Bagian 30 : Kehilangan

95 34 7
                                    

Chapter ini berisi umpatan dan beberapa kata kasar. Demi kenyamanan pembaca, author memberikan sensor yang pantas.

Sepuluh tahun lalu.

Anggun membuka jendela kamar. Harum petrikor menyentuh indra penciuman Anggun. Ia merindukan ayah. Tanpa disadari air mata mengalir di sudut matanya. Di sisi lain, setelah kepergian ayah beberapa hari lalu. Ibu dan nenek Anggun, menjadi lebih pendiam.

"Nak, apa kita kasih aja warisan itu buat bayar utang?" tanya Nenek memecah keheningan.

"Jangan, Ibu. Itu peninggalan putra ibu. Aku mampu membayarnya. Lusa aku berangkat. Minggu lalu, aku diterima lamaran kerja di perusahaan luar negeri," jawab ibu Anggun, Ida.

"Kamu keluar dari perusahaan itu?"

"Iya, tentu saja. Perusahaan itu b*jingan, Ibu! Buat apa aku bertahan jadi budak mereka? Bodohnya, anak ibu justru melayani mereka padahal kondisi sakit!"

Nenek hanya diam saja. Ia tahu kemarahan Ida buntut kejadian beberapa bulan lalu. Putranya, Hendri Handoko, ayah Anggun dipecat dan dipermalukan. Di sisi kamar Anggun mendengar percakapan ibunya dan nenek. Segera Anggun menghampiri mereka.

"Ibu lusa ke mana?"

Ida menoleh. Ia langsung memeluk putri semata wayangnya. Anggun melihat lingkaran hitam di sekitar netra ibunya. Mata ibu bengkak.

"Ibu pindah kerja, Nak. Untuk sementara, putri ibu sama nenek ya."

Mata Anggun berair. Ia tidak siap.
Namun, Anggun harus bersikap dewasa. Supaya nenek dan ibu tidak menganggap Anggun beban.

"Baiklah, Ibu." Anggun menjawab dengan penuh kasih sayang.

Kata "Sementara" dari ibu ternyata berlangsung satu tahun. Mau tidak mau, Anggun harus menekan perasaan rindu pada ibu di depan nenek. Anggun menjalani hari seperti biasa. Ke sekolah lalu pulang ... begitu seterusnya. Ia kesepian walaupun di sekolah Anggun tampak hangat dan berbaur dengan teman-temannya. Semua hal itu palsu. Senyuman palsu, wajah bahagia palsu.

Pukul enam sore. Kehidupan sekolah yang melelahkan. Anggun memilih tidak pulang. Ia pergi ke bukit dekat rumahnya. Hembusan angin menyentuh rambut. Anggun memandangi pemandangan desa dari atas bukit. Anggun langsung merebahkan diri di atas tanah. Ia tidak peduli dengan baju kotornya. Anggun berbaring santai.

P L U K! Anggun mendongak. Sesuatu jatuh di atas kepalanya.

"Pir?" Anggun baru sadar di atas bukit ada perkebunan pir.

Seorang gadis seumuran dengan Anggun berada di atas pohon.

"Ah! Maaf. Seperti aku ketahuan haha!" Gadis itu perlahan turun dari atas pohon.

Anggun menyipitkan mata.

"Shut! Jangan beritahu siapapun ya! Soalnya, aku lapar. Ah ya, namaku Viana. Aku baru pindah beberapa hari lalu. Em, aku tidak punya teman. Desa ini asing. Soalnya tempat lahir ibuku." Viana cukup banyak berbicara membuat Anggun muak.

"Ya ya ya. Aku tidak beritahu siapapun."

Sejak pertemuan itu. Persahabatan mereka terjalin hingga sekolah menengah atas.

"Woah, Anggun beneran kamu buat kue ini?" tanya Viana.

Viana menatap penuh binar loyang berisi kue di atas meja makan.

"Ya iyalah, Vin. Rencananya aku mau jual di sekolah. Siapa tahu banyak yang beli. Kamu bantu aku ya. Kalo untung banyak. Kita bagi dua duitnya."

Nenek mendengar percakapan manis Anggun dan Viana dari seberang meja. Nenek bersyukur, sejak ada Viana. Anggun tidak merasa kesepian lagi karena sejak kepergian putranya. Anggun menyembunyikan perasaan sedihnya di depannya.

Ufuk TimurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang