Ela Brooklyn

6 5 2
                                    


Sia masih berusaha menahan Era. Mengetahui tentang adanya sosok yang dikenal masih ada di tempat itu membuat Sia bingung untuk maju atau mundur.

Sia takut jika dia maju tapi ternyata mereka bukanlah mereka, bisa saja bukan mereka akan menggagalkan rencana keluar Sia dan Era. Lagipula mereka sudah jelas telah mati waktu itu, jadi yang di sana, entahlah siapa tapi kepala Sia sudah menyalakan alarm bahaya.

Namun tidak dengan Era, Sia tidak tahu apa yang membuat cowok satu ini tak bisa ditahan, dia mendorong pintunya hingga terbuka.

"Eer?"

"Ela."’

Sia menggeleng, bukan, jangan. Ah intinya ini tidak seharusnya terjadi sekarang, bahkan seharusnya ini tidak pernah terjadi.

Sia mencoba menarik Era pergi dari tempat ini, namun cowok itu terpaku di sana dengan cewek yang dipanggil Era sebagai Ela itu kini mendekat.

"Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu masih hidup dan malah bersembunyi di sini?" Luluh dan lembut nadanya, tidak seperti Era yang biasanya dingin dan datar. Cowok itu seolah terhipnotis di sana membuat Sia cemas.

"Era--" Sia tertahan, ia melirik cewek yang dipanggil Ela itu.

Ela Brooklyn, Era sempat menceritakan siapa orang itu sebelumnya. Saudari Era, dia sudah mati karena ditumbal kan ketika pertama kali dua bersaudara itu terpilih terikat di sini.

Sejenak Sia terpana, namun secepatnya ia sadar, Ela bukanlah Ela. Dia berbahaya.

"Era cepat!" seru Sia dengan kali ini menarik Era untuk lari keluar, kali ini menarik dengan lebih keras sehingga Era kali ini ikut ketarik dan mengikuti Sia.

Di depan tangga naik, Era dan Sia bisa mengetahui sebab cahaya bulan terbias melewati celah kecil. Mereka terhenti, lebih tepatnya ketika Sia menunggu Era naik cowok itu menggeleng.

"Kurasa kita harus kembali masuk ke dalam," ucapnya.

"Kau mau mati?" tanya heran Sia. Bagaimana bisa Era yang sudah membunuh mereka malah bersikap seperti ini? Itu yang Sia pikir. Karena, kalau Dia sudah membunuh mereka, Sia tak akan punya muka untuk menemui mereka lagi.

"Mereka tidak akan membunuh kita, kan? Karena mereka sudah mati, aku sudah membunuh mereka," ucap Era.

Tamara, Rion, Lian dan Katja, serta Ela yang ada di sana sudah mati, jadi tak ada alasannya Era dan Sia menemui mereka, itu yang Sia pikir. Tapi sepertinya Era memiliki pemikiran yang berbeda.

"Tadi Ela memanggil namaku, bagaimana jika ternyata Ela masih hidup?"

"Sudahlah Era, ayo cepat kita naik ke atas."

"Tidak, kita harus memastikannya," ucap Era. Ia kembali melangkah ke tempat tadi membuat Sia hanya bisa mengikuti dari belakang, memantau.

"Baiklah, tapi aku akan menjaga jarak kalian," ucap Sia sembari menyusul.

______

"Eer," ucap Ela menyambut seolah Ela tahu Era pasti akan kembali.

"Siapa kau?" tanya Sia. Tatapannya tajam berusaha menguak semuanya tentang apa yang Ela sembunyikan. Sia juga menahan agar Era tidak terlalu dekat dari sana meskipun saat ini mereka ada di bagian luar ruangannya.

"Namaku Ela dan kamu pasti Acasia," ucapnya.

Entah siapapun itu Ela Brooklyn yang ada di hadapan Sia ini, Sia yakin dia bukanlah saudari Era. Tanpa memberikan raut wajah terkejut pada Ela, Sia tersenyum remeh. Sementara Era fokus pada teman-temannya yang beberapa waktu lalu ia bunuh, mereka seperti baik-baik saja, seperti tidur namun tanpa bergerak.

"Kenapa kau di sini dengan Tamara dan yang lainnya?" tanya Sia lagi.

"Itu, tentu saja untuk membuat kalian terhambat, aku tidak akan membiarkan kalian keluar dari tempat ini, kalian harus menjadi tumbal ku!"

"Tidak akan!"

Cara untuk membunuh sosok itu masih belum Acasia ketahui caranya, termasuk melumpuhkannya sementara. Alhasil, ia segera menarik Era, kali ini benar-benar kabur dari tempat itu.

Era terpaksa mengikuti walau dirinya masih  belum bisa mempercayai dirinya bisa kembali melihat langsung sosok Ela.

Keluar, menutup dan terpojok. Sialnya ternyata cahaya yang mereka lihat dari celah itu bukan cahaya dari rembulan tapi adalah kumpulan penduduk desa yang kini menunggu mereka keluar dari sana dengan obor dan mengelilingi sehingga Era dan Sia tidak punya cara untuk kabur.

"Biarkan kami lewat!" seru Sia memerintah. Sayangnya seruan Sia sama sekali tak dianggap, mereka tidak membiarkan keduanya untuk kabur.

Ah, apa kali ini mereka akan ditangkap lagi seperti sebelumnya? Padahal tinggal sedikit lagi, dan Sia merutuki diri karena dialah sebab kejadian ini bisa terjadi.

Andai saja Sia tidak mengajak Era ke tempat ini untuk mengetahui misteri lain yang disembunyikan makhluk itu.

"Lawan."

"Huh?" Sia tidak salah dengar bukan, tadi Era berujar untuk melawan mereka yang ada di sini?

"Bukannya kau bilang jika mereka hanya raga tanpa jiwa dan kalau sampai bertemu mereka lagi kau ingin melawannya? Jadi, aku kita lawan," ucap Era.

Sia mengangguk. Ya, padahal baru tadi siang ia mengatakannya tapi sudah lupa saja. Lantas Sia memperhatikan sekelilingnya, mencari titik terlemah yang akan menjadi celahnya untuk keluar dan sebelum Sia bergerak, Era beraksi lebih dulu, ia memberikan satu hantaman telak hingga celahnya terbuka dan sebuah obor jatuh karenanya hingga apinya merambat di rumput yang sudah kuning.

Dengan begitu segera Sia kembali melebarkan celah dengan menyerang titik vital manusia dan segera berlari. Bersama Era, Sia berlari di luasnya ladang milik penduduk desa, dengan itu juga penduduk mengejar. Api yang menyala di tanah merambat mulai membakar ladangnya.

Ini musim gugur namun panas merayapi. Dengan keadaan yang demikian bahkan adrenalin berpacu begitu hebatnya. Sia fokus berlari ke depan tidak melirik sedikitpun ke belakang sebab tidak ingin hal itu memperlambat langkah kakinya. Sedangkan Era yang bisa lebih cepat jadinya menuntun, tanpa sadar keduanya berpegangan tangan antisipasi guna tidak terpisah.

Rumput dan berlari di atasnya bukanlah paduan yang pantas. Sehingga setelah beberapa kali hampir tersandung, akhirnya mereka malah jatuh bersama di antara rumput yang panjang. Dengan posisi yang absurd dan dengan waktu yang tepat.

Era menahan Sia agar tidak bangun dari posisi jatuhnya, tangan cowok itu melingkar di atas tubuh Sia membuat posisinya nampak absurd, seperti tengah memeluk. Andai ini cerita romansa, mungkin jantung yang membuncah bukanlah sebab adrenalin sebab akan tertangkap tapi sebab dekatnya jarak keduanya.

"Diam, mereka tidak tahu lokasi kita sekarang," bisik Era. Sia mengangguk, jatuh di waktu yang tepat ketika tidak ada yang menyadari lokasi tepatnya.

Sia mengikuti Era untuk merunduk dan bergerak pelan diam-diam. Ia tidak berani mengintip naik, jadinya hanya mengikuti langkah Era dan jarak mereka yang begitu dekat guna meminimalisir ketahuan.

Seolah alam ikut menolong mereka, angin berhembus pelan menggerakkan rumput-rumput itu. Penduduk yang bingung hanya bisa melangkah tak tentu arah mencari keberadaan Era dan Sia tanpa mereka ketahui keduanya sudah menjauh dari ladang, sudah masuk halaman rumah penduduk dan segera kembali menuju menara mereka.

....

Note: omomomomo kenapa malah ada romancenya awww ~(つˆДˆ)つ。☆
.ggggggggg

Bay LeafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang