◇Hallvard◇
“Jangan main jauh-jauh bocil!” teriak seorang ibu dari dalam rumah sederhana. Seorang anak berumur tujuh tahun tertawa kecil seraya mengandeng tangan mungil adiknya. Berlari keluar rumah.
“Ayo kemarin kakak nemu sungai di dekat desa.” Adiknya yang belum lancar berbicara hanya mengangguk tipis. Kaki mungilnya tak kesusahan mengimbangi langkah sang kakak. Kakaknya dengan baik hati melambatkan langkah kakinya supaya sang adik tak kepayahan.
Sang kakak menghentikan langkahnya. “Nah, di sini sungainya. Kapan-kapan ke sini lagi sama ayah biar dicariin ikan sama ayah. Nanti kita kasih ke ibu!” ujarnya penuh semangat. Dua kakak beradik itu sibuk bermain sampai petang.
“Astaga kakak! Adiknya kenapa belepotan lumpur gitu.” Ketika mereka pulang, ibu mereka mengomel. Sang kakak hanya menyengir tipis dan yang lebih muda menatap ibunya dengan tatapan polosnya.
“Cepat mandi!”
Satu kenangan sebelum semua sirna.
◇♠︎◇
“Hallvard, bangun!” Sepasang mata hitam kebiruan terbelalak kaget. Ketika sang empu menegakkan tubuhnya, seluruh mata menatapnya.
“Hallvard Redhawk, ini sudah yang kesekian kalinya kau tertidur di kelas saya. Berdiri di luar kelas!” bentak seorang pria berwajah tegas. Hallvard tak membantah mentornya. Ini memang salahnya.
Bocah termuda di kelas itu berdiri dari duduknya kemudian keluar dari kelas. Hallvard menghela napas. Seharian penuh dia selalu tertidur saat kelas dan mengalami mimpi yang sama. Kenangan lama yang ingin ia kubur.
“Tertidur lagi?” Hallvard mendongak, menatap siapa yang bertanya.
“Paman Lukas tumben di sini?” tanya Hallvard. Heran melihat salah satu anak buah Azazel berada di akademi tempatnya belajar.
“Paman disuruh Azazel untuk menjemputmu dan Soren. Mana kelas Soren?” balas Lukas.
“Soren kelasnya di lantai dua. Dia berbeda jadwal dengan ku, sepertinya jadwalnya sekarang latihan menembak. Paman cari saja ruang latihan menembak.” Hallvard menjawab Lukas seraya menunjuk tangga menuju lantai dua.
Lukas mengangguk. “Terima kasih. Tunggu di sini sebentar.” Hallvard mengangguk.
Hallvard tengah melamun saat Lukas dan Soren datang. “Oh, maaf Paman.”
“Belakangan kau sering melamun Hallvard, apa ada yang mengganggu pikiranmu?” Lukas mengusap kepala Hallvard. Yang ditanya menggeleng.
“Aku baik-baik saja, Paman.” Lantas berjalan terlebih dahulu.
Rupanya Azazel sudah menunggu di luar akademi. Ronja ada di sebelahnya. “Big Bro, kau kembali ke kedai dulu saja. Aku dan Ronja akan membersihkan pekerjaan kami dan tolong hubungi Magnar agar segera melapor,” ujar Azazel.
“Baik. Jangan terlalu memaksakan diri.” Lukas tersenyum kemudian menepuk kepala Hallvard. “Nanti kalau sudah selesai misi Paman buatkan sup ayam kesukaanmu.” Hallvard hanya mengangguk tipis. Sepertinya Lukas tau masalah Hallvard. Bocah itu tak pernah bisa berbohong pada Lukas.
Begitu Lukas pergi, Azazel segera membawa dua anak asuhnya pergi. Ronja tak mengendarai kendaraan yang sama dengan Azazel, dia perlu memantau dari jarak jauh. Azazel berhenti di tempat pengisian bensin untuk memberikan senjata laras pendek yang didesain khusus untuk Hallvard dan Soren. Tak lupa pisau tipis untuk keadaan darurat.
“Hallvard kau baik?” tanya Soren, menyadari wajah pucat Hallvard.
Hallvard yang selesai bersiap menggeleng pelan. Soren menatap iba temannya. “Mau ku minta paman Azazel untuk membatalkan misi?” tanyanya. Hallvard menggeleng lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanderlust
AdventureWanderlust [wan-der-lust] noun A strong desire to travel. Delapan anak. Delapan jalan. Mereka saling bertemu di sebuah panti tua di pinggiran Kota Gargtus. Soren seorang anak yang penyabar dan penyayang. Hallvard sosok yang tegas. Yerrik anak yang...