Kisah Kasih Shubuh

69 24 5
                                    

Assholatun khoirun minna naum...

Pukul 04:20

Seruan itu menggema. Menggugah tiap-tiap jiwa yang pasrah. Memecah hening, sepi, sunyinya mimpi-mimpi yang hakikatnya tak abadi. Sepasang, dua pasang, tiga pasang, dan berpasang-pasang mata mulai membuka satu lembar lagi kisah perjalanannya. Langit masihlah setia pada purnama semalam, enggan membiarkan dirinya merawat mimpi-mimpi selama sepagi.

Kesejukan sangatlah bersahabat dengan tidur, shubuh itu. Hanya jiwa-jiwa yang betul-betul mulia, yang tega mengacuhkan mimpi-mimpi indah nan rupawan yang mereka rangkai begitu menawan dalam tenun tidur mereka. Lalu lekas bergegas, berganti jubah kemuliaan, berjalan sengkoyongan menuju tempat wudhu, bermesraan penuh kasih dengan air mengalir yang sejuk nan dingin, kemudian melangkah memasuki masjid.

Embun mengukir kisah-kisah rahasia, pada setiap jendela. Jendela kamar, jendela rumah, jendela kelas, jendela sekolah, jendela hati yang berusaha sebisa mungkin berhati-hati memasukkan semilir angin dari luar hati.

"Mimpi itu indah hati, lebih indah ketimbang dunia yang akan segera kau jumpai sebentar lagi. Selepas kedua mata itu membuka pintu, dan kau harus kembali linglung kesana kemari," ujar angin berseru pada hati.

"Mimpi itu fana angin, dunia itu fana angin, linglung itu fana angin, kau fana angin, akupun fana angin, sedang Tuhan abadi. Mohon, ijinkan aku berjalan meski terseok-seok di atas titian menuju rumah Pemilik Keabadian," ujar hati balik berseri pada angin.

Anginpun hanya berlalu, merasa gagal dirinya dalam menyemai ragu.

Daun-daun berguguran di halaman, ditiup angin masuk kamar, bergoyang-goyang di awang-awang, lalu jatuh di lembar terakhir kitab yang penuh hati.

Al-Fatihah!

*****

Abdurrahman pun bangkit dari batu pertapaannya. Dikembalikannya majmu' syarif dalam pelukan telapak tangannya ke tempat semula. Berdiri sejenak dirinya, termenung sambil menebar pandang mengitari kamar. Tiada yang lebih ia rasa selain hening, kecuali gema panggilan dari corong langit yang sampai ke daratan hatinya.

Maka apabila kamu telah selesai(dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras(untuk urusan lain),

dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.
(Qs. Al Insyirah : 7-8)

"Yo... bangun yo, dor... dor... dor", suara pintu digedor bertalu-talu, terdengar gandang laksana genderang perang yang digemakan di medan laga membakar semangat berani mati para pejuang. Sepi pecah seketika dibuatnya, yang tersisa kini di dalam dan di pelataran kamar tinggallah serpihan-serpihan keramaian.

Kang Ihsan, salah satu nama yang cukup populer baik di kalangan santriwan maupun santriwati. Wujud nyata yang cukup pantas dijadikan salah satu idola dari beberapa kang-kang senior yang ada di pesantren. Berperawakan tinggi, kulit sawo matang, cerdas, ramah, memegang komitmen kuat, berakhlak baik, sopan, dan yang terpenting tidak pernah menjaga jarak dengan adik-adik santrinya. Ia akan merasa senang dan merasa sangat terhormat apabila ada salah satu adik santri yang mendatanginya, lalu mengajak ia berdiskusi tentang ilmu, atau sekedar curhat tentang masalah-masalah yang sedang dihadapi. Jika ia mampu menjawab seluruh pertanyaan itu waktu itu juga, pasti akan ia jawab. Jika tidak ia akan menangguhkannya di hari lain dan berjanji akan menjawabnya pada hari itu. Ia adalah orang yang sibuk, banyak pekerjaan pesantren yang menjadi tanggung jawabnya sebagai lurah pondok dan salah satu santri kepercayaan keluarga ndalem.

"Ayok Dur... , cepetan", ucap kang Ihsan yang tiba-tiba telah muncul di dekat pintu.

Abdur pun sedikit menggelinjang kaget. Lamunannya hancur seketika begitu mendengar seruan kang Ihsan. Sambil tetap berdiri di tempat semula, ia berkata,

Shubuh Itu Terbit dari Sepasang MatamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang