V.

34 18 4
                                    

“Apa kau sering kesini setelah aku pergi?”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Apa kau sering kesini setelah aku pergi?”

Aku, yang sedang membidik sebuah apel dari jarak satu ranting lebih rendah yang kupijaki, hanya menggeleng kecil walau aku tahu ia tak akan pernah melihatnya.

Sudah dua buah apel yang aku gigit habis dagingnya, namun kakiku masih saja mengayun didahan pohon tak terlalu tinggi ini untuk memperhatikan mereka  -desa dan Lucy – yang sama sama cantiknya ketika matahari sedang berdiri tepat diatas kepala kami.

“Tidak juga, mungkin jika aku mempunyai waktu senggang – beberapa kali aku juga datang ke tempat ini” Lalu satu gigitan lagi di apel hijau kemerahan yang kudapatkan tepat diatas telingaku barusan.

Matanya tak jua berpindah dari untaian Alang Alang yang sedang ia jalin menjadi mahkota seperti katanya tadi.

“Kau tidak pernah merindukanku?”

Apa?

Namun keterkejutan atas pertanyaan acaknya itu tertahan di ujung lidahku.

“Tempat ini kan aku yang menemukan, apa kamu tidak pernah merindukanku saat mengunjungi tempat ini?”

Oh, aku mendapatkannya.

“Tentu saja lu, untuk teman terbaikku. Aku selalu merindukanmu setiap hari, bukan ketika ditempat ini saja”

Kumpulan burung melintas diatas para petani di ladang kentang, “seperti di kedai teh tempat kita minum kemarin, seperti di klinik dokter Roy, seperti di rumah sewamu – dimanapun, kapanpun aku merindukanmu”

Lalu yang kudengar ia malah tergelak keras jika didengar dari dahan tempatku duduk.

“Itu terlalu berlebihan, sungguhan”

Setelah itu ia melanjutkan, “menyenangkan jika ternyata ada yang masih merindukanku. Itu sebuah kehormatan juga kebanggan”

“Kebanggan apanya, bukanya itu menggelikan kau dirindukan pria desa?”

Kulihat ia menggeleng dari tempat duduknya, “Bukan, jangan pernah bicara seperti itu. Kita teman, kau teman terbaik yang pernah aku punya. Layaknya bunga ini”

Setangkai bunga Daisy kecil yang ada ditanganya ditunjukan kepadaku, mendongak sehingga aku dapat menemukan matanya lebih bersinar tatkala sang mentari juga memantulkan cahaya ke netranya.

“Kenapa bunganya?”

“Bunga bunga berwarna putih itu gampang ditebak artinya Ben, sama seperti bunga lily yang kau berikan kepadaku” Ujarnya sebelum menyelipkan bunga itu di untaian Alang Alang.

“Kau tahu arti bunga yang kau berikan kepadaku itu?” Pertanyaan singkat saja, namun entah mengapa itu membuat sesuatu di pipiku memanas.

Astaga padahal aku memberikannya semata mata karena ia suka, juga sedikit pengertian dari buku yang kubaca juga sih.

Began;Intro ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang