13 : Kepingan Ingatan.

41 5 0
                                    

◇Soren◇

Hari yang panjang untuk Soren. Bocah berambut merah muda itu sibuk mendumel sepanjang pulang dari kelas. Hallvard tak menimpali, hanya berjalan dengan tenang di samping temannya. Sesekali menarik tangan Soren karena hampir menabrak orang. 

“Males banget ketemu mentor itu.” Soren menendang krikil tak berdosa. 

“Kenapa? Bukannya kau murid kesayangannya?” Hallvard menatap heran temannya. 

Soren membuang napas kasar. Hallvard memandang temannya semakin heran. Ada ya murid kesayangan semua guru tidak menyukai guru sendiri. Soren membuka suara, “aku terlalu dibanggakan di kelas.” 

Baik, Hallvard semakin tak mengerti. “Bukan kah itu bagus?” 

“Bagus dari mananya Hall? Aku menjadi pedoman semua kelas dan semua guru berujar ‘jadilah seperti Soren yang selalu mendapatkan nilai sempurna di seluruh pelajaran’ atau ‘Soren selalu sempurna jadi pertahankan nilaimu’ menyebalkan sekali,” ujar Soren.

Hallvard menatap langit cerah. “Bukankah punya nilai selalu bagus itu baik?” 

“Iya bagus di satu sisi, tapi ketika nilaiku buruk mereka akan beranggapan aku sedang tak bersungguh-sungguh.” Soren menatap gedung akademi dengan wajah jengah. “Manusia merepotkan, padahal mereka bukan makhluk sempurna.” 

“Memangnya kau bukan manusia, Ren?” tanya Hallvard. Apa temannya terlalu banyak menonton serial kartun di hari libur? 

Soren terdiam sejenak. “Entahlah.” Kemudian dia langsung meninggalkan Hallvard yang tengah mematung mencerna ucapan temannya. 

◇♠︎◇

Soren kembali melamun di kelas strategi. Ini sudah kesekian kalinya. Para guru sampai menyidangnya di ruang guru karena perubahan Soren yang drastis. Bahkan sampai ada yang melarang untuk berteman dengan Hallvard lagi. Itu yang membuat Soren marah. Apa salah Hallvard? Dia hanya anak-anak begitupula Soren. 

“Anak-anak seharusnya jangan terlalu banyak larangan.” Soren mendongak. Sejak kapan Magnar ada di sebelahnya? “Tapi sekolahmu memang diperuntukkan anak-anak yang akan lulus menjadi orang-orang berpengaruh.” Soren mengernyit, menatap laki-laki yang lebih tua. Sebenarnya dia sudah tidak heran kalau Magnar tiba-tiba muncul seperti setan. 

“Karena anak-anak punya kebebasannya sendiri. Memang tugas orang dewasa mengatur dan mengarahkan anak-anak tapi bukan mengengkang mereka,” lanjut Magnar. 

“Paman sejak kapan di sini? Tidak biasanya?” Soren langsung mengalihkan pembicaraan. Dia tau kalau yang lebih tua punya kebiasaan mengintip isi kepala orang. Soren malas kalau nanti Magnar malah cerewet pasal yang tak berguna. 

“Oh, hanya numpang lewat. Kau sendiri?” Magnar menatap Soren dengan tatapan jenaka, seperti biasa. Mengingatkannya pada adiknya. 

“Paman, ini sekolahku. Salah kalau aku di sini?” balas Soren. 

“Tapi aku tidak melihat Hallvard bersamamu. Tumben.” 

Soren menghela napas. Ia malas membalas Magnar jadi Soren pergi begitu saja. Kepalanya terasa penuh. Mimpi-mimpi yang datang dalam tidurnya yang membuatnya seperti ini. Itu mimpi atau ingatan masa lalunya? Tapi seorang anak-anak tak memiliki ingatan yang seperti itu. 

Soren menatap langit cerah sembari memikirkan mimpinya. Naga bersisik merah yang terbang di langit. Suara debuman halus ketika sang naga mendarat. Bau napas belerang. Suara detak jantung yang nyaman. Soren tak bisa melupakannya. 

"Hei!" Lamunan sang anak buyar. Ia menoleh dan menemukan anak sepantarannya tengah berlari mendekat. 

"Mau main bola?" ajak anak entah siapa. 

WanderlustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang