Pukul 21:00
Hari demi hari tak terasa begitu cepat berganti. Seperti sebuah detik yang mendentangkan suara-suara sunyi sepanjang malam. Yang setelahnya, mengumandangkan alunan-alunan ketetapan sepanjang jalan. Sedang di antara keduanya, harapan, prasangka, terkaan, perumpamaan-perumpamaan saling tumpang tindih di atas lembar suci.
Di atas lembar suci, setetes tinta
adalah dirimu, yang kian menjelma rupa rasaku.Telah genap satu minggu Fatimah berpulang ke istana idamannya yang sempat ia sampaikan pada Abdur kala itu, sebelum sungguh-sungguh mekar dengan sempurna. Dan masih melekat begitu kuat gambaran detik-detik itu, yang menjelang kepergiannya di hati serta pikiran Abdur. Saat dimana Fatimah tersenyum ramah bahagia menyambut kedatangannya. Saat dimana Fatimah tiba-tiba saja mengutarakan keinginannya untuk pindah ke sebuah tempat yang ia gambarkan begitu indah. Dengan banyak aliran sungai yang mengalir melewati banyak taman bunga, serta beberapa istana di kanan kirinya yang ia ceritakan dibangun begitu megah. Saat dimana Fatimah menceritakan sebuah mimpi yang ia alami pada malam-malam sebelumnya. Dan yang sungguh melekat paling kuat adalah sebuah doa paling tulus dan ikhlas yang sempat ia panjatkan atas nama Abdur, sedetik sebelum ia benar-benar mekar dan tak lagi layu.
"Semoga kau bertemu dengan gadis itu ya, Dur. Gadis yang benar-benar tulus mencintaimu".
*****
Tak ada purnama pada malam itu. Malam yang selepas kepergianmu. Dan di malam-malam berikutnya, yang kujumpa hanya setitik cahaya yang seperti bintang, yang mengerling seakan mengintipku manja dari balik awan-awan. Semoga, doaku, itu adalah bias matamu dari nirwana.
Hawa entah mengapa, seakan selalu kedinginan. Setiap kali mataku mengingat wujudmu yang kian adam digerus waktu. "Keadaan apa ini?"
Angin semilir selalu berdatangan ke teras rumahku dengan secarik pesan dalam genggamannya. Yang ia abadikan pada setiap helai daun pohon mangga, di batas rumah itu. "Pesan apa?" "Dari siapa?" "Darimu?" "Benarkah?" "Bagaimana bisa?" "Apakah aku telah jatuh cinta?" "Padamu?" "Atau hanya belas kasih belaka?"
Ah... Lagi-lagi cinta. Kesepian bahkan takkan pernah tahu benar wujudnya yang sering bersalin rupa. Daun-daun di halaman, satu per satu mulai runtuh perlahan.
Oh... Daun-daun. Kau telah
berguguran, sebagai puisi
yang tak sempat kubaca,
pada binar matanya yang fana.*****
Malam itu cuaca nampak sedikit mendung. Purnama dan bintang-bintang seperti bersembunyi di balik awan-awan, sehingga sukar ditangkap sepasang mata Abdur yang berkaca-kaca, yang tengah duduk menyendiri di teras rumah. Ia terlihat melamun, entah melamunkan apa. Tak ada yang benar-benar tahu selain dirinya, dan yang pasti tahu di luar dirinya adalah Tuhan.
Beberapa saat kemudian, nampak seorang lelaki tua yang tak lain adalah bapaknya terlihat melangkah keluar dari dalam rumah. Sesampainya di teras rumah, bapak menemukan Abdur yang sedang melamun sendirian.
"Hei, Dur. Sedang apa kamu?" tanya bapak kepada Abdur.
Abdur terlihat sedikit menggelinjang kaget mendengar panggilan bapak. Ia seketika mengusap-usap wajahnya yang nampak sedikit berlinangan air mata itu. Nafasnya segera ia atur masuk dan keluarnya secara perlahan. Setelahnya, ia perlahan mengarahkan pandangan ke arah bapak yang nampak masih berdiri di depan pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shubuh Itu Terbit dari Sepasang Matamu
RomanceAbdurrahman ialah seorang pemuda yang gigih, cerdas, dan berakhlak mulia. Lahir dari keluarga yang amat sederhana. Menghabiskan sebagian besar perjalanan kisahnya di sebuah pondok pesantren yang amat bijak perangainya. Pada suatu ketika yang terama...