Bagian 22 : Debaran

145 37 1
                                    

Pak Adiwira mengetuk jari-jarinya di atas meja. Ia memikirkan kalimat yang pantas agar ke luar dari percakapan tersebut.

"Sebelumnya terima kasih sudah mengundang makan malam bersama, tapi saya izin pamit. Barusan dapat pesan, saya hadir acara penting nanti. Mungkin terkait kasus yang Bapak katakan. Bisa lanjutkan di kantor saya, besok." Pak Adiwira bangkit kemudian menunduk pada Pak Bambang dan para tamu lainnya.

"Ah, gak apa-apa, Pak. Saya menantikan kerja sama Bapak," balas Pak Bambang.

Di luar kedai.

"Orang-orang itu apa gak tau prosedur melaporkan kasus? Itu sama saja mereka fitnah tanpa dasar." Pak Adiwira membatin kemudian menyalakan mobilnya.

•••••
Anggun memijat kakinya, lelah. Ia mengeluarkan banyak tenaga. Setelah mendapat izin magang minggu lalu, Anggun harus menyelesaikan semua pekerjaan di rumah makan. Jika sudah, Anggun baru bisa ke lapangan bersama Bu Tedjo.

Awalnya, Bu Tedjo tidak yakin. Apakah Anggun dapat membagi waktunya? Anggun mengyakinkan Bu Tedjo. Ia meminta jadwal Bu Tedjo di lapangan lalu menyesuaikan dengan waktu selesai kerja Anggun.

"Cerdas!" Anggun menepuk kepalanya, bangga atas pencapaian dirinya.

Anggun membuka ponsel-- lalu menekan menu galeri foto. Ia menggulir beberapa foto sampai ujung bawah. Sesekali, ia memandang foto selfie bersama Brian, Ria dan juga Jihan. Ketika menggeser ke foto berikutnya, Anggun berhenti di salah satu foto.

"Ah, ini makanan yang dimasak Pak Kenzo waktu itu."

Anggun membalik badannya, memandang langit rumah.

"Duh, baru ingat. Dua minggu lagi bayar kos!" Anggun beringsut meraih tasnya. Ia membuka dompet. Berkata lagi,"belum cukup uangnya. Heum."

•••••

"Pak! Gawat!" Seorang pegawai terengah-engah ketika menemui Kenzo.

"Ada apa?" tanya Kenzo.

"Itu pabrik Jaya Abadi batalin kerja sama."

"Dapat dari mana infonya?"

Pegawai tersebut memberikan ponselnya. Menunjukkan pesan dari kepala Pabrik Jaya Abadi.

"Minggu lalu saya sama Bu Tedjo ke sana. Barangnya mau diproduksi massal, tidak ada masalah, Pak," ucap pegawai itu.

"Terus? Kenapa main batal! 'Kan sudah kerja sama dan teken kontrak?" geram Kenzo.

"Saya juga gak tau, Pak. Coba Bapak konfrimasi dulu. Mungkin ada masalah," saran pegawai itu.

Kenzo berpikir sejenak.

"Oke, saya coba ke sana."

•••••

Setibanya di Pabrik Jaya Abadi. Kenzo melempar pandangannya. Sepi.
Seorang pria paruh baya tak lain Kepala Pabrik Jaya Abadi, Pak Amin. Menghampiri Kenzo dengan raut wajah merasa bersalah.

"Kenapa ini, Pak?" tanya Kenzo.

"Begini, Pak. Pabrik Jaya Abadi kena masalah karena kepemilikan bersama. Kami kira, pemilik sebelumnya menghibahkan ke warga sini dan kami boleh pakai pabriknya, tapi pemiliknya gak beritau kalo pabrik ini udah dijual," ucap Pak Amin.

"Siapa pembelinya?"

Pak Amin memberikan map yang berisi surat kepemilikan pabrik. Kenzo membukanya. Membaca dengan penuh teliti. Ia lalu memeriksa siapa pembeli pabrik Jaya Abadi. Mata Kenzo membulat.

"Paman?" Kenzo melihat bubuhan tanda tangan pamannya Direktur Utama Sinar Wijaya Group. Danang Wijaya.

•••••

Ufuk TimurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang