jika terus menerus saling tuduh ini tidak akan berakhir," potong Tamara melerai. Ia berusaha menarik tangan Rion untuk berhenti menarik kerah ku.

"Nyatanya memang begitu bukan? Aku bertaruh Sia lah yang membunuh saudaraku," ucap Rion teguh.

Tamara diam, kemudian menggeleng. "Awalanya aku pikir juga Sia, tapi aku baru ingat pada waktu kejadian aku melihat Sia tengah berada di halaman belakang lewat jendela kamarku, jadi tidak mungkin Sia melakukannya," jelas Tamara.

Kenapa baru sekarang Tamara memberi kesaksian? Jika sedari awal dia membelaku maka keadaanku tidak akan serumit ini.

Rion bungkam dan dia segera meninggalkan ruangan ini usai penjelasan Tamara, Era mengikutinya karena khawatir. Jadinya yang masih ada di sini hanya aku dan Tamara.

Aku meringis.

"Hah, ini baru pertama kali ada kejadian seperti ini. Malah bertepatan dengan kedatanganku lagi, sabar ya Sia," ucap Tamara padaku.

Aku mengangguk. "Ya ...."

Bay LeafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang