Binar Yang Terakhir

17 10 0
                                    

Aku tengah berada, di jalan-jalan yang jauh, di kekosongan ruang dan waktu. Ada banyak kendaraan, yang membawa khayalku kepada wujudmu. Seperti desir angin ini, misalnya. Yang mengendap-endap masuk ke kamar, kemudian tertidur di atas ranjangku. Dan ketika tubuhku merebah, kutemui dirimu telah abadi di pelataran surgawi.

Kekasih, rindu itu seperti apa?
Seperti ledakan petasan hari raya.

*****

Pukul 12:00

Lamanya perjalanan seakan tak terasa bagi Abdur. Sudah hampir 30 menit dirinya duduk termenung di kursi depan mobil mas Yusuf yang melaju dengan kecepatan sedang di atas jalanan perkotaan yang ramai. Pandangan matanya sesekali ia tebarkan memandang apa saja di jalan tersebut yang seakan ikut mengiringi langkah kepulangannya.

Di trotoar, Abdur melihat wajah-wajah lelah para pedagang kaki lima. Keringat mengucur deras di dahi mereka hingga sesekali mesti mereka usap dengan buntalan kain pasrah. Beberapa tunawisma juga nampak berseliweran di kanan dan kiri jalan. Ada yang terlihat pincang kakinya, ada yang hanya sebelah tangannya, ada yang tak penuh akal pikirannya, dan ada pula yang mesti meraba-raba kanan kiri depan belakangnya supaya tak celaka. Namun, di antara mereka semua Abdur tak melihat ada yang kekurangan akan hatinya.

Dan di atas jalanan tersebut, ramai kendaraan saling salip menyalip tiada henti. Sebuah mobil nampak menyalip sebuah truk barang di depannya dengan kecepatan tinggi. Dan setelahnya terlihat seorang pengendara sepeda motor tiba-tiba menarik pedal gas kuat-kuat sehingga sepeda motor tersebut melaju secepat kilat melewati truk barang serta mobil tersebut. Ya begitulah jalanan, apapun itu seakan tak mau melulu di belakang. Apapun akan dilakukan mesti terkadang mengancam keselamatan.

Kemudian setelah genap 1 jam perjalanan mas Yusuf terlihat mulai mengarahkan mobilnya memasuki gapura sebuah pedesaan. Suasana beralih seketika begitu memasuki tempat tersebut. Suhu udara yang semula terasa panas dan gerah perlahan terasa sejuk. Suasana yang semula terasa begitu ramai dengan deru knalpot kendaraan yang beraneka ragam nada suaranya, perlahan berganti dengan sebuah ketenangan yang bahkan mampu menghantar sepasang telinga Abdur menafsirkan desiran-desiran angin yang diwartakan rerimbunan daun pepohonan. Abdur nampak sesekali menghirup nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya secara perlahan seraya menutup kedua matanya kemudian menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi mobil tersebut.

Dan ketika telah sampai di halaman sebuah gubuk yang sederhana mas Yusuf nampak menghentikan laju kendaraannya. Dari luar terlihat genting atap gubuk tersebut telah banyak dihinggapi lumut yang membuat dirinya lapuk. Tembok-tembok batu bata yang menjadi pembatas dunia luar dan dalam gubuk tersebut pun nampak telah banyak yang keropos. Lantai teras gubuk tersebut pun hanyalah lapisan semen yang halus dan bukan keramik marmer. Dan halaman luar gubuk tersebut penuh rumput dan ilalang dengan sebuah pohon mangga yang berdiri tegar di sisi agak keluar seakan sebagai pagar batas luar rumah.

"Nah sudah sudah sampai, nih, Dur," ucap mas Yusuf seraya mematikan mesin mobilnya.

Abdur pun seketika membuka sepasang matanya yang terpejam. Ia kemudian segera mengalihkan pandangannya ke arah luar, ke arah gubuk sederhana itu yang tak asing lagi bagi sepasang matanya. Seketika raut wajahnya nampak berseri-seri.

"Ah... Iya sudah sampai. Terima kasih banyak atas tumpangannya, mas," ucap Abdur seraya beralih memandang mas Yusuf.

"Santai saja, Dur. Oh ya, silahkan kalau mau istirahat. Nanti kalau sudah hilang lelahnya jangan lupa main ke rumah," ucap mas Yusuf mempersilahkan serta mengingatkan Abdur.

"Pasti, mas. Sekali terima kasih atas tumpangannya, mas. Assalamualaikum...," ujar Abdur seraya menganggukkan kepala serta melempar senyum ke arah mas Yusuf.

"Waalaikumsalam...," ujar mas Yusuf seketika menjawab salam Abdur tersebut.

Shubuh Itu Terbit dari Sepasang MatamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang