◇Steinar◇
Suara dentang lonceng membahana. Bau harum dupa memenuhi penciuman. Steinar membuka kedua matanya, dia tidak berada di kamarnya. Suara-suara yang saling berkelindan. Ia berada di tengah ruangan luas berdinding marmer dan beratapkan lengkungan kubah yang dihiasi kaca yang membiaskan sinar mentari.
“Jangan banyak bergerak.” Steinar nyaris berteriak tapi ketika sadar siapa yang berbicara, ia buru-buru menutup mulutnya.
“Entah apa yang garis takdir inginkan, tapi sepertinya kau yang akan menemaniku di mimpi yang panjang, Ein.” Untuk pertama kalinya, Steinar melihat sepasang mata seperti batu jade milik Ailean berbinar. Ailean di hadapannya bisa melihat.
“Kakak bisa lihat?” tanya Steinar.
“Dalam mimpi aku selalu bisa melihat, Ein. Aku bisa membaca masa depan berkat ini.” Ailean menggenggam tangan Steinar. “Jangan terpisah.”
Kerumunan orang berjubah putih keluar dari pintu besar di depan mereka. Steinar tampak kebingungan ketika ia dan Ailean dilewati begitu saja. Seolah tiada. Namun karena ia tak berani bertanya jadi Steinar diam saja.
Ailean menariknya masuk. Mereka bisa melihat ruangan luas tanpa meja ataupun kursi dengan jendela yang dihiasi kaca patri. Cahaya yang masuk membiaskan warna jendela menjadikan ruangan tampak seperti dihiasi lampu kelap-kelip berbagai warna.
Lantai yang mereka pijak juga terdapat pola yang rumit. Sulur dedaunan emas saling berkaitan membentuk lingkaran besar. Pada pinggirannya terdapat tulisan yang Steinar pikir itu bukan tulisan yang lazim dibaca oleh masyarakat. Pada tengah lingkaran terdapat bentuk jam pasir dengan gambar fase bulan yang ada di empat arah mata angin.
“Kita ada di mana?” gumam Steinar.
“Masa depan. Garis takdir menunjukkan salah satu masa depan,” balas Ailean. Mata jade-nya menatap pola lantai.
“Ein.” Sorot matanya berubah pilu. “Kau janji untuk tidak pernah meninggalkan ku?” Steinar terdiam melihat Ailean yang netranya sudah berkaca-kaca.
“Garis takdir yang kulihat sekarang sangat memilukan.” Ailean membawa arah pandangnya pada tengah ruangan.
Entah sejak kapan, di tengah ruangan ada seseorang yang tengah berdiri seraya menatap lekat lengkungan kubah yang menaunginya. Wajahnya tertutup tudung putih. Jubah putih panjang berhiaskan sulaman emas perak menyapu lantai.
Steinar terpana sejenak. Walaupun wajahnya tertutup tudung tapi Steinar bisa melihat sepasang bulu mata lentik mengintip. Cahaya mentari yang terbiaskan oleh kaca patri menambah kesan magis pada orang itu.
Sedetik kemudian terdengar suara dentang lonceng. Tiba-tiba saja lantai yang mereka pijak berpendar, mengeluarkan cahaya kebiruan. Ailean menahan napasnya, tanpa ia sadari tangannya menggenggam erat tangan Steinar.
Pada menit berikutnya, yang terjadi adalah mimpi buruk. Steinar melihat api tinggi tiba-tiba melahap ruangan. Ada teriakan dan tangis yang berkelindan. Suasana yang tenang berubah rusuh. Pemandangan di hadapannya berubah menjadi tempat eksekusi.
“Kak, kita di mana?” Steinar menggigit bibirnya.
“Ini hanya kilas masa depan, Ein. Ini hanya kilas masa depan.” Ailean memeluk erat Steinar yang ketakutan.
Panggung kayu tempat eksekusi diisi oleh beberapa orang. Para penonton berteriak marah tapi ada juga yang menangis. Tali gantung pemakan nyawa sudah siap.
“Kak…” Steinar menyembunyikan wajahnya di pundak yang lebih tua.
Ada tiga orang, Ailean tak bisa melihat wajahnya dengan jelas tapi bisa ia pastikan ada dua orang remaja yang juga akan dieksekusi. Ini garis takdir yang memilukan. Ailean hanya berharap ia dapat bangun. Ia sudah tidak kuat untuk mengetahui lebih jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanderlust
AdventureWanderlust [wan-der-lust] noun A strong desire to travel. Delapan anak. Delapan jalan. Mereka saling bertemu di sebuah panti tua di pinggiran Kota Gargtus. Soren seorang anak yang penyabar dan penyayang. Hallvard sosok yang tegas. Yerrik anak yang...