Ayat-ayat Hujan

15 9 0
                                    

Pukul 23:00
Tanpa terasa sudah hampir tengah malam, dan hujan nampak masih setia merintik di halaman. Mengelus-elus setiap helai dedaunan pohon randu yang merekam jejak kaki penuh misteri. Bau tanah begitu menyeruak bernafaskan kesunyian. Lampu-lampu kamar nampak telah hampir seluruhnya padam. Pintu dan jendela terlihat telah ditutup rapat-rapat, seperti hendak menolak hadirnya dingin yang kian lama kian mendekap. Kompleks kamar santri putra telah terasa sangat lengang kala itu, bahkan hampir seperti tak ada lagi kehidupan. Terkecuali beberapa dengkuran saja yang terdengar tengah mendendangkan lagu-lagu kebaktian semesta. Masing-masing santri sepertinya tengah menikmati jalannya kehidupan semu yang mereka rangkai begitu indah dalam mimpi-mimpi mereka.

Dan di tengah-tengah ketenangan malam yang mengaransemen rintik hujan, yang seakan menjadi sebuah lagu penghantar tidur, bagi jidat-jidat yang pilu. Tanpa diduga ternyata masih terawat dalam sadarnya satu sosok manusia yang bertahan di kehidupan sukanya. Suka yang acap kali ia sesali sebagai sumber segala dukanya. Pandangan matanya terfokus pada satu titik, kekosongan. Sedang di belakang matanya, beberapa rahasia tengah dibaca pelan-pelan.

*****

Begitu dingin malam itu, dikala hujan datang merayuku. Aku yang sedang duduk di depan kamar sendirian, lantas ingin segera bermesraan. Ingin duduk berdua berbincang tentang malam, namun dengan siapa? Ah... dasar aku, aku sungguh ingin mengintrogasi tanah yang sempat disentuh telapak kakimu itu.

Sebuah rintik hujan, kau tahu, sempat jatuh di telapak tanganku. Telapak tangan yang tengah menengadahi tetesan-tetesan air hujan yang disedekahkan atap-atap berlubang. Kulirik rintik itu. Ah..... sepasang mata, dirimu memang bukan seorang pelupa. Rona bercahaya seperti purnama itu nampak memancar kembali dari tubuhnya. Dan setelahnya, aku tiba-tiba ingin meminta rintik itu agar abadi selamanya.

Sejenak, aku berlindung
dari godaan malam yang merayu,
dan dari tik... tok jam, yang tak
membiarkan kenangan hadirmu,
habis diguyur hujan.

*****

"Woiii... Bangun!!!" ujar Idris tiba-tiba dengan suara lantang seraya tangannya terlihat memukul dengan keras permukaan sebuah meja.

Seketika sepasang mata sayup-sayup terlihat membuka tirai jendelanya. Kepalanya yang sedari tadi tergeletak di atas permukaan meja tersebut pun perlahan nampak terangkat. Kemudian sesekali ia terlihat menguap serta mengucek-cuek sepasang matanya seraya mengarahkan pandangannya yang masih lamur ke depan kelas.

"Lho, mana gurunya?" gumam si empunya kepala seraya mengucek-cuek kedua matanya.

"Gurunya sudah keluar dari tadi," ujar Idris seketika menjawab pertanyaan si empunya kepala.

"Lho, sebentar sekali ngajinya, uammmh...," seloroh si empunya kepala seraya menguap.

"Bukan ngajinya yang sebentar, tapi kamu yang tidurnya kelamaan," sahut satu suara tiba-tiba dari arah belakang.

Begitu mendengar ucapan tersebut, si empunya kepala lantas memutar badan menghadap ke belakang, ke arah sumber suara. Nampaklah seorang santri yang berambut cepak, bertubuh gempal, serta berpakaian kemeja warna biru sedang bersandar pada sandaran sebuah bangku. Sepasang matanya nampak tengah memuthola'ah sebuah kitab yang baru saja selesai dikaji bersama.

"Jam berapa memang sekarang, Mif?" tanya si empunya kepala kepada sumber suara tersebut yang ternyata adalah Miftah.

"Tuh, kamu lihat sendiri," ujar Miftah seraya menunjuk ke arah jam yang terpaku di dinding belakang kelas tanpa melirik ke arah si empunya kepala.

Si empunya kepala pun nampak segera mengalihkan pandangannya ke arah titik yang ditunjuk jari Miftah. Seketika sepasang matanya yang semula nampak sipit sebab menahan rasa kantuk yang akut tiba-tiba terbelalak.

Shubuh Itu Terbit dari Sepasang MatamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang