Langit dan Cinta

29 18 0
                                    

Malam terus mengalir bagai air di sungai, tak terbendung. Gemiriciknya ialah rahasia. Purnama, begitu terang binar matanya. Bintang-bintang berkelip manja, bertanya-tanya. Angin berdesir pelan, membelai-belai dedaunan pohon randu. Menghempaskan serat-serat kapas, ke jalan-jalan. Terlindas-lindas ia oleh roda kendaraan yang sesekali lalu lalang. Terinjak-injak ia oleh telapak kaki manusia. Terkatung-katung ia diantara ada dan tiada, diantara mimpi dan nyata, diantara lara dan luka-luka.

Aku termenung sendirian
mengeja sepatah kata
yang ditulis dengan
kucuran air mata.

*****

Satu sosok bayangan manusia nampak mengamati Abdur dari atas tangga yang berada tak jauh dari kamar Abdur. Dalam benak kiranya ia bertanya-tanya, "Kenapa dia?" Sedetik lamanya ia termangu, tak beranjak dari tempatnya. Sedetik kemudian, ia melangkah turun, seakan tak mau hanya terpaku pada pertanyaannya sendiri. Ia berjalan mendekati Abdur yang tengah mesra dengan lamunannya.

"Woiii.... Ngalamun terosss!", ucap sosok itu begitu sampai di sebelah Abdur seraya menepuk pelan pundak kanannya.

Sontak Abdur terperanjat kaget. Tubuhnya menggelinjang sesaat dengan sepasang matanya yang terbelalak. Dalam sekejap seluruh lamunannya seakan hancur berantakan.

"Astagfirullahal'adzim...", gumam Abdur seraya mengelus-elus dadanya.

Segera Abdur mengalihkan pandangannya ke arah sosok yang mengagetkannya itu.

"Ah... Siapa juga yang ngalamun, Ngit", ucap Abdur sambil tersenyum tipis kepada sosok itu yaitu Langit.

Langit, nama yang unik memang. Entah makna apa yang disimpan nama itu. Tak ada yang tahu, kecuali dirinya, orang tuanya, juga Tuhan. Yang para santri tau, dia adalah sosok yang humanis, cerdas, berwawasan luas, juga berjiwa kepemimpinan tinggi.

"Halah.... Jangan bohong kamu",ujar Langit seketika dengan intonasi meledek sambil beranjak duduk di samping Abdur.

"Beneran, Ngit. Aku memang gak lagi ngalamun kok", ujar Abdur berusaha meyakinkan Langit agar mempercayai ucapannya.

Langit pun tersenyum tipis seraya menepuk-nepuk pelan pundak Abdur ketika mendengar jawaban itu. Ia sepertinya sangat paham, bahwa kini sahabatnya itu tengah memikirkan sesuatu. Hanya saja, ia tak mau mengungkapkannya.

Langit kemudian mengalihkan pandangannya ke atas. Ke arah langit malam yang indah berhias bulan malam ke-15, dan gemerlap mungil bintang-bintang.

"Sedang memperhatikan apa kamu sih?", tanya Langit pada Abdur tanpa mengalihkan pandangannya dari langit malam yang indah berseri itu.

"Gak sedang memperhatikan apa-apa kok. Hanya sedang menikmati keindahan bulan purnama itu (sambil menunjuk ke arah purnama yang berada di langit malam sebelah timur). Indah sekali ya?", ujar Abdur menjawab seraya menunjuk ke arah bulan purnama yang nampak begitu bahagia.

Langit pun sedikit menggeser pandangannya ke arah yang ditunjuk jari Abdur. Ia kemudian tersenyum kembali, lebih lebar ketimbang senyumannya yang tadi.

"Iya indah sekali, Dur. Subhanallah. Segala puji bagi Dzat yang melukis lukisan seindah itu", ujar Langit memuji Dzat yang menciptakan purnama begitu indah pada malam itu.

Shubuh Itu Terbit dari Sepasang MatamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang