Selamat membaca
•
•
•Lemas sepertinya belum cukup untuk mendefinisikan kondisinya saat ini. Entah sudah berjalan sejauh mana dan saat ini dirinya ada dimana. Sekitarannya begitu asing, tak ada bangunan besar berwarna putih begitu ia sadar tadi. Semua rumah di depannya begitu asing, bangunan-bangunan terbungkus plastik UV berjajar rapi. Ada tong-tong besi, galon-galon yang entah apa isinya, selang air yang menjuntai entah sampai mana.
Jatuh terduduk dengan tangan menjambaki rambut di salah satu sudut rumah plastik adalah satu-satunya hal yang bisa dilakukannya saat ini. Tak peduli lagi dengan bajunya kotor karena tanah yang lembab atau rambutnya yang semakin kusut dengan pipi basah dan mata sembab. Sialnya lagi, ponselnya tertinggal di villa. Seandainya tadi ia menurut saja saat Jisoo ingin menemaninya dan jalan bersama, mungkinkah dirinya takkan berakhir di sini?
Berdiam diri terlalu lama pun agaknya bukan solusi terbaik. Jadi, setelah kesadarannya kembali meski belum sepenuhnya, ia memutuskan untuk bangun. Mengusap wajahnya yang basah dengan lengan kanannya. Jika berkeliling mungkin dirinya dapat menemukan jalan kembali atau sejenisnya. Lebih baik daripada meratap di tanah basah karena bayangan yang tiba-tiba hilang.
Anehnya, dua anak kecil yang ia ikuti itu menghilang begitu saja saat mereka tiba di ladang yang kini dipijakinya. Seolah, mereka dipaksa menghilang, tak ada lagi kilatan bayangan seperti sebelumnya. Dirinya merasa seperti, ingatan yang direnggut secara paksa. Total tak mengingat barang sedikitpun.
"A-akh!" Rintihnya pelan. Kakinya berangsur terasa perih. Benar saja, saat ditengoknya ke bawah, satu sandalnya hilang dan sebuah ranting kecil menggores telapak kakinya.
"Kita harus segera mengirim tong-tong ini ke pelabuhan." Kedua tangannya refleks menangkup bibirnya dan kakinya menekuk guna menyembunyikan tubuh karena suara seorang pria dari dekat tempatnya berdiri.
"Apakah semua sudah selesai distilasinya?" Suara lain menyahut meski terdengar samar.
"Ya, dari panen terakhir kita dapat lima tong." Suara pertama kembali terdengar, disusul suara tong yang saling bersinggungan.
Takut ketahuan, ia memaksakan kakinya untuk bergerak. Mencari tempat sembunyi atau jalan keluar meski kecil kemungkinannya diantara rumah pembibitan dan ladang bunga luas yang kini mulai tampak di depan mata.
"Humphh!!!" Dirinya benci ketika ada tangan lain yang menarik dan membungkam mulutnya. Sebab, beberapa kejadian sebelumnya selalu berawal dari aksi ini.
"Sshhttt!!" Jantungnya berdegup kencang, suara berat itu terdengar begitu dekat. Puncak kepalanya terasa hangat berkat hembusan suara tadi. Kakinya kembali lemas. Meski begitu, tangannya mencengkram kuat lengan berotot yang menahan tubuhnya, "Ini aku, Lisa. Bisa diam sebentar?"
Kakinya semakin lemas, lega ternyata yang menangkapnya adalah orang yang ia kenal. Tapi, bisa tidak sih, pakai cara yang normal?
"Awh!" Rintih orang di belakangnya. Sengaja, kakinya menginjak kaki milik si pelaku penarikan. Salahnya juga membuat takut. Tindakannya itu membuat dekapan si penarik mengendur. Lisa memanfaatkannya untuk berbalik.
"Eh?!" Kontan saja sang korban kebingungan. Lisa memeluknya erat. Ku ulangi, Lisa memeluknya erat. Jantungnya spontan saja marathon. Juga tulang-tulang retaknya meraung karena ikut terhimpit. Tapi, lengannya berkata lain. Mereka balas memeluk tubuh mungil gadis yang memeluknya itu.
"Sshh, aku disini." Satu tangannya tak tinggal diam, beranjak ke atas, mengelus rambut kusut si gadis. Mencoba memberi ketenangan dan keyakinan jika ia ada dan akan menjaga gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIKE A MOVIE
FanfictionLisa tak menyangka jika hidupnya akan menjadi layaknya drama di televisi. . . cerita ini beralur lambat, lebih lambat dari siput tetangga, harap bersabar karena mungkin satu part tidak menyelesaikan satu masalah atau malah menambah masalah