Tertangkap

5 4 1
                                    


"Semuanya tergantung pada apa yang kita pilih. Jadi jika sejak awal tujuanku adalah keluar dari tempat ini, maka sampai akhir pun aku harus keluar dari sini!" ucap Sia yakin.

"Selama aku yakin bisa keluar dari sini, maka aku pasti bisa. Aku percaya itu," lanjut Sia. Lantas Sia dan Era melangkah santai dengan tujuannya adalah menara di taman seberang rumah Bay Leaf.

Andai semudah itu. Andai hanya dengan semangat dan kepercayaan mereka bisa terus bertahan. Andai semuanya berjalan semulus itu.

Sayangnya, baru saja langkah yang ketiga jalan yang mereka tempuh, keduanya merasakan sakit yang luar biasa di leher hingga berakhir tak sadarkan diri.

Tak sadarkan diri, sama seperti usai melanggar sebuah larangan. Tapi berbeda, mereka tidak mendengar suara apapun tentang apa yang mereka lakukan, apakah ada sesuatu yang mereka langgar? Itu yang sempat mereka pikirkan sebelum seluruh kesadaran menghilang sepenuhnya.

______

Saat tangan digerakkan, rasanya kaku, tak bisa. Begitupula dengan anggota tubuh lain. Hanya mata yang secara perlahan dibuka, membuat cahaya minim dari lilin yang menyala di empat sudut ruangan yang kosong. Hanya ada Sia, Era yang saling membelakangi dan ruang udara.

"Sia, kau sudah sadar?" Suara Era menginterupsi, membuat si empu nama tersadar betul pada apa yang terjadi.

"Ya, apa yang terjadi?" ujar Sia bertanya. Meneliti sekeliling, ia sadar jika tempat itu adalah tempat asing.

Rasa sakit di leher keduanya masih terasa, namun rasa takut dan penasaran jauh lebih besar. Apalagi ketika menyadari mereka berdua terikat dengan tali-tali. Seperti penculikan, Sia tak habis pikir. Mau sejauh apa makhluk itu akan menahan mereka, mau sampai seperti apa. Sia menggeleng, menahan diri untuk tidak kelewatan berfikir yang terlalu jauh dan yang tidak-tidak, itu tidak akan membebaskannya dari sana.

"Warga desa setempat atau makhluk itu yang melakukannya?" Sia menebak-nebak, tangannya tak henti-henti bergerak berusaha melepaskan ikatan, tak jauh berbeda Era pun juga mencoba melepaskan ikatan tali pada kedua tangan terlebih dahulu.

"Era, bagaimana kedekatan mu dengan yang lainnya?" tanya Sia tiba-tiba. Tangannya mulai pegal, jadi kali ini ia lebih santai sembari menunggu Era menjawab tanda tanyanya.

Era menghendik kan bahunya. "Entahlah," jawabnya. Mereka, mungkin yang Sia maksud adalah Tamara, Katja, Rion dan Lian, atau bahkan yang sebelumnya. Jujur, Era pun tidak tahu. Seperti yang sering ia sebutkan tentang apa yang ia tanamkan dalam diri, tidak ada yang bisa dipercaya, bahkan diri sendiri.

Semua itu terlalu semu, semuanya bersifat tidak tetap, tidak bisa untuk dipercayai.

"Aku selalu mantapkan diriku untuk tidak mempercayai siapapun," ucap Era lagi.

Di sana, Sia mengangguk mengerti. Yang pasti ia tahu kasarnya, jika Era membentuk dinding tebal untuk yang lain. Mungkin juga pada dirinya, pada Acasia Burnett.

"Apa manusia itu bisa dipercaya?"

"Tidak, setahuku tidak ada yang bisa dipercaya di dunia ini," jawab Era.

Kemudian hening. Mereka hanya fokus pada menyelamatkan diri masing-masing hingga Era mendesahkan napas panjang.

"Kurasa kita gak bisa melepas diri jika tidak bekerja sama," ucapnya.

"Maksudmu?" Sia bingung.

"Begini." Era memundurkan diri hingga tepat berada di belakang Sia, hingga tanggalnya bisa menyentuh pergelangan cewek itu yang terikat dan mulai mencoba melepaskannya. Tali yang mengikat tangan Sia terlepas, lantas ia segera melepaskan tali yang mengikat kakinya. Usainya baru kedua pergelangan tangan Era.

"Walau tidak bisa mempercayai manusia manapun di dunia ini, tapi kita masih memerlukannya, seperti sekarang," ucap Sia.

Mau tak mau Era mengangguk menyetujui. Tak bisa munafik untuk bilang ia bisa sendiri, karena nyatanya ia tidak bisa sendiri, utamanya untuk keluar kali ini.

Melupakan tentang apapun yang tadi diperbincangkan di luar jalan keluar sekarang mereka kembali meneliti ruangan yang mengurung mereka, Era dan Sia masih dilanda kebingungan.

Sia mendekati sebuah pintu bercat gelap, satu-satunya jalan untuk keluar yang mereka lihat. Sia meletakkan telinganya di sana, berusaha mendengar apakah ada kehidupan lain di luar sana yang menghalangi mereka.

"Tidak ada apa-apa, aku juga tidak mendengar apapun di luar sana." Sia memutar kenop pintu, yang ternyata tidak dikunci. Terkejut? Jelas, Sia maupun Era, mereka pikir pintu itu akan dikunci sehingga harapan keluar mereka tidak ada.

Meskipun begitu, waspada harus tetap menyala.
Keduanya bungkam, namun saling pandang, bicara melewati lirikan mata. Penuh dengan sikap waspada, bisa saja keadaannya jauh lebih berbahaya. Apalagi mereka sampai ditangkap seperti itu.

Perlahan Sia dan Era melangkahkan kaki mereka keluar dari ruangan itu dan berada di ruangan lain, sebuah ruangan seperti ruang keluarga atau memang itu adalah ruang keluarga rumah salah satu warga di sana.

Tidak ada siapapun di sana, namun Era dan Sia tahu harus tetap waspada. Sia melirik ke luar di mana teras dan halaman depan berada lewat celah pintu, ada beberapa orang, berlalu lalang nampaknya menjaga tempat itu.

Di situ Sia menggeleng pada Era, mengatakan lewat gerak jika mereka tidak bisa keluar lewat pintu depan. Era mengangguk paham, lantas mencari jalan keluar dari sana lagi.

Langkah mereka lantas menuju ruangan lain lebih dalam. Bentuk rumah di desa Murrain sejauh ini cukup similar hingga mereka tak perlu bersusah payah berkeliling. Pintu belakang di temukan dengan cepat dan selanjutnya lewat celah kunci Sia melihat keluar.

Tidak ada siapapun, tapi entah mengapa firasat cewek itu tidak baik.

"Tidak ada siapapun, tapi firasat ku tidak baik," bisik Sia.

Mendengarnya, membuat Era menatap keluar lewat lubang kunci. Seperti yang Sia ucapkan, tidak ada siapapun. Tapi keluar lewat pintu belakang itu klise, ia tak yakin akan aman.

"Takutnya firasat mu menentukan sesuatu, jadi lebih baik kita menghindarinya," ucap Era.

Selanjutnya mereka mencari jalan lain dan menemukan sebuah jendela, sejujurnya Sia merasa firasatnya masih sama saja. Namun kali ini ia abai, mungkin hanya sebab keadaan yang tak biasanya dan sebab merasa terancam.

Tap. Tanah dengan rumput yang menguning mereka pijaki, dengan begitu mereka berhasil keluar dari bangunan itu. Menurut Sia, bangunan itu terasa lumayan familiar sebab beberapa kali ia sudah pernah ia lewati.

"Rumah ini tak jauh dari rumah Bay Leaf, batunya, di mana? Ada di tempatmu kan Era?" tanya Sia.

Era mengangguk. Sedikit lega batunya tak hilang, Sia menghembuskan napas bersyukur, entah di mana cowok itu menyembunyikannya Sia hanya bisa percaya.

"Ayo." Era mendahului.

Masih sembunyi-sembunyi, Era dan Sia berusaha semaksimal mungkin agar keberadaan mereka tidak disadari oleh siapapun.

Ritualnya, mereka harus tetap bertahan hingga waktu ritualnya tiba.

Bay LeafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang