10 : Paman Sialan

43 4 0
                                    

◇Yerzhan◇

Yerzhan melemparkan tubuhnya pada kasur empuk. Kedua netranya ia pejamkan. Rasa letih menguasainya. Hari menjelang sore dan bocah bersurai gelap itu baru terbangun dari tidurnya. Selepas sekolah yang ia pikirkan hanya tidur karena saat malam ia akan terjaga sepenuhnya.

"Oh, Erzhan sudah bangun. Kau mau darah?" Pria mengenakan kaos hitam lengan panjang menyapanya riang.

"Kalau ada boleh, Paman." Yerzhan mendudukkan dirinya di depan pria itu. Tangan mungilnya menerima kantong darah yang disodorkan. "Darah hewan?" tanya selepas menegak isi kantong.

"Manusia. Seorang dokter memberikannya padaku kata dia daripada dibuang." Yerzhan mengangguk kecil.

"Pantas enak. Malam ini kita kemana, Paman?" tanya Yerzhan selepas menghabiskan satu kantong darah. Tubuhnya kembali segar. Berdiri di bawah dalam jangka waktu yang cukup lama benar-benar menguras energinya.

"Hm... masih sekitar sini. Ku dengar ada pendatang baru. Kita harus memeriksa identitasnya sebelum kerajaan yang melakukannya." Pria berkaos hitam menyiapkan senjata.

"Ke pelabuhan? Bukankah kita harus ke Illeginia?" Yerzhan menatap pria di depannya kebingungan.

"Iya ke pelabuhan."

"Itu bukan di sekitar sini, Paman. Kita masih harus menggunakan kereta jam lima sore lalu turun di Illeginia jam sepuluh malam lalu menggunakan mobil untuk menuju pelabuhan." Yerzhan memasang senyum pedih. Ingin menangis dia.

"Itu masih sekitar sini, Erzhan. Setidaknya kita tidak perlu ke negara tetangga bukan?" Yang lebih tua sudah selesai menyiapkan senjata. "Cepat mandi. Sebentar lagi kita berangkat," titahnya. Yerzhan menghela napas sebelum ia berangkat ke kamar mandi.

Yerzhan tak memakan waktu yang lama untuk bersiap. Kaos hitam sudah melekat di tubuhnya dengan jaket tipis. Udara di Ardsall sangat panas. Bahkan saat malam. Namun dikarenakan sang paman, orang yang menyelamatkan sekaligus merawatnya setelah ia dibawa kabur dari penjara, tak ingin Yerzhan sakit. Si bocah terpaksa harus mengenakan jaket.

"Senjata sudah kau bawa semua?" Untuk yang terakhir kalinya, Yerzhan memeriksa bawaan miliknya.

"Sudah paman." Yerzhan mengenakan sepatunya.

"Seperti biasa, kita mengenakan kereta yang berbeda. Kalau Paman belum sampai jam delapan berarti misi digagalkan. Kembali dengan kereta terdekat. Paham, Yerzhan?" Sang paman menepuk pundak Yerzhan. Si bocah mengangguk.

Yerzhan berangkat ke stasiun terlebih dahulu mengenakan kendaraan umum. Sang paman mengikuti di belakang dengan motor. Begitu sampai di stasiun, bocah bersurai gelap itu langsung memesan tiket kereta menuju Illeginia. Kereta akan berangkat jam 16.45, masih ada waktunya untuk membeli kudapan untuk menemaninya di kereta.

"Oh anak manis, mau kemana?" Yerzhan sedikit terkejut ketika seorang wanita tua menyapanya.

"Ah, selamat malam Nenek. Saya ingin ke Illeginia. Nenek sendiri mau ke mana?" balas Yerzhan ramah. Senyuman hangat ia berikan.

"Tujuan kita sama anak manis. Kau sendirian? Mana orang tuamu? Tak baik anak kecil sepertimu bepergian sendiri." Sang nenek menatap Yerzhan keheranan.

"Ah...Saya terbiasa bepergian sendirian nenek, orang tua saya di Illeginia sedangkan saya sekolah berasrama di sini. Nenek sendiri bagaimana? Nenek sendiri?" Yerzhan dengan lancar mengucapkan semua kebohongan itu.

"Nenek pun sendiri..." Kemudian ada senyuman pedih di wajah yang mengeriput karena usia. "Nenek kangen dengan cucu nenek. Nenek berencana untuk menjenguk makamnya."

Yerzhan ber-oh pendek sebelum menganggukkan kepalanya, "saya turut berduka cita, Nek."

"Kau sungguh sopan, anak manis. Orang tuamu pasti bangga denganmu." Sang nenek mengusap kepala Yerzhan. "Oh, keretanya datang. Ayo kita masuk bersama."

WanderlustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang