20 : Pelarian (1)

41 4 0
                                    

Azazel menengadah, menatap langit yang semakin gelap karena mendung. Ini akan menjadi malam musim dingin yang panjang. Kemungkinan terburuknya adalah badai salju. Ia pikir malam ini dia bisa mendekam di dalam selimut tapi sebuah pesan anonim tiba-tiba masuk. 

Azazel pun tak sendiri, ada Ronja yang tengah mati-matian menahan kantuk sambil menatap layar laptopnya. Sembari sesekali melemparkan sumpah serapah karena suhu dingin yang menggigit. 

“Ada kabar dari Altun?” Lukas memandangi ponsel yang sudah satu jam terus menyala demi kepentingan melacak. 

Ronja menggeleng. “Dia menghilang untuk mengintai kalau Bruder ingat. Kebiasaan dia yang tidak pernah berubah.” 

Azazel masih diam saja. Mata kelabunya tak lepas dari mendung yang semakin pekat. “Kita lakukan misi malam ini,” ujarnya tiba-tiba. 

Ronja dan Lukas kompak tersentak. “Kau yakin, Zazel?” tanya Lukas.

“Firasatku mengatakan untuk segera melakukan misi ini,” balas Azazel.

“Kau yakin? Ini tidak seperti cara kerjamu yang biasa, Zazel. Kau yakin untuk tidak melakukan penyelidikan secara menyeluruh?” Ronja ikut tidak yakin dengan perintah yang diberikan Azazel. 

“Lakukan saja,” ujar Azazel dingin. Tanda ia tidak ingin dibantah. 

Ronja dan Lukas bertukar pandang sekilas sebelum mereka melakukan perintah Azazel. Lukas segera menghubungi tim yang lain dan Ronja melakukan pelacakan target. Sedangkan Azazel masih pada duduknya yang menatap langit mendung. 

    Nyawa anak itu ada di tanganku. 

Azazel menghela napas. Sejak awal memang keputusan yang ia ambil adalah keputusan yang merepotkan. Jika hati nuraninya sudah hilang, ia tidak akan pernah menyelamatkan anak bermata biru gelap. Namun, entah mengapa saat ia pertama kali bertemu Hallvard, Azazel merasa ia harus membawa anak itu. 

“Azazel, target sudah ditemukan.” Suara Ronja memecah lamunan Azazel. 

“Cek kegiatan sehari-harinya. Kirimkan data singkat target padaku.” Azazel bangkit dari duduknya. “Bruder, panggil Altun untuk melakukan tugas pengintaian jarak dekat. Sampaikan pesan pada Magnar untuk segera menemuiku malam ini,” titahnya.

Lukas mengangguk. Ia segera pamit pergi untuk mencari Altun. Ronja mengirimkan pesan pada teman vampirnya. 

“Kau gila? Magnar, Erzhan itu masih sakit dan kau mau membawanya?” Tingkah Magnar selalu menyulut amarah Ronja. Ia tidak habis pikir dengan vampir itu. 

Yerzhan tidak boleh sendirian. Hari ini saja dia sudah habis tiga kantong darah. Kau mau dia membunuh orang saking hausnya?” Di seberang sana Magnar juga tengah panik. Ia pikir dalam cuaca buruk seperti ini Azazel akan membatalkan misi, rupanya tidak. 

Ronja menghela napas. “Zazel ingin kau menemaninya malam ini. Misi tidak bisa dibatalkan, dia sedang dalam mode tidak bisa dilawan.” 

“Bilang pada Magnar untuk menitipkan Yerzhan pada Hallvard,” ucap Azazel yang sejak tadi mendengar debat antara Ronja dan Magnar. 

Tidak bisa, Zazel. Yerzhan bisa-bisa membunuh mereka.” 

“Tidak akan, di sana ada Soren. Bau darahnya bisa sedikit menekan rasa haus Yerzhan.” Azazel mulai menyiapkan senjatanya. “Aku tidak menerima toleransi keterlambatan Magnar. Cepat bergerak karena waktu kita sedikit.” 

Telepon langsung diputuskan oleh Magnar. Ronja lagi-lagi hanya menghela napas. Jika ketuanya sudah bersikap seperti ini berarti ada sesuatu yang ia sembunyikan dan sesuatu yang amat berbahaya dan mendesak. 

WanderlustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang