Acasia: Hide and Seek

5 5 3
                                    


Sepertinya, buku yang berisi cara untuk keluar dari tempat ini adalah buku yang pernah aku baca di ruang bawah tanah.

Tapi siapa yang memasukkan buku berjudul Hulduflook ini ke dalam tasku? Masa iya yang memasukkannya adalah makhluk itu---iblis itu?

Aku menggeleng, tidak, itu mustahil. Lelah dengan bacaan ku, aku mengalihkan atensi dari buku ke halaman rumah Bay Leaf, dan pada dua orang yang saling bertukar kata. Tunggu, ada yang tidak beres.

Aku segera menuruni tangga dengan agak tergesa, aku tidak mau ada yang mati lagi, setidaknya aku tidak mau terjebak di sini bersama seseorang yang berniat membunuhku.

Ketika aku sudah menuruni menara, mereka berdua sudah tidak ada lagi di halaman. Pintu utama rumah penginapan Bay Leaf terbuka, sepertinya Tamara dan Era masuk ke sana. Ah, yang benar saja! Dia pasti terbunuh kalau begitu. Tidak mungkin bisa keluar kalau begitu, dia pasti akan tamat.

Sial, aku jadi ragu untuk menyusul.

Tapi, ada sesuatu dalam diriku yang tak bisa membiarkan seseorang terbunuh lagi.

Sehingga, di sinilah aku yang terlambat karena ragu-ragu. Sial, Tamara tidak terselamatkan.

Napas ku tertahan, aku tidak yakin Tamara selamat dengan darah yang begitu banyak menggenang di bawahnya. Selain itu, aku syok berat, bahkan Era yang berbalik dengan sebuah pisau panjang di tangannya yang masih basah karena darah, sempat tak aku sadari.

Cih. Acasia, kau harus kabur!

Ketika aku menyadarinya aku segera berlari sekencang mungkin. Aku tidak ingin mati sekarang, tentang Era yang menyusul atau tidak aku tidak sempat melihat ke belakang. Ah, aku tidak berani. Aku takut jika aku berhenti atau sekedar memperlambat tempo lari ku Era dapat menyusul ku.

Era pelakunya, dia yang sudah membunuh, Lian, Rion dan Tamara beberapa waktu lalu. Aku tidak mengerti mengapa dia melakukannya, apa dia bermaksud terus bertahan hidup di tempat ini dengan terus menerus menumbalkan teman-temannya yang lain. Ah, persetan! Bukan itu yang harusnya aku pikirkan di saat-saat seperti ini.

Rasanya sunyi setelah cukup lama aku berlari sejauh-jauhnya dari rumah Bay Leaf, di situ aku melirik ke belakang dan tak menemukan siapa pun. Memperlambat langkah, aku mengatur napas. Buku Hulduflook ternyata masih aku bawa, aku memegangnya erat-erat sebagai bentuk pelampiasan ku pada rasa takut.

Aku masih bergerak, namun dengan tempo sedang. Aku terus menerus waspada pada sekitar meski tidak ada siapapun sejauh mata memandang. Agak mengherankan, kemana semua orang? Kemana para warga buatan itu?

Mau sejauh apapun aku lari, nyatanya desa ini tidak begitu besar apalagi dengan asap hitam yang mengurungnya. Aku bisa melihat ke menara, bangunan tertinggi di desa ini---tempat yang bisa melihat sejauh apapun seluruh desa dengan mudah, ada seseorang di sana dan aku tahu siapa. Dia, Era.

Sial, kenapa aku harus terjebak dengan pembunuh itu. Aku meringis, berusaha tak nampak lewat tanaman-tanaman semak---menunduk agar terlihat cowok itu.

Deg, deg, deg.

Jelas sekali terdengar degupnya. Aku jadi sulit untuk berfikir jernih, ah, aku harus apa? Tak mungkin aku terus-menerus kabur, aku bisa tertangkap selama berada di wilayah desa Murrain ini.

Kabur. Yah, itu satu-satunya cara keluar dan kabur yang paling aman. Tapi bagaimana caranya, buku yang ada di dekapanku ini tak memuat informasi apapun tentang cara keluar dari tempat ini. Satu-satunya buku yang memuat informasi itu hanya buku yang ada di ruang bawah tanah rumah penginapan Bay Leaf. Tapi bagaimana caranya aku ke sana?

Aku melirik ke menara itu. Era masih di sana. Kurasa, jika aku masuk lewat belakang rumah Bay Leaf aku bisa tidak terlihat darinya. Andai semudah itu, andai saja aku tidak sejauh ini berlari tadi.

Sepertinya apapun yang kulakukan selalu salah. Tapi aku tidak boleh menyerah, aku harus bisa membuktikan pada mereka semua kalau aku bisa keluar dari tempat ini dengan selamat. Aku tidak boleh mati karena menjadi tumbal makhluk itu, dan aku tidak mau mati terbunuh.

"Ayo, pasti bisa," lirihku bergumam.

Harus bisa, seorang Acasia tidak boleh kalah dengan iblis dan pembunuh. Hm, agar naif tapi aku tidak peduli.

Dengan bergerak santai, sedikit demi sedikit melangkah aku di balik semak dan tembok yang ada di sini. Sejauh ini, aku lihat Era di atas menara sana tidak ada melihat ke arahku, artinya dia tidak tahu aku ada di mana.

Dengan keajaiban atas usaha dan keyakinan ku, aku berhasil sampai belakang rumah Bay Leaf. Aku masuk lewat jendela dapurnya, kemudian bergerak pelan melewati ruang utama.

"Tamara, maafkan aku," batinku ketika melewatinya. Sayang sekali, padahal Tamara sempat memikirkan untuk menerima ajakan ku.

Aku ingin bersedih, tapi aku tidak punya waktu banyak. Bisa saja Era menyadari keberadaan ku sekarang.

Setelah mengambil kunci ruang bawah tanah, aku segera menuju ke sana. Usai masuk aku juga langsung menguncinya, sebuah antisipasi kalau-kalau Era menyadari aku memasuki tempat ini, karena entah kenapa aku yakin dialah yang menyalakan lilin di ruangan ini sebelumnya. Aku yakin sekali.

Aku menyalakan lampu, kemudian berjalan pelan menuju buku itu. Sudah kuduga lilin di meja dekat buku itu tidak menyala, artinya, fix, lilin itu di nyalakan orang yang hidup.

Ada korek api dan lilin baru di sana, lantas aku menyalakan lilinnya memberikan penerangan yang lebih baik untuk buku yang ada di sana.

Sebentar aku menyentuh leherku, ini akan menjadi terakhir kalinya aku membuka buku ini mengingat tanda ku hanya ada dua.

Iya dua, syukurlah buku Hulduflook tidak memberi pengaruh apa-apa pada jumlah nyawaku, sehingga aku masih punya kesempatan membaca buku ini lagi.

Baru saja tanganku menyentuh sampul bukunya, tangan lain menahan ku, genggamannya kuat, tangan laki-laki dan aku tahu siapa pemilik tangan itu.

Bagaimana bisa aku tidak menyadari kedatangan. Aku menatapnya tajam, sedangkan ia masih setia dari awal bertemu sampai saat ini selalu menatap dengan mata dingin.

"Jangan berniat kabur," titahnya.

Aku hanya diam, membatu, tak bergerak. Dia berada di belakangku namun rasanya sangat dingin, hawa di belakangku dingin. Seolah-olah ada yang menusukku dengan jarum-jarum kecil tak kasat mata.

Hah, di saat seperti ini aku tidak tahu harus apa. Aku benar-benar blank,  tubuhku tak bisa bergerak dan pikiranku kehilangan kemampuannya untuk memikirkan cara untuk menyelamatkan diri dari cowok ini, Era.

Tolong aku. Aku tidak ingin mati di saat-saat seperti ini. Aku tidak ingin mati sebelum keinginan ku tercapai.

Bay LeafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang