Ward mengernyit heran ketika teman satu kerjanya berkata ada seseorang yang mencarinya dan sepertinya bukan Merikh. Setelah perjumpaannya dengan Merikh, ia jadi cukup sering bertemu dengan saudara tiangnya itu hingga teman-temannya hafal. Kali ini mereka hanya bilang ada orang yang mencarinya. Bukan berkata Merikh mencarinya.
Ward tanpa melepas pakaian perawatnya langsung menuju lobi rumah sakit. Ternyata benar, yang mencari dirinya bukanlah Merikh melainkan temannya yang ia ingat ikut bersama Merikh saat mengantar ibu serigala yang melahirkan. Ia mengingatnya berkat warna mata teman Merikh sangat khas, hijau jade yang jelas bukan warna iris pada umumnya. Laki-laki itu berdiri dengan gelisah, Ward bisa melihat itu. Apakah terjadi suatu hal yang buruk?
"Anu, selamat pagi, Tuan," sapa Ward begitu ia sudah berdiri di dekat teman Merikh.
"Ah, selamat pagi, Ward. Aku yakin kau sudah mengenaliku. Namaku Aquila Al-Ghazi, senior Merikh." Aquila menjulurkan tangan.
"Salam kenal, aku Ward Ankaa, bisa dipanggil Ward. Ada urusan apa? Apakah sesuatu terjadi pada Merikh?" Ward dengan hangat membalas jabat tangan Aquila.
Aquila bergegas menggeleng. "Ah, ini bukan soal Merikh. Anak itu sekitar seminggu yang lalu dijemput oleh seseorang dengan julukan putra mahkota. Bahkan sebelumnya ia tidak berpamitan tapi empat hari yang lalu aku sempat bercakap dengannya dan sepertinya ia tampak sehat hingga sekarang. Yang ingin kubicarakan adalah soal Hallvard. Kau mengenalnya?"
Raut muka Ward langsung berubah serius. "Kau mengenal kak Hall?"
"Aku hanya sekali bertemu dengannya empat hari lalu. Aku tahu ini terdengar gila tapi sepertinya kakakmu dalam bahaya." Aquila sudah tidak tahu harus bagaimana ia menjelaskan semuanya.
"Hah?" Dahi Ward mengerut. "Apa maksudmu?"
"Intinya aku mendapat mimpi, seperti seorang peramal, aku melihat kakakmu dalam bahaya. Aku asumsikan Hallvard sebagai kakakmu karena kau memanggilnya dengan panggilan kak." Aquila sudah masa bodoh kalau nanti yang ada ia malah diantarkan ke poli kejiwaan.
Ward terdiam sejenak. Dengan dahi yang berkerut menatap lantai seolah berpikir. Kakaknya dalam bahaya? Bukankah ada Soren? Namun kenapa sampai teman Merikh ke mari? Otak Ward tak bisa mencerna.
"Ugh!"
"Anu, Ward, aku tahu ini pasti membingungkan tapi percayalah aku tidak berbohong." Aquila sendiri kehabisan akal untuk menjelaskannya.
"Tunggu di sini." Ward memutuskan untuk pergi ke bibinya saja. Bibinya pasti lebih paham.
Ia bergegas meninggalkan Aquila yang masih kebingungan dengan tingkah Ward. Ward harap lelaki itu tidak segera pergi karena kebingungan. Dengan langkah tergesa-gesa, ia menghampiri Adara yang sedang bercakap dengan salah seorang dokter, tentang obat sepertinya, Ward hanya mendengarnya sekilas.
"Kak Adara!" Ia tahu merupakan hal yang tidak sopan tapi ia diburu waktu. "Aku minta hari ini cuti dulu, oke? Ada urusan yang sangat-sangat mendadak. Menyangkut hidup dan mati seseorang," ujarnya cepat menyela percakapan seniornya dengan sang dokter.
"Ha?"
"Oke, aku ambil cuti dulu ya. Bye!" Ward langsung melepas kartu pengenalnya lalu ia letakkan di tangan Adara dan kembali ke lobi rumah sakit, berharap Aquila masih di sana menunggunya.
Untung saja, Aquila masih menunggunya dengan sabar. "Kak Aquila, ayo!" Ward langsung menarik tangan Aquila menuju tempat parkir. Aquila sendiri dengan kebingungan yang belum selesai mengikuti langkah Ward ke tempat parkir.
"Kak Aquila ke sini tadi naik apa? Motor kan?"
Aquila mengangguki pertanyaan Ward.
"Kita pergi dulu," ujar Ward.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanderlust
AdventureWanderlust [wan-der-lust] noun A strong desire to travel. Delapan anak. Delapan jalan. Mereka saling bertemu di sebuah panti tua di pinggiran Kota Gargtus. Soren seorang anak yang penyabar dan penyayang. Hallvard sosok yang tegas. Yerrik anak yang...