Prolog

1.8K 107 38
                                    

Aku berhasil meninggalkan hutan mengerikan tersebut. Kejadian tadi telah meninggalkan trauma pada diriku. Ingatan mengerikan terus muncul di kepalaku, leher pacarku dikoyak monster. Aku tak yakin dia masih hidup atau tidak? Yang pasti saat ini aku membutuhkan bantuan.

Untungnya ada penduduk desa yang berbaik hati memberikanku tumpangan pulang ke rumah.

Udara malam yang semakin dingin seiring pekatnya malam membuatku berharap aku membawa jaketku. Entah pencuri sialan mana yang telah mencuri kendaraan kami. Di situlah aku meninggalkan jaketku karena panas, sebab kami memasuki hutan di saat hari masih terang.

Pikiranku kacau, aku berusaha menenangkan diriku demi menolong pacarku.

Kemudian motor yang kutumpangi, semakin dekat ke sebuah ruko besar tempat keluargaku tinggal. Sebuah bangunan berlantai tiga dengan toko pakaian di bagian bawah.

Begitu motor terparkir, aku langsung turun dari jok dan berlari masuk menghambur ke dalam toko.

"Berterima kasihnya nanti aja. Saat ini aku perlu bantuan secepatnya!" batinku tergesa-gesa.

"Ayah, tolong Yah, temanku kecelakaan!" ujarku pada Ayah.

Bapak-bapak yang aku ajak bicara mengadahkan kepalanya dari handphone, wajahnya mengernyit kebingungan tak mengerti, "Hah? Apa?" Justru pertanyaan bingung yang terlontar dari mulutnya.

"Itu Yah, mas Fattah diserang orang waktu aku sama dia bikin konten di Hutan Larangan. Tolong aku Yah, aku ga tau dia masih hidup apa enggak?" kataku mencoba menjelaskan permasalahannya.

"Siapa maksudnya?" tanyanya lagi membeo dengan raut muka kebingungan.

Aku yang sedang panik dan cemas merasa gemas dengan reaksinya yang kurang tanggap. Kadang-kadang Ayahku memang suka main-main. Membuatku makin stres dan mengusap kepalaku. Aku menghela napas, mencoba untuk bersabar dan menjelaskan pelan-pelan.

"Gini lho, Yah, pacarku—mas Fattah diserang orang waktu main ke Hutan Larangan. Sekarang aku minta tolong Ayah buat ngebantuin dia sama para penduduk sekitar dan bapaknya Fattah. Ayo dong, plis, Yah, jangan main-main. Nanti kalo anak orang mati gimana?" ucapku gemas. Ingin nangis aku rasanya nggak dianggap serius.

Lalu Ayahku yang duduk di balik etalase berdiri dan menatapku tajam. "Maksud aku kamu anak siapa?! Main panggil-panggil ayah aja! Mau nipu kamu?!" ujarnya menahan amarah. Nadanya penuh emosi, membuatku kaget dan terperangah dengan reaksinya yang tak terduga.

"Ayah, aku ini anak Ayah. Jangan main-main, Yah! Aku hampir aja celaka tadi," ucapku tak percaya.

Brak!

Pria tinggi-besar di hadapanku memukulkan tangannya ke meja etalase dengan keras. Membuat nyaliku ciut dan semakin stres.

"Nggak usah ngaku-ngaku kamu anak saya! Anak saya sekarang cuma satu, nggak usah nipu kamu!"

Ucapannya yang dingin membuatku merasa sakit bagaikan diiris sembilu.
Bukan ini hal yang aku harapkan saat ini.

"Tuhan... jika ini mimpi buruk, tolong segera sadarkan aku dari tidurku," batinku sedih. Tanpa terasa air mata kepedihan tumpah keluar begitu saja dari mataku.

Padahal tadi pagi sebelum ke hutan semuanya baik-baik saja. Ayah bahkan masih bercanda denganku. Mengapa semuanya menjadi kacau begini?

Bersambung

TERSESAT DI HUTAN PARALEL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang