Pagi

4 3 1
                                    

Dini hari adalah waktu yang akan terasa lama bahkan akan terasa menyeramkan jika kamu sensitif terhadap atmosfer.

Untungnya Sia sangat tidak peka terhadap atmosfer sehingga hawa dingin atau udara janggal tidak akan terlalu mempengaruhinya. Seperti saat ini, sedini hari ini ia menyeberang menuju taman dan menaiki menara. Era yang melihatnya---tak sengaja melihat sebab terbangun---bergidik ngeri, melihat seorang Acasia Burnett berjalan di sekeliling makhluk-makhluk tak kasat mata.

Sia menghembuskan napas panjang, menghirup udara segar pagi dini hari. Jujur, Sia merasa tak tenang hal itulah yang mendasari cewek itu berada di sana. Ia berusaha mencari ketenangan dan hanya di menara itu Sia merasa tenang.

Buku Hulduflook kembali Sia baca, buku yang tak setebal buku yang ada di ruang bawah tanah itu sebenarnya mengandung hal penting, seperti sebenarnya ada tanda-tanda yang ditinggalkan oleh orang itu sebelum dibunuh yang lainnya, tapi sayangnya ia tak menemukannya, Sia jadi memikirkan hal itu.

Kemudian, Sia juga terpikirkan tentang Era yang mengetahui cara keluar dari tempat ini. Setelah apa yang dilakukan Era pada Tamara, Lian dan Rion, uh, sungguh apa sungguhan Era akan membiarkannya ikut keluar tanpa balasan. Ah, kalau diingat-ingat cowok itu tidak pernah bilang tentang balasan.

Sia mendesah penat, tatapannya ia sebar ke seluruh desa Murrain, melihat visualisasi gelapnya desa yang seperti desa mati.

"Apa sungguh aku bisa keluar dari tempat ini secepat ini?" ucap Sia mengutarakan pikirannya. Pasalnya, agak mustahil, agaknya terlewat mudah, iya, ini terlalu mudah meskipun Sia sangat menginginkannya.

"Perjuangan mu tak terasa berat sebab kamu datang bertepatan dengan aku yang sudah mematangkannya, tapi ritualnya pasti akan berat," ucap Era menginterupsi.

Kedatangan Era tak pernah Sia kira sebelumnya, alhasil ia kaget namun cewek itu berusaha setenang mungkin dengan menjauhkan atensi sejauh mungkin.

"Kebetulan sekali kau ada di sini," ucap Sia. Kemudian dapat Sia dengar respon Era yang berupa gumaman singkat. "Ada yang ingin aku tanyakan," lanjut Sia.

Keduanya refleks saling melempar pandang. "Kenapa malah aku?" tanya Sia.

"Kenapa kamu?" tanya balik Era menjawab. Ia seolah berfikir dahulu, membuat Sia menjadi makin penasaran.

"Padahal kau terlihat sangat dekat dengan Tamara," ucap Sia. Apalagi Sia sempat curiga jika mereka bekerja sama, tapi nyatanya Tamara malah dibunuh cowok satu ini.

"Semua yang ada padamu mengingatkanku pada saudariku, entahlah, terdengar sepele memang tapi itulah kenyataannya," ucap Era menjawab.

Sia mengangguk, saudara, entah apa yang terjadi dimasa lalu Era sampai seolah begitu terikat.

"Mau berbagi cerita tentang saudarimu itu?" Sia jadi penasaran. Apalagi alasan itulah yang membuat Sia masih ada di tempat ini, masih hidup dan masih bisa berharap untuk keluar.

Era diam sebentar sebelum mengangguk kecil, sangat kecil sampai-sampai hampir tak nampak. Namun sebab Sia begitu antusias maka Sia dapat melihatnya dengan jelas bahwa Era mengangguk.

"Namanya Ela, dia saudara kembar ku, satu-satunya keluarga yang aku miliki. Sama seperti yang kau alami, suatu hari kami terjebak di sini ...."

Cerita yang panjang, cerita yang memakan banyak waktu, cerita yang menghabiskan sepanjang pagi. Era diam usai semuanya ia jelaskan, sampai di mana Era membunuh yang lainnya, menjelaskan caranya selama ini tentang bagaimana ia bertahan dan membunuh tanpa ketahuan. Bahkan, Era mengakui ia termasuk yang membunuh Katja waktu itu.

Mengingat Sia benar-benar merasa kehilangan waktu itu, mendengar fakta Katja terbunuh karena Era maka hati cewek itu nyeri, namun ia tak punya pilihan lain, hanya ini satu-satunya cara agas Sia keluar. Dia tak bisa menyangkal jika satu-satunya cara untuk keluar adalah membunuh, dia tak punya cara lain apalagi dengan tanda nyawanya yang seperti sekarang. Untuk saat ini hanya Era yang merupakan harapan Sia.

Masih pagi, tapi kali ini menjelang siang. Mentari agak tertutup oleh awan-awan dan hawa udaranya begitu dingin.

Sia mengingat kembali ucapan Era tentang cerita yang cowok itu alami. Sia terdiam, dengan melilitkan syal di lehernya serta kemudian mengambil sebuah kue jahe di atas nampan.

Sia masih bertanya-tanya bagaimana bisa makanan selalu tersedia di atas meja atau di dalam kulkas, Sia cukup bersyukur untuk hal ini mengingat ia jadi ada sedikit selera untuk makan. Walau alasan ia makan adalah sebab masih ingin hidup agar bisa keluar dari tempat itu.

Kalau dipikir-pikir, bagaimana bisa yang lain bertahan begitu lama, apalagi Era dan Tamara. Pantas saja emosional mereka begitu diuji namun mereka masih baik-baik saja hingga terakhir kali dilihatnya. Aish, Sia meringis.

"Aku harap aku bisa keluar secepatnya, tanpa hambatan, yah walau ini sangat mustahil, tapi aku sangat berharap, tidak masalah jika aku harus mengorbankan banyak hal aku tidak masalah, asal aku tak mati mengenaskan dan asal aku bisa bertemu mommy dan daddy," ucap Sia.

Kue jahe membuat tubuhnya hangat, namun pikirannya dingin. Selalu dingin selama dia berada di tempat ini. Demi apapun, Dia hanya ingin keluar dan kembali bertemu kedua orang tuanya.

"Terlalu berharap menunggu tak baik juga, tahu," ucap Era yang mendatangi, ia mencomot sekeping kue jahe di hadapan Sia kemudian menuju tempat peletakan gelas.

"Mau ku buatkan teh hangat?" Era bertanya.

"Cokelat hangat boleh juga tapi aku bisa membuatnya sendiri, tidak perlu repot-repot," jawab Sia. Era menjawab dengan anggukan, sekali lagi anggukan itu terlewat santai sampai-sampai tidak begitu Sia sadari, persis seperti anggukan kecil yang Era lakukan pagi dini hari tadi. Hanya ada suara air dan adukan sendok pada air di dalam gelas, kemudian diikuti oleh cowok itu yang mengambil duduk di kursi yang tak jauh dari Sia.

"Kau percaya keajaiban?" tanya Sia. Era yang tengah minum seketika menyemburkan airnya sebab pertanyaan Sia benar-benar di luar pemikiran Era.

Sedangkan Sia, dia otomatis bertanya begitu sebab teringat pembicaraannya dengan Tamara sebelum cewek itu meninggal. Ia ingin tahu bagaimana Era menanggapi hal itu.

"Entahlah ... sejujurnya bisa bertahan hingga saat ini saja adalah suatu keajaiban. Tapi menurutku keajaiban itu dibuat, bukan ditunggu kedatangannya." Era diam sebentar sekedar melanjutkan minumnya, ia tidak ingin teh hangatnya dingin jika terlalu lama didiamkan.

"Bagaimana cara kita menindaki sebuah kejadian lah yang membuat keajaiban itu muncul," finalnya.

Sia tertegun. Ia kagum. Sejenak ia memikirkan bagaimana tindakannya selama di tempat ini. Ia berusaha di awal waktu itu begitu menggebu namun akhir-akhir ini lebih tepatnya beberapa hari ini api dalam dirinya agak redup seolah ia sungguh pasrah menunggu Era membawanya keluar.

Ah, Sia harus kembali berusaha. Setidaknya sampai, ia tidak begitu tergantung pada Era.

Bay LeafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang