Sudah berapa hari? Azazel tak tau pasti. Ia terus-terusan menyembunyikan diri, berputar-putar di antara Gragtus, Ardsall dan Illeginia. Udara dingin sempurna membekukan napas membuat paru-paru kepayahan. Balutan jaket tiga lapis tidak ada artinya dalam cuaca seperti ini. Azazel memutuskan untuk istirahat, mampir ke sebuah kedai sepi di ujung jalan.
Sebuah kedai dengan pintu kayu yang kusam. Tak lupa dengan papan nama di atas pintu yang sudah pudar tulisannya. Lampu kuning hangat menyinari di atas ambang pintu. Azazel menggosok kedua tangan yang tak dilindungi sarung tangan kemudian mendorong pintu.
Bunyi lonceng terdengar begitu pintu dibuka. Tampak seorang perempuan tua yang tengah duduk di balik meja bar. Aroma kopi bercampur dengan kayu menyapa Azazel.
"Selamat siang, Nona," sapa Azazel pada wanita tua itu karena ia tak menyadari keberadaannya.
"Oh astaga, maafkan saya tak mendengar suara lonceng." Sang Wanita Tua mengenakan kacamata tebalnya. "Ada apa gerangan Tuan berkunjung ke kedai tua ini?"
"Di luar dingin sekali, Nona. Saya minta izin untuk bernaung di sini," balas Azazel dengan senyuman yang seramah mungkin yang malah terlihat menyeramkan.
"Silakan."
"Anda menjual kopi, Nona?"
Wanita tua itu mengangguk. "Anda ingin pesan?"
"Kopinya satu, Nona."
Wanita tua dengan apron biru kusamnya dengan semangat mengambil biji kopi yang ia tata rapi di rak yang ada di balik meja bar. Tangan keriputnya cekatan menghancurkan biji kopi, menyiapkan gelas dan menyeduhnya. Aroma kopi semakin kuat di kedai kecil itu.
Azazel sembari menunggu menyibukkan diri dengan laporan yang baru ia terima dari Ronja dan Altun. Setelah mendapati wajahnya menjadi buronan nomer satu negara. Azazel mengambil langkah untuk membubarkan timnya. Dia tak ingin mengambil resiko. Namun tetap saja Ronja bersikeras membantunya.
"Ini kopi Anda, Tuan."
"Terima kasih, Nona." Azazel mengangguk kecil sebelum kembali pada laporan di tangannya. Kepalanya pusing membaca detail yang dituliskan Ronja pada surel yang baru saja masuk. Harusnya tadi dia bawa laptop.
Sejenak, Azazel menatap luar jendela. Hening dalam kamus hidupnya berarti bahaya. Ah, dia tidak memiliki waktu lebih untuk menikmati hidup. Namun, bau kopi di depannya sungguh menggoda. Sayang sekali kalau tidak ia habiskan. Ia tandaskan isi cangkir dalam hitungan menit. Dia tidak ingin kedai mungil ini hancur karenanya.
"Nona, saya ingin membayar," ujar Azazel.
Namun si Wanita Tua menggeleng. "Itu bentuk terima kasih saya karena sudah mau berkunjung ke kedai tua ini, Tuan."
Azazel menggeleng. "Tidak, saya harus membayarnya."
"Tidak perlu, Tuan."
"Perlu, Nona."
Si Wanita Tua terkejut kala Azazel mengeluarkan suara tegasnya. Kedua matanya menyorot seakan berkata 'tolong terima permintaanku' yang mendalam membuat si Wanita Tua mengangguk pelan. Azazel tersenyum tipis. Ia mengeluarkan sejumlah uang dari saku mantel dan sebuah cincin. Cincin perak dengan desain yang tak biasa karena Azazel sendiri yang meminta pada Lukas untuk membuatnya.
"Itu hadiah dari saya, Nona. Anak anda sangat butuh uang itu untuk pengobatannya." Azazel melempar sebuah senyum ramah, kali ini senyuman yang benar-benar ramah. Baru ia menggerakkan kakinya untuk keluar kedai meninggalkan wanita tua penjaga kedai yang masih tertegun dengan ucapan dan pemberian Azazel.
Saat di luar, Azazel sudah tidak kaget dengan sejumlah polisi dengan pakaian putihnya bak seorang pangeran mengacungkan senapan padanya. Dengan tenang Azazel mengangkat tangannya dan meletakkan keduanya di belakang kepala. Pertanda ia menyerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanderlust
AventuraWanderlust [wan-der-lust] noun A strong desire to travel. Delapan anak. Delapan jalan. Mereka saling bertemu di sebuah panti tua di pinggiran Kota Gargtus. Soren seorang anak yang penyabar dan penyayang. Hallvard sosok yang tegas. Yerrik anak yang...