Soren terbangun dari tidurnya dengan napas terengah-engah. Dahinya penuh keringat seolah ia baru saja berlari memutari lapangan sekolah berulang kali. Mimpi apa aku? Soren mengusap peluhnya kemudian dengan panik menatap sekitar.
Sekitar lima menit ia mengamati, baru ia menghela napas. Semua adiknya masih tertidur lelap. Soren mengusap wajahnya. Kemudian meletakkan tangan kanan di dadanya, merasakan detak jantungnya. Masih berdegup kencang. Ia masih panik.
Sebenarnya ada apa?
Soren memejamkan mata. Namun anehnya dirinya semakin tidak tenang. Alhasil ia memilih untuk beranjak dari kasurnya. Saat itu, langit belum menunjukkan tanda-tanda matahari akan segera terbit. Soren mendongakkan kepala untuk melihat jam dinding yang berada di dekat ranjang atas yang ditiduri Yerzhan.
Jam 02.30
Ini masih sangat pagi untuknya terbangun tapi perasaannya benar-benar tak nyaman hingga ia tak bisa kembali tidur. Karena itu ia memilih untuk keluar kamar. Dengan perlahan kemudian Soren membawa langkahnya keluar rumah. Hawa pegunungan yang dingin tak menghalanginya. Semenjak ia mulai berlatih dengan Aya, ketahanan tubuhnya meningkat. Ia mulai mempelajari bagaimana tubuh separuh naganya bekerja.
Langit yang seharusnya gelap tak disangka-sangka ternyata amat cerah. Soren bisa melihat taburan bintang seperti taburan gula. Angin gunung bersemilir hingga menggoyangkan pucuk pepohonan.
"Soren?"
Soren langsung siaga menoleh ke asal suara. Mata gelapnya berubah menjadi merah api. Kewaspadaannya mengendur ketika melihat siapa yang datang. Urfa datang dengan jaket tebalnya.
"Tak bisa tidur?"
Soren dengan canggung mengangguk. Urfa tersenyum, Soren bisa melihatnya karena cahaya temaram dari lampu teras rumah.
"Ingin jalan-jalan?" tawar Urfa.
Soren langsung menggeleng. "Ah, itu akan merepotkan Anda." Sekalipun ia tidak canggung lagi dengan Aya, tapi untuk soal Urfa itu lain hal. Pria yang kini berdiri di dekatnya merupakan seorang petinggi negara. Ia tak pernah bisa untuk bersikap santai begitu saja.
Urfa tertawa. "Santai saja, jika sesuatu terjadi denganku maka itu sepenuhnya tanggung jawabku. Sudah menjadi kesepakatanku dengan para tetua. Tak usah diambil pusing."
Soren mengeluarkan senyuman canggung. Bagaimana caramu tak ambil pusing ketika berjalan dengan seorang yang mempunyai gelar putera mahkota? Malam gelap gulita yang bahkan tidak ada yang tak apa yang disembunyikan di balik gelapnya malam.
"Baiklah, aku tak akan memaksa." Urfa duduk di lantai teras kemudian menepuk sebelahnya, memberikan isyarat supaya Soren juga ikut duduk. "Mimpi buruk?"
Soren mengangguk. "Tapi tidak bisa ingat bagaimana mimpinya."
"Hm... firasat buruk?"
Soren mengangguk lagi. Kemudian sunyi.
Hening terus berlanjut hingga beberapa menit kedepan. Antara Urfa maupun Soren sama-sama hanya menatap langit dan menikmati hembusan angin. Namun sejatinya itu tidak membuat Soren tenang. Hatinya masih terus menerus gelisah.
"Sebelum tidur, apa yang kau resahkan?" Akhirnya, Urfa mematahkan sunyi itu.
Mendengar itu, Soren memutar otak, berusaha mengingat-ingat. "Entahlah."
"Firasat buruk itu akan muncul begitu kau mengkhawatirkan sesuatu. Kau mengkhawatirkan sesuatu karena ada suatu hal yang berbeda di sekitarmu," tutur Urfa yang membawa Soren ke dalam kesadaran yang berbeda.
Betul juga. Soren selama itu tak pernah terpikirkan hal itu. Selama ini, meskipun ia selalu berpindah-pindah tempat, meskipun satu persatu adiknya mulai terpisah, ia tak pernah sebegitu khawatir. Kali ini, ia baru menyadari. Hallvard menghilang dari pandangannya.
"Sudah menemukan jawabannya?" tanya Urfa begitu melihat ekspresi Soren berubah.
Soren mengangguk.
"Sekarang, pejamkan matamu."
Soren dengan patuh mengikuti instruksi Urfa. Dengan kedua tangan yang tertaut. Ia memejamkan mata.
"Ingat-ingat di mana kau pertama kali melihat hal yang berbeda di sekitarmu."
Soren mulai mengingat-ingat sore di mana ia perang dingin dengan teman baiknya itu. Mengingat wajah Hallvard yang hanya bisa tersenyum pasrah saat melihat Soren tak menerima idenya. Dua menit kemudian.
Soren mengetahui mimpi buruknya.
"Paman..." Suaranya bergetar. Matanya berkedut sekalipun terpejam. "Paman... Hallvard berdarah."
"Bagaimana ia berdarah?" Urfa dengan tenang menuntun Soren memaparkan mimpinya.
"Ia berdarah banyak. Bekas tembakan. Bekas pukulan." Soren semakin erat menggenggam tangannya satu sama lain. Hingga kukunya menancap di kulit telapak tangannya.
"Soren." Urfa menepuk-nepuk lembut tangan Soren yang tertaut. "Soren tarik napasmu perlahan. Soren." Suaranya mulai tegas. "Soren."
"Paman, Hallvard berdarah, Paman. Hallvard tak bernapas." Soren terus meracau.
"Mbak Aya!" Urfa berseru panik.
Sementara Soren semakin tenggelam dalam mimpi buruknya.
.
Di lain tempat, Aquila terbangun dengan setengah melompat dari kasur. Sungguh, untuk pertama kalinya ia mendapatkan mimpi seperti ini. Sangat mengejutkan. Ia bercakap-cakap dengan seseorang dalam mimpinya yang berulang itu. Sesaat sebelum tersadar, ia ingat orang itu tampak sakit. Bahkan hingga telinganya berdarah.
"Apa dia baik-baik saja?" gumam Aquila.
Tunggu, bukan itu yang penting. Ada hal yang lebih penting. Ia buru-buru bangkit dari kasurnya dan segera meraih telepon. Dengan mantap dan nekat ia menekan nomor milik Tuan Wolfgrim padahal jam menunjukkan pukul setengah tiga pagi. Tidak apa ia akan kena semprot. Karena yang terpenting ia harus menyampaikan apa yang baru saja ia alami.
Panggilan berbunyi tuut tuut selama tiga kali kemudian panggilan tersambung. "Halo, Tuan Wolfgrim."
"Sebabmu menelpon selarut ini berkaitan dengan hal apa?"
Aquila langsung menelan ludah. "Anu, mohon maaf, Tuan Wolfgrim." Seketika keberanian dia tadi menguap. "Aku bermimpi."
Hening. Tuan Wolfgrim tak membalas seolah menunggu supaya Aquila menceritakan semuanya dengan tuntas.
"Aku bermimpi seperti biasa, tentang katedral itu. Namun sekarang, aku tau siapa anak yang berada di tengah katedral itu." Aquila menarik napas. "Anak itu, Hallvard."
"Kau pasti dengan hal itu?"
Aquila mengangguk yakin. "Aku pasti. Memang sebenarnya aku tidak jelas melihat wajahnya hanya saja aku yakin seyakin-yakinnya. Anak yang mengenakan jubah bertudung itu pasti Hallvard."
"Apa yang kau lihat?"
"Anak itu sepertinya dalam bahaya. Bahaya yang amat bahaya."
.
.
Ada apa ni sama Hallvard?
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanderlust
PertualanganWanderlust [wan-der-lust] noun A strong desire to travel. Delapan anak. Delapan jalan. Mereka saling bertemu di sebuah panti tua di pinggiran Kota Gargtus. Soren seorang anak yang penyabar dan penyayang. Hallvard sosok yang tegas. Yerrik anak yang...