Acasia: Mimpi Buruk

15 9 4
                                    

Bahkan hingga malam pun hujan masih tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.
Apa hujan seperti ini normal? Takutnya, besok bangun-bangun sudah banjir atau justru tenggelam.

Melirik luar jendela, gelap dan embun yang menempel di luar kaca tidak memberiku kelegaan. Kapan ia akan berhenti?

Lama aku terdiam dalam salah satu kamar penginapan ini. Hanya merenung, menunggu hujan berhenti tanpa kejelasan hingga suara ketukan di pintu membuyarkan nya.

Kemudian aku membuka pintu, melihat siapa yang datang dan---"Ada apa?" tanyaku. Katja ada di sana, ia menyimpulkan senyum di bibirnya menyapa.

"Aku hanya ingin berkunjung, kita teman, kan?" ucapannya.

Ini pertama kalinya kami bertemu, sesi berkenalan sebelumnya begitu singkat dan tak ada yang spesial. Sejujurnya---untuk diriku sendiri---tidak semudah itu mencap seseorang sebagai teman, tapi aku hanya bisa mengangguk dan mempersilahkan dia masuk. Teman berbincang malam hari tidak buruk juga, bukan?

"Kau mau ke mana?" Katja bertanya. Di sini aku tahu ia sedang menatap tas punggung yang aku bawa, yang bertengger di salah satu sudut dinding.

Aku ikut menatap lamat tas itu. "Mengunjungi nenekku di desa," jawabku.

Kat mengangguk, dengan santai mendudukkan diri bersamaku di pinggiran ranjang. Kamar ini lumayan, semua hal yang diperlukan seperti pada kamar umumnya lengkap tersedia.

Mungkin lebih dari satu jam kami saling berbincang. Kurasa aku dan Kat cukup cocok, istilahnya se-frekuensi. Hingga ia pamit keluar, ingin istirahat juga, menyisakan aku yang berniat memohon dibuai si peri mimpi.

Masih dingin. Hingga hujan tersisa gerimis pun, atmosfer ini intensitas dinginnya masih sama.

Namun dingin tidak membuat tenggorokan kering absen dari rasa haus. Oleh karena itu aku ada di sini sekarang, ruang dapur tempat ini, rumah Bay Leaf.

Segelas penuh air bening aku tuntaskan, aku menghembuskan napas lega, lega sebab dahaga sudah dinetralisir. Setelahnya aku terdiam sejenak, menikmati suara gerimis di luar sana yang samar-samar.

Tik

Dan mendengarkan suara air dari wastafel yang menitik sedikit demi sedikit. Kata Tamara, wastafelnya memang rusak dan belum diperbaiki sudah beberapa minggu ini.

Kantukku kembali datang, dengan begitu aku bergegas menuju ruang kamarku segera. Rumah penginapan Bay Leaf ini memiliki dua lantai, lantai utama---lantai yang kini aku pijak terdiri dari beberapa ruang, ruang utama, dapur, dan kamar mandi serta lantai dua terdiri dari ruangan-ruangan kamar.

Aku terdiam ketika menyadari ada cahaya redup seperti kunang-kunang mendatangiku dan m

Tunggu dulu.

Aku seperti mengenalnya. Rambut sebahu yang pirang bergelombang, manik mata yang similar dengan warna biru batu safir.

Dia mirip ... AKU?

"Acasia Burnett." Aku otomatis bergetar mulai ketakutan, dia tahu namaku.

Tunggu, jika dia tahu namaku. Maka siapa aku? Pemikiran itu membuatku sontak menatap diriku sendiri. Aku masih diriku.

"Siapa kau?" Aku bisa mendengar jelas nada dalam kalimat tanya yang ku ucap agak bergetar. Hal ini disinyalir sebab rasa takut yang naik kepermukaan.

Aku menahannya, menahan takut, aku menutupinya. Sebenarnya siapa dia, kenapa dia mirip denganku?

Dia menyeringai, mulai mendekat sedangkan aku terpaku. Tubuhku benar-benar tidak bisa digerakkan, bahkan rasanya mulai melayang mati rasa. Rasanya, atmosfer tidak hanya dingin tapi juga terasa tipis. Rasanya, sangat berat untuk bernapas. Rasanya, seolah udara sengaja menjauh. Ah, aku lupa cara bernapas yang benar.

Hingga kini ia tepat di hadapanku. Satu hal yang sulit untuk aku terima ialah rupanya benar-benar similar denganku. Aku ingin menjauhkan pandanganku sejauh-jauhnya dari dia tapi aku benar-benar tidak bisa bergerak, bahkan untuk mengalihkan pandangan.

"Tertangkap!"

Sial! Tak bisa menahan umpatan aku dalam batin. Sial, kenapa aku tidak bisa bergerak di saat seperti ini. Ia mencengkram bahuku, kukunya tajam dapat aku rasakan dengan jelas meski bajuku kainnya cukup tebal dan tangannya itu sedikit demi sedikit naik.

Entah sejak kapan udara dingin menghilang, yang ada hanya rasa takut. Sial, raut wajahnya membuatku ngeri. Benar-benar mengerikan untuk melihat wajah menyeramkan milik sendiri yang menyeringai, melotot tajam.

"Khh ... l-lepas ...!"

Sialan, dia mencekik ku! Cengkeramannya pada leherku begitu kuat hingga aku tidak bisa melawan. Udara mulai menipis, kali ini benar-benar tidak terbantahkan lagi kalau tidak ada udara yang masuk ke dalam paru-paruku. Sakit. Tapi aku tidak mau mati begini.

"Uhuk! Hah--!"

Masih dengan degup jantung yang berpacu dengan gila serta tangan yang gemetar. Aku terbangun di atas kasur penginapan namun kali ini dengan kesadaran jika apa yang terjadi sebelumnya, sepertinya hanya sebuah mimpi buruk.

Hujan sudah berhenti di luar sana. Atmosfer terasa lembab, udara begitu menusuk kulit, menembus hingga ke tulang.

Sejenak kupikir musim dingin datang lebih awal. Hah, cuaca musim gugur ternyata bisa seekstrim ini dan aku tidak menyukainya.

Ditambah mimpi tadi ... terasa begitu nyata, sampai-sampai leherku masih merasakannya. Rasa seperti di cekik. Bukan mimpi yang aku inginkan. Mimpi ini, menyerap tenagaku, aku benar-benar lemas saat ini.

Apa mimpi seperti itu membawa pengaruh pada dunia nyata? Karena aku merasa ada hal lain lagi aneh, tapi tak yakin apa itu.

Masih menetralkan degup jantung yang masih tidak normal. Aku menghirup udara, mendiamkannya sejenak sembari memberi pikiran positif pada otak hingga kemudian menghembuskan nya. Hal ini disinyalir bisa membantu menenangkan diri, baik raga maupun jiwa.

Terlarut dalam menenangkan diri, pagi mendatangi. Di luar sana sedikit demi sedikit mulai terang langitnya. Air yang nangkring di bagian atas daun mulai nampak oleh penglihatan dan jalanan yang masih agak basah juga.

Aku bangun. Kali ini tidak hanya duduk dan bersandar nyaman dengan bantal, tapi bangun, berdiri sepenuhnya untuk menatap diri sendiri yang terpantul di dalam cermin.

Sekilas, bayangan mimpi sosok itu muncul bersamaan dengan aku menatap penampilanku sendiri di cermin. Mimpi buruk ini benar-benar menyakitiku, aku sungguh ketakutan karenanya. Apalagi hanya dengan mengingatnya aku malah bisa kembali merasakan sensasi rasa sakit tangan yang mencekik ku.

Aku menghembuskan napas lelah. "Kenapa harus mimpi buruk," lirihku dengan masih memperhatikan diri sendiri dengan cermin. Ku acak-acak rambut ikal ku dengan letih dan berakhir aku menyadari ada yang janggal di leherku.

Ada tanda lingkaran hitam di sisi leher kiri ku. Jumlahnya ada empat. Apa itu sebenarnya?

Kemudian aku berusaha untuk menghapus, berfikir positif jika itu bukan sesuatu yang penting, mungkin ada yang jahil dan mencoret leherku sewaktu aku tidur? Entahlah, tapi yang pasti tanda itu tidak bisa hilang walau telah aku usap beberapa kali hingga merah, bahkan ketika aku menggunakan tisu basah.

Aku bergegas keluar dan menemukan Rion yang hendak berlalu. Pemuda itu awalnya acuh tak acuh, bahkan tak berniat menyapa atau barang melirikku yang baru saja keluar. Hanya ketika aku memanggil namanya dan mendatanginya yang sudah berlalu beberapa langkah dari pintu kamar yang ku gunakan.

"Rion, ada yang ingin aku tanyakan padamu."

"Apa?" tanyanya singkat. Ia bahkan tidak menatapku saking tidak pedulinya.

Aku menaikkan rambutku, sekedar memperlihatkan tanda yang ada di leherku. "Kau tahu tentang ini?"

Kali ini Rion menatapku walau sama saja tidak ada ramahnya. Ia tersenyum sinis dan sedikit menipiskan jarak.

"Ini baru permulaan, kau akan melihat lebih banyak mimpi buruk lagi, Sia," bisik Rion padaku.

Bay LeafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang