VII.

27 13 0
                                    

Aku menyamankan diri tatkala sang Bagaskara bersinar terang namun lebih nyaman dari biasanya meskipun ditutupi para awan awan itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku menyamankan diri tatkala sang Bagaskara bersinar terang namun lebih nyaman dari biasanya meskipun ditutupi para awan awan itu.

Lucy berdiri menabur benih bunganya setelah meminum secangkir teh yang kami bawa dari rumahnya, sisa nya masih teronggok tak tersentuh di keranjang disebelahku, sedangkan aku membuat bantal kepala dari kedua lengan sambil menengadahkan kepala.

“Ini akan tumbuh sekitar seminggu, kau harus menyiramnya agar cepat berbunga. Bunga akan muncul mungkin satu bulan kedepan” Celotehnya yang tak kutangkap pandangan mata.

Menyiram? Sendirian? Mengapa bukan ia saja?

“Kau pernah tidak, terfikirkan untuk tinggal di gubug ini?”

“Gubug ini?” Setelahnya aku tak mendengar apapun selain suara angin, sepertinya ia berfikir atau melakukan hal lainya. Aku memejamkan mata.

“Sendiri? Bersamamu?” Lanjutnya setelah beberapa saat. Aku sempat ingin tergelak mendengar kata terakhirnya, tapi aku hanya menyunggingkan senyum saja untuk kemudian menimpalinya.

“Denganku saja bagaimana lu?” Walau tak kupungkiri, nada canda itu terdapat keseriusan didalamnya.

Yang nyatanya malah suara alam yang semakin jelas terdengar saja ketika kurasakan disekitarku diam tanpa menunjukan atensi yang berarti pula. Aku mengerjapkan mata untuk melihat perempuan dengan kepang rambut buatanku itu duduk mematung sembari lengan gaun selutut berwarna putih gading itu melambai lambai disamping tubuhnya.

Dan sekarang aku jadi berfikir, apakah kira kira ia merasakan sesuatu saat aku mengatakan kalimat itu. Apa aku boleh berharap sedikit saja dan berfikir bahwa ia sebenarnya juga memiliki perasaan yang sama sepertiku?

Perempuan dengan mata sebening samudra itu beranjak dan mengambil duduk ditempatnya semula saat aku mengepang rambutnya, disebelahku, lalu menyesap tehnya yang dingin dan mengecap beberapa kali. Sedangkan aku mengambil posisi duduk lagi dan memperhatikannya yang juga ingin mengucapkan sesuatu.

“Kalau begitu bagaimana kalau kita membuat pigura kepemilikan saja untuk dipasang?”

“Maksutmu?”

Ia mendekat untuk menjulurkan telunjuknya didepan kami, menggambar di tikar polos membentuk persegi panjang yang ia sebut pigura tadi.

“Begini, persegi panjang seperti ini. Lalu di cat dengan nama kita berdua, “Rumah Lucy dan Ben” begitu tulisannya” antusiasnya terhadap rancangan gambar di udara kosong dihadapanya.

Namun bukan itu yang kuperhatikan, namun ekspresi antusiasnya yang membuatku bertanya tanya, apakah perkataan ku tadi benar benar dianggap sebagai candaan atau ia sekedar melakukan ini karena kami berdua seorang sahabat.

Kutatap figuran wajahnya, aku tidak akan membuat ini menekan nya – aku hanya ingin mengkonfirmasi perasaan secara bertahap saja atau aku tidak ingin persahabatan kami runtuh begitu saja.

Began;Intro ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang