IV.

39 16 1
                                    

Kepul asap dari secangkir kopi itu sudah membubung tinggi, hilang beserta suhunya sejak ku telantarkan hampir satu jam yang lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kepul asap dari secangkir kopi itu sudah membubung tinggi, hilang beserta suhunya sejak ku telantarkan hampir satu jam yang lalu. Sepiring makan malam dihadapanku nyatanya hanya kutatap saja karena hilang seleranya sejak pemandangan didepanku – pemuda yang duduk termangu menatap kayu yang habis dilalap api di tungku perapian.

Aku melirik Romi yang nampaknya mengeraskan rahang memandang ke senapan panjang diatas perapian.

“Edelmar itu.. mempunyai siapa lagi selain keluarga dan kamu? Maksutku.. kemana arah yang akan mungkin ia ambil jika sudah berjalan selama seminggu lebih namun nyatanya ia tak pernah datang di kediaman kita mencarimu?”

Ia memutar otak, “Benar, mungkin sesuatu ada yang salah disini”

Hening lagi. Walaupun tak ada sesuatu yang mengusik jalanya makan malam ku aku tetap tak menyentuh makanan yang terlanjur dingin terkena suhu ruangan itu.

“Apa mungkin negara membuat rumor itu dan mengerahkan prajurit bodong untuk sekedar berjalan jalan sembari mencari informasi para bedebah pembelot negara?”

“Bagaimana mungkin bisa begitu Rom? Jika nyatanya memang begitu maka tak ada alasan suratmu tak terbalas selama sebulan kalau begitu” timpal ku yang nyatanya ia Amini dengan sebuah anggukan.

“Lalu aku harus apa?” Nada suaranya melemah, atau bahkan mungkin lebih keras suara percikan api dari pada suaranya, dia nampak hampir kehabisan akal atas menghilangnya sang pujaan hati. Apalagi dengan kedudukannya dan perbedaan mereka berdua, seolah ada rantai tali yang membelenggunya, ia tak bisa terbebas melakukan apa apa dinegara ini.

“Kita tunggu saja Rom, menunggu mungkin butuh seminggu atau satu bulan hingga jika benar tidak ada kabar bahwa sang putri ditemukan,

Maka pilihan yang bisa kau ambil yaitu merelakan saja, atau ikut dengan mereka- para prajurit untuk mencarinya di penjuru negeri”

Namun yang kulihat setelahnya adalah ia berdecih sambil mengembalikan buku yang tak di bacanya kembali ke atas meja lalu terkekeh sembari menatap senapan diatas tungku perapian.

“Mencari? Dengan aku yang begini, tiba tiba ikut mencari? Apa yang mungkin dikatakan para prajurit? Apa yang akan dikatakan warga desa? Apakah mereka akan langsung menembak kepalaku? Atau.. apa yang dikatakan putra mahkota?”

Benar.. disamping bagaimana persepsi masyarakat akan eksistensi kami- para ras yang cukup menjadi tolak ukur perbedaan level rendah masyarakat, kami tentunya menimang betul langkah yang akan kami ambil agar tidak ada seseorang yang tiba tiba datang dan menembak kepala kami. Terlebih sang putra mahkota, satu satunya keluarga kanselir yang tahu hubungan mereka berdua, yang berujung dengan tidak diperbolehkannya si tuan putri keluar dari mansion utama.

“Cerita itu sudah berlalu Rom. Tinggal pakai topimu lalu berperilaku baik saja maka orang akan memperlakukan baik pula. Sejauh ini aku juga belum menemukan orang serasis yang dikatakan mereka”

Began;Intro ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang